Doa Dari Seorang Hamba

Yaa Rabb

Di depan Multazam-Mu ,aku hambamu yang hina

merangkai pengharapan mengharapkan cinta-Mu

Yaa Rabb yang merajai langit dan bumi

pemilik kerajaan Illahi,,

Ini didetik terakhirku di rumah-Mu

di Baitullah-Mu yang penuh dengan keagungan..

Panggil hambamu ini kembali dalam dekapan-Mu lagi

panggil hambamu ini kembali dalam gelimangan cinta dan kasih-Mu

Yaa Rabb letakkanlah cintaku pada-Mu di atas segala – galanya

bagaikan cinta Nabi Ibrahim yang tiada banding kepada Engkau

Yaa Allah, jadikanlah hambamu ini sebagai hamba yang senantiasa mencintai dan merindukan Engkau

dan jadikanlah hamba sebagai hambamu yang senantiasa Engkau cintai dan engakau rindukan,

Yaa Allah, Dzat Yang Maha Esa

dimana Nyawaku dalam genggaman-Mu

ketika pertama sekali hamba melayangkan mata nista ini ke Baitullah-Mu

ada rasa yang tak terlukiskan..

ada kegembiraan, karena rasanya Engkau tersenyum padaku dari Arsy-Mu

Yaa Rabb,,,Yang Cinta-Mu tiada pernah tertakar,,

kerena begitu agungnya Baitullah-Mu, hati ini

berat melangkahkan kaki untuk pulang

Aku ingin tetap disini..

panggillah aku kembali Yaa Rabb..

Semudah kata maaf dariku

Aku berhenti dipersimpangan jalan menyaksikan ramainya lalu lintas kendaraan. Berdiri menepi disisi jalan menantikan sepinya kendaraan yang lalu lalang dihadapanku. Aku menengadahkan kepala menatap langit yang sepertinya sudah tidak sabar lagi ingin menurunkan hujan sambil menatap jalan dengan cemas. Kuberanikan diri untuk meyeberangi jalan yang penuh oleh kendaraan yang tidak mau mengalah. Lengkingan bunyi klakson memekakan telinga terdengar di sana sini. Aku acuh tak peduli. Aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk berani menyeberang tanpa bantuan siapa pun.

Aku mempercepat langkah menuju tempat yang sudah lama ingin aku kunjungi tapi tidak berani aku datangi. Aku memang terlalu pengecut untuk datang kesana lagi. Tapi aku telah berjanji pada diriku sendiri, bahwa aku tidak akan kalah hanya dengan semua ini. Tempat itu adalah sebuah cafe. Tepatnya librarian cafe, perpaduan antara cafe dengan deretan banyak buku yang memenuhi ruangan cafe tersebut. Aku menyukai suasana cafe tersebut. Posisinya dipinggir jalan dengan teras yang menjorok kedalam, desain antik namun hangat ruangannya ditambah dengan perpaduan buku – buku yang disediakan memang khusus, agar pelanggan tidak hanya makan namun juga bisa membaca koleksi buku – buku tersebut. Aku suka pengisi musiknya dengan alunan musik jazz yang menyenangkan, ditambah lagi disamping cafe ini ada beberapa toko bunga yang letaknya saling berhadapan. Wewangian bunga lavender, mawar dan melati menambah sensasi dari cafe ini. Setidaknya dua tahun yang lalu begitulah kesanku terhadap cafe ini. Kini, setelah sekin lama jiwa pengecutku membuatku tidak lagi mau datang ke cafe yang menjadi favoritku. Tapi kini aku merindukan moment indah dari suasana cafe.

Aku memasuki pintu masuk seraya menjelajahi suasana cafe yang tidak terlalu ramai karena mungkin hari yang hujan. Aku melangkah menuju posisi favoritku yang untung saja kosong. Sudut ruangan dengan jendela lebar diapit dua rak buku sehingga membuat tempat favoritku ini lebih privasi. Aku duduk dikursi yang selalu biasa aku tempati ketika datang ke sini. Seorang pelayan datang membawa menu dengan senyum bersahabat.

“ Sore mbak Sekar, sudah lama nggak kesini, pacarnya mana ? “

“ Hmm, iya.”, jawabku sekenanya saja dengan wajah yang tak berubah. Dia menyodorkan menu lalu berlalu meninggalkanku.

Ah, dia akhirnya bertanya juga. Padahal aku sudah berusaha melupakan banyak kenangan di sini. Meski itu terlalu banyak. Tapi aku telah berjanji untuk tidak kalah dengan semua ini. Aku menghela nafas panjang sesekali mengamati suasana tempat aku berada disini. Setidaknya di sini, dulu aku pernah menemukan sekeping hati yang dulunya kupikir akan menjadi bagian hidupku. Tapi, ternyata aku keliru. Bukan dia bagian dari hidupku.

Secangkir teh dengan aroma melati dengan roti bakar khas cafe ini segera memenuhi meja di hadapanku. Satu hal lagi yang juga sangat aku sukai dari cafe ini adalah pelayananya yang cepat sehingga tidak membuat pelangganya menunggu.

“ Terima kasih.”, ucapku sambil tersenyum. Pelayan itu, Dian namanya, mengumamkan sesuatu.

“ Ada buku baru lo, itu dirak nomor tiga, aku yakin kamu pasti suka.”, katanya sambil menunjuk salah satu rak yang memuat banyak buku.

Aku kembali tersenyum dan bergerak ke arah rak yang dimaksud. Memang benar, banyak buku – buku baru terdapat di rak ini. Aku kembali tersadar, sudah cukup lama aku tidak datang ke cafe ini, hingga banyak hal yang terlewatkan olehku. Aku mengambil salah satu buku yang covernya paling menarik bagiku. Di sampul depan ada gambar seorang wanita dengan payung melindungi tubuhnya dibawah gerimis sambil menatap seorang punggung seorang pria, dibawah buku itu tertulis sebuah judul, Alasan mengapa aku menunggu.  Tak terlalu banyak warna di sampul depan buka tersebut, hanya ada warna kuning keemasan dengan warna lavender yang ditebar secara acak sehingga membuat kedua warna tersebut seperti tumpahan – tumpahan tinta yang tak beraturan meyebar di sampul depan. Aku membawa buku tersebut ke meja makanku.

“Hanya ada satu alasan mengapa aku tetap menunggu mu membalikan punggung dan mengejarku kembali sambil mengatakan maaf, hanya ada satu alasan mengapa aku tetap membiarkan diriku terluka, namun setiap jengkal diriku merindukanmu, hanya ada satu alasan mengapa selalu ada satu kata maaf dariku meski sesering itu kau mendustaiku mengelabuiku, dan hanya ada satu alasan mengapa aku selalu berharap kau kembali lagi, satu alasan yang selalu membuat orang memutar bola matanya dan mencibir, dan satu alasan itu aku yakin, kau pasti mengetahuinya…”

Barisan kalimat dibelakang buku tersebut membuatku miris. Tentu saja alasannya cinta. Memangnya ada alasan lain yang menyebabkan orang bahagia dan menangis dalam waktu bersamaan, menyebabkan orang berduka dan tersenyum secara bergantian. Memangnya ada alasan lain ketika Sheh Jehan membangunkan Taj Mahal yang megah sebagai tempat peristirahatan yang terakhir untuk istrinya serta apakah ada alasan lain mengapa pangeran Inggris memutuskan turun tahta dari kekuasaannya sebagai Raja Inggris hanya demi menikahi seorang janda asal Amerika kalau bukan karena cinta. Tentu saja semuanya karena cinta. Banyak hal yang tidak dapat dinalarkan didunia ini seperti ada seorang pria yang menikah dengan jenazah kekasihnya atau ada seorang pria yang nekad bunuh diri bersama anaknya dengan menabrakan diri ke kereta api setelah kematian sang istri. Adakah alasan lain untuk semua perbuatan yang terkadang bagi sebagian orang tidak masuk akal, selain cinta. Dan alasan yang sama juga membuatku terluka selama ini. Juga ternyata adalah cinta.

Aku tersenyum kembali. Banyak kisah baik itu berupa film, novel, cerpen, puisi dan berbagai media lain yang mengungkapkan berbagai kisah mengenai cinta. Dan aku yakin tema mengenai cinta adalah tema yang paling banyak menjadi bahan untuk semua karya di atas. Setiap kisah memiliki cerita tersendiri meski ada beberapa kisah yang kurang lebih sama tapi dikemas dengan alur yang berbeda. Entahlah, tapi aku yakin, setiap orang memiliki kisah cintanya sendiri yang tidak dapat dibandingkan dengan kisah cinta orang lain. Karena cinta itu sendiri tidak dapat ditakar oleh orang lain sehingga hanya orang yang jatuh cintalah yang mengetahui seberapa dahsyatnya cinta mereka, seberapa jauh mereka berkorban dan seberapa besar cinta itu sendiri membawa alur dalam kehidupan masing – masing. Karena itulah, tak ada bandingan antara setiap kisah cinta. Setiap kisah punya makna dan romantisme sendiri.

 bersambung…

untuk dia yang namanya tak terKatakan

Tahukah kamu aku memperhatikanmu dari jauh

Melihatmu dari sisi yang kusembunyikan dari kebanyakan orang

Menatapmu dari sela kesibukan ruang pergerakan waktu

Melihatmu melintas dengan acuh tanpa cela

Menyakitkan memang, miris memang

Tapi hanya sebatas itu yang aku bisa

Melihat tanpa bersuara

Menatapmu dalam selingan jeda

Mengagumimu dari balik cahaya yang ada

Dan merindukanmu meski aku tak pernah berani memiliki asa

Hanya bisa berusaha

Dengan mengirim sepenggal doa setiap harinya

Dan sayang, setelah selama itu kau tak pernah tahu

Kau hanya berlalu

Selalu..

 

Kau adalah tulisan yang selalu kutulis

Sosok yang yang selalu membuatku miris dan tak berarti

Namun sayang, aku bukanlah tulisan yang kau baca

Begitulah adanya, takan pernah ada kita

Yang akan ada hanya aku yang mencinta

Aku takan pernah berharap banyak

Karena aku tak ingin kecewa oleh keadaan

Aku tak ingin dibuat hanyut oleh perasaan

Aku hadir terlambat..

Atau setidaknya begitulah takdir Tuhan

aku hadir, melihatmu lalu mengagumi mu

terjadi begitu saja

langsung pada pertemuanku pertama denganmu

namun sayang, kau tampaknya takan pernah berjalan sendiri lagi

ada yang berjalan disampingmu

dan dia telah berada diposisi itu untuk sekian lama

dan dukanya, aku takan pernah bisa berjalan disampingmu untuk menjadi “dia”mu

dan takan pernah bisa mengimbangimu

kau berjalan terlalu jauh

sedang aku tak memiliki daya untuk mengejarmu

walau hanya memperpendek jarak diatara kita

berbahagialah kau dengannya

hanya itu yang bisa aku katakan

biarlah aku tetap hanya sebagai pengagummu dari jauh

yang bertemu dengan mu saja aku akan sangat bahagia

walau kau mungkin telah melupakanku

yang menatap punggungmu dari kejauhan saja membuatku bersemangat

yang mendengar namamu saja, hatiku bergemuruh

yang selalu memimpikanmu walau kau mungkin tak mengenalku

tetaplah selalu menjadi bintang dilangit yang takan pernah aku sentuh

namun cahayamu tetap bisa aku nikmati dari bumi

walaupun terpisah jarak yang sangat jauh

tetaplah menjadi matahari yang tak pernah aku peluk

namun pancaran kehangatanmu tetap menjadi semangatku

meski terkadang panasmu membakar kulitku

tetaplah menjadi lagu yang aku dengar tapi tak pernah bisa aku nyanyikan

namun, setidaknya itu yang bisa menghiburku

walau aku tahu semua itu justru perlahan mendorongku dalam jurang kesakitan lebih dalam

namun aku hanya bisa apa

dan..

tetaplah jadi tulisan yang selalu aku tulis

meskipun aku bukanlah tulisan yang kau baca..

tapi tenang lah..

kau selalu menjadi tulisan indahku

meski, mengakui perasaanku saja aku tak bisa

aku tidak sanggup

mungkin aku pecundang

tapi itulah adanya

aku tak ingin berharap

biarlah kau selalu menjadi orang yang namanya saja tak berani kuucapkan

menjadi perasaan yang tak pernah bisa kuungkapkan

dan pandangan mata yang berani kutujukan

tapi biarlah…

kau tetap menjadi orang yang namanya tak bisa kuucapkan 

dalam lantunan lisan, tapi hanya bisa tersirat dalam rapalan doa

TUHAN AKU PASRAH

“TUHAN AKU PASRAH”
BY : FITRIA RAHMADANI
Malam semakin dingin saja, larut dalam kabut gelap. Cahaya lampu jalanan yang menerangi pinggiran jalan dikerubungi oleh para laron yang haus akan cahaya. Bintang-bintang diatas sana seolah – olah sedang berusaha mengatur diri mereka, untuk membentuk sebuah rasi bintang. Dan sepertinya, bulan juga ingin menghiburku dengan cahaya temaram jarak jauhnya. Aku sendiri di bangku taman rumahku. Walaupun aku sendirian, aku tidak ingin ada yang menemaniku, meski kutahu bahwa sendiri di malam sepi, malam minggu seperti ini sangatlah menyedihkan. Tapi begitulah aku, tidak ingin ada yang menemani, biarkan aku sendiri di bangku taman ini diterjang sepi dan diganggu oleh angin malam.
Aku mengusap- usap badanku yang kecil dilindungi oleh sweterku yang sangat tebal dengan tangan yang layu dan mungil. Malam semakin dingin saja. Sepasang muda-mudi berjalan didepan rumahhku sambil bergandeng tangan dengan mata penuh binaran cinta. Seharusnya pada umurku yang bulan Februari depan genap sembilan belas tahun, aku juga melakukan hal yang sama dengan muda-mudi itu. Pada malam minggu, pastinya akan ada seseorang yang akan datang kerumahku,,,tapi…dengan kondisiku yang seperti ini apakah ada laki-laki yang mau denganku? Gadis kurus kerempeng,pucat pasi,layu,seperti mayat hidup yang penyakitan? Aku pastikan tidak ada yang mau padaku.

Oleh karena itu aku berusaha untuk menerima keadaanku yang seperti ini dengan ikhlas. Menghabiskan sisa hidupku dengan sendiri, ditemani seorang wanita paruh baya yang selalu ada untukku.

“Sayang…kamu ngapain di sana,nak? Sudah malam, nanti kamu sakit.”, suara wanita paruh baya yang sangat aku sayangi mengagetkanku dengan lembut.
“Bunda………, jadwal minum obat ya?”, jawabku dengan lemah seperti biasanya.
“Iya sayang, makanya bunda bawa saja obatnya keluar. Bunda lihat kamu lagi senang di luar. Ya udah minum obatnya dulu!”.
Sambil menggenggam beragam pil dengan berbagai ukuran dan warna,beliau menyodorkan segelas air putih. Helaan nafas panjang kusertai menerima air putih itu. Mungkin sudah tidak terhitung lagi sudah berapa banyak aku memimun obat itu, karena sudah sejak kecil aku minum pil dengan warna dan bentuk yang sangat berbeda. Aku sudah sangat muak dengan bau obat itu. Ingin rasanya aku membuang obat itu saja, namun pikiran itu segera aku tepis karena aku tidak ingin kumat lagi dan membuat bunda susah mengurusku di rumah sakit.
Segera kutelan semua obat itu, agar bunda tidak susah menyuruhku. Mudah saja, karena aku sudah dilatih untuk meminum obat itu sejak kecil, sebelum bisa membaca tenggorokan ku telah terlatih menelan butiran itu. Bunda sepertinya sangat senang melihatku meminum obat dengan cepat tanpa ada keluhan. Kupandangi wajah kusam dan lelah wanita yang selalu ada untukku kapan saja.
“Obat itu akan membuatmu selalu ada untuk bunda”
Beliau selesaikan kata-kata itu dengan sebuah senyuman yang sangat indah yang paling ku sukai. Aku tau arti ucapan bunda, obat akan membantu hidup lebih lama, artinya agar tidak cepat mati. Aku tahu bunda tak ingin aku mati. Tapi aku pikir lebih baik mati daripada menyusahkan bunda seperti ini. Aku tidak takut pada kematian. Kebanyakan orang takut dengan kematian, sedangkan aku tidak! Karena apa? Orang yang takut mati adalah orang cinta pada dunia. Sedangkan aku? Aku bukan orang yang mencintai dunia. Karena aku benci dunia ini. Apa yang akan aku cintai didunia ini? Mungkin hanyalah bunda yang paling aku cintai. Aku hidup didunia ini hanyalah menyusahkan orang lain, karena aku penyakitan.

Aku selalu berdoa pada tuhan,…aku tidak akan mengeluh dengan keadaan yang diberikanNya. Aku tau semuanya adalah kuasaNya. Dan aku juga slalu berdoa: aku pasrah pada kehidupanku yang telah digariskan oleh tuhan,…aku pasrah dengan apapun yang terjadi, karena aku tau semuanya adalah kuasanya. Dan tuhan menentukan aku untuk menjalankan takdir dan garis hidupku ini. Meski dengan kondisiku yang seperti ini.

Aku juga terkadang lelah dengan semua ini. Dengan kemo yang seolah-olah adalah sakratul maut untukku, dengan suntikan, obat-obatan yang selalu aku minum setiap harinya sepanjang hidupku. Dan ramalan dokter dengan sisa hidupku. Kadang aku marah pada tuhan. Kenapa tuhan tidak langsung saja mencabut nyawaku. Kenapa aku harus dibiarkan menderita, bersedih, menyusahkan orang lain dan menghabiskan uang untuk biaya pengobatanku. Aku benci melihat orang- orang yang sehat dan menyia- nyiakan waktu mereka dengan berfoya-foya. Ingin rasanya aku ingin membeli kesehatan mereka agar aku dapat berlari, memanjat dan menghadiahkan semua prestasi untuk bundaku tercinta. Tapi aku sadar aku dilahirkan dengan penyakit, yang ada sudah sejak lahir.
Oh bunda….kenapa kau harus lahirkan aku? Mengapa tak kau gugurkan saja aku karena hanya membuatmu lelah dan payah. Menghabiskan uang dan tenagamu. Bunda andai saja aku bisa memberikan semua balasan atas kasih sayangmu padaku, sungguh aku ingin sekali buatmu tersenyum bangga dan menangis haru untukku.
Kupandangi sekali lagi wajah bunda. Tapi sepertinya beliau sedang menikmati angin malam. Semua anak anak seusiaku mungkin mempunyai cita-cita. Tapi aku tidak punya cita-cita yang muluk-muluk, aku hanya ingin bisa membahagiakan bunda dan membalas semua jasanya disisa hidupku. Karena aku tahu sejak aku lahir beliau telah mengasuhku dengan penuh penderitaan dengan kelemahan yang dianugerahi tuhan untukku.
Tuhan, bila suatu waktu engkau memanggilku untuk kembali kepangkuan-Mu lagi, aku hanya ingin satu hal saja. Kirimkanlah seorang pendamping untuk bunda yang dapat menghapuskan kesedihannya atas kehilangan diriku, yang dapat membuat beliau bangga dan dapat memberikan semua cintanya pada bunda. Yang dapat membahagiakan bunda dan menghapuskan kelelahan dan kepayahan bagi bunda karena diriku.
Tuhan….aku benar-benar pasrah atas semua takdir yang engkau gariskan untukku. Aku akan selalu pasrah menghadapi kenyataan kalau umurku hanya tinggal tiga bulan lagi, dan aku pasrah jika harus meninggalkan bunda, tapi tolong kirimkanlah seseorang untuk bunda yang dapat membahagiakanya, walau aku sangat sayang padanya,tapi aku hanya menyusahkan, aku hanya menambah beban untuknya.

Tuhan sungguh, aku sungguh pasrah kapan saja kau panggil aku. Aku pasrah dengan semua yang akan terjadi, aku pasrahkan segalanya hanya pada-Mu, karena ku tau hanyalah pada-Mu tempatku mengadu. Aku hanya ingin engkau menjaga bundaku jika nantinya aku sudah tiada. Aku tidak ingin beliau menghabiskan masa tuanya untuk mengurusi diriku. Aku ingin beliau menikmati masa tuanya dengan kebahagian yang selama ini tidak beliau dapatkan dan aku ingin beliau merasakan dicintai dengan sangat seperti beliau mencintaiku dengan sangat karena aku hanya bisa mengeluh padanya dan menambah bebannya.

Aku menoleh lagi pada beliau, orang yang paling aku sayangi. Lalu dengan lembut beliau berkata ”Bunda bangga padamu nak,karna kamu adalah orang yang paling tegar menerima kenyataan dan kepahitan kehidupan. Percayalah nak, tuhan sangat sayang padamu, dan tuhan takdirkan ini padamu karena itu yang terbaik untuk kita”, kata beliau sambil memelukkku.
Air mata meleleh saat beliau memelukku, beliau bangga padaku, dan itu adalah cita-citaku. Oh tuhan, air matanya adalah dosa bagiku , jika nanti aku telah tiada ,jangan izinkan air mata itu tumpah lagi. Buangkanlah semua kepahitan hidupnya dan bahagiakan dirinya. Cukuplah beliau menangis hanya karena diriku, dan jika suatu hai nanti aku telah tiada jangan biarkan hal itu terjadi lagi. Tuhan aku sungguh….sungguh pasrah atas takdir ini dan segala penderitaan hidupku.

Surat Untuk Ayah

Siang itu matahari benar – benar sedang bersemangatnya untuk menyinari bumi sehingga ia enggan untuk mengurangi intensitas cahayanya. Banyak dari penduduk bumi yang menggunakan payung untuk melindungi diri mereka dari sengatan matahari. Tak terkecuali murid – murid SD yang baru saja pulang dari sekolahnya.

Salah seorang dari gerombolan murid SD itu adalah seorang gadis kecil. Jika kita memandang wajahnya, gadis kecil itu sangat manis dan wajahnya yang manis itu akan tambah merekah dengan selalu tersunggingnya senyum diwajahnya yang mungil. Namun apabila kita pandang lebih dalam bola matanya, akan ada hujan dimata bening itu. Hujan yang selalu turun deras walaupun wajah kecilnya sedang tersenyum. Dan lihatlah tubuhnya yang kecil mungil, dari kejauhan ia sangat rapuh. Bagaikan sebuah gelas kaca yang tanpa angin pun akan bisa pecah. Tubuh kecilnya yang rapuh itu dipaksa tersenyum menjalani hidup yang tak bersahabat dengannya.

Namun apabila melihat gadis kecil itu berjalan, seolah – olah ia memiliki keyakinan dan kemantapan akan menggemgam matahari. Langkahnya pasti, cepat dan tegap. Sangat bertolak belakang dengan tubuhnya yang rapuh.

Siang itu benar – benar panas, sehingga memaksa gadi kecil itu untuk berjalan pulang lebih cepat dari biasanya. Butiran – butiran bagai mutiara perlahan menuruni wajahnya. Ia menyibak dengan punggung tangannya. Kerongkongannya pun juga telah kering. Ia lebih mempercepat langkahnya. Perutnya yang juga ingin diisi menari – nari membuatnya meletakan tangan kanan di atas perut dan mengelusnya. Sesampainya gadis kecil itu dirumah petak kontrakan, ia segera membuka pintu itu dengan semangatnya. Namun ketika pintu dibuka, semangat ingin makannya itu hilang sudah ketika ia melihat seorang wanita tertidur dengan wajah kepayahan menahan sakit. Ketika pintu itu dibuka, wanita tersebut terbangun dari tidurnya dan menyandarkan punggungnya kedinding.

“ Sudah pulang Fatma ? Bagaimana sekolahnya tadi, nak? “, tanya wanita itu yang tak lain dan tak bukan adalah ibu dari gadis kecil yang bernama Fatma.

“ Baik bu. Bagaimana keadaan ibu ? Apa masih muntah darah ? “, tanya gadi kecil itu dengan nada cemas.

“ Syukurlah, ibu baik – baik saja, tadi mbak Hanum yang jagain ibu.”

Fatma langsung mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian rumahnya. Tidak membutuhkan banyak waktu, sebentar saja dia sudah selesai mengganti pakaian. Ia lalu mengarahkan pandangannya pada kedua adiknya yang sedang bermain. Lalu ia sapukan pandangannya pada meja tempat obat ibunya. Namun meja itu kosong. Rupanya , obat ibunya telah habis.

“ Obat ibu sudah habis ya ? “

“ Iya, kemaren habisnya.”

Setelah itu gadis kecil tersebut segera bersiap. Ia harus jualan hari ini. Dia harus mendapatkan uang untuk membeli obat ibunya. Digendongnya adiknya yang baru kelas satu SD untuk menemaninya berjualan.

“ Fathi, ikut kakak ya jualan.”

Adiknya mengangguk senang dan menurut. Ia lalu berpamitan pada ibunya. Segera ia ayunkan kakinya kerumah Ibu Fatimah yang biasanya berjualan gorengan. Ia akan mengambil dagangan ibu itu dan menjajakannya di tempat pengisian bahan bakar.

“ Bu, boleh saya ambil dagangan ibu ?”

“ Boleh. Tapi, kamu baru pulang sekolahkan ? Istirahat saja dulu.”

“ Saya perlu uang buk, obat ibu habis sejak kemaren.”

“ Kasihan anak itu, baru kelas lima SD sudah hidup sepayah itu. Pasti dia capek setelah pulang sekolah, tapi mau bagaimana lagi. Adik tiga masih kecil – kecil pula, ibunya sakit – sakitan.”, timpal Ibu Fatimah dalam hati.

Setelah mengambil dagangan tersebut, dia segera bergegas ke tempat pengisian bahan bakar. Ia mulai menjajakan gorengannya disana. Peluhnya turun dengan deras dan perutnya keroncongan. Dia berusaha untuk membiarkannya. Kala ia lelah, ia kembali teringat ibunya yang sangat ia sayangi terbaring lemah. Ia kembali semangat menjajakan gorengannya.

Setelah selesai berjualan, ia langsung pulang kerumah dan tak lupa mampir kerumah Ibu Fatimah untuk memberikan uang. Alhamdulillah dagangnya laku, namun upahnya tak mencukupi untuk membeli obat untuk ibunya. Tapi untung Ibu Fatimah baik, ia juga membelikan obat untuk ibunya tanpa memotong upah untuknya. Betapa senangnya hati gadis kecil itu.

Sesampainya dirumah, ia langsung menidurkan kedua adiknya Fathi dan Ully. Serta memberikan obat untuk ibunya. Setelah itu ia langsung belajar didalam kamarnya. Menjelang jam sebelas ia menutup buku pelajaran dan mengambil sehelai kertas lalu menulisnya.

“ Ayah. Dimana ayah sekarang ? Kami semua rindu pada ayah.”, tulisnya.

“ Ayah, taukah oleh ayah, sekarang ibu sakit Tubuhnya sekarang sangat kurus dan lemah. Kata dokter ibu sakit kanker rahim. Aku sebenarnya tidak tau apa itu kanker rahim, sebenarnya aku ingin bertanya pada ibu tapi takut ibu akan sedih. Dan kata dokter ibu harus dioperasi, tapi ibu tidak mau kata ibu tidak ada uang. Aku sedih melihat ibu seperti ini, setiap hari ibu meringis kesakitan, dan bahkan sampai berkeringat menahan sakitnya. Sering aku menyuruh ibu untuk operasi, tapi ibu bilang operasi itu butuh uang banyak. Oleh karena itulah ayah, aku sekarang hampir setiap hari jualan gorengan agar bisa menabung supaya ibu bisa dioperasi. Ayah, tadi disekolah ada lomba matematika. Sebenarnya aku ingin sekali ikut, tapi untuk ikut harus bayar lima puluh ribu. Jadi aku urungkan saja niatnya untuk tidak ikut karena tidak ada uang. Ayah, kata kak Hanum ayah pergi ada urusan. Kalau urusan ayah sudah selesai cepat pulang ya ayah. Karena aku, Fathi dan Ully serta ibu sangat sangat rindu sekali pada ayah. Apalagi Fathi setiap hari dia berdiri di depan pintu menunggu ayah dan setiap hari pula bertanya kapan ayah pulang padaku dan kepada ibu. Aku tidak tau harus menjawab apa. Sedangkan ibu hanya menangis. Ayah, kami sayang ayah, cepat pulang ayah. Kami semua rindu.”

Setelah menulis, ia lipat surat itu dan dimasukkannya kedalam kardus yang juga telah berisi banyak surat untuk ayahnya. Ia berharap suatu hari nanti ayahnya akan membalas suratnya dan pulang kerumah.

Keesokan harinya, sesudah pulang sekolah. Fatma seperti biasanya berjualan goreng dengan adiknya. Ketika ia sedang beristirahat, adiknya Ully berteriak dan berlari kearah restaurant mewah diseberang pengisian minyak.

“ Kak Fatma, itu ayah. Itu ayah, kak. Dia ada didalam restaurant itu. Lihat kak! Itu ayah.”

Ully berlari – lari kearah restaurant itu. Terpaksa Fatma mengejarnya. Namun mereka terhalang untuk menyeberang karena lalu lintas yang padat. Setelah sampai di sana, mereka dihadang pelayan restaurant tersebut.

“ Heh….heh..Kalian mau ngapain di sini ? Pergi….pergi….Ayo pergi !”

“ Ada ayah saya disana, mas.”, jawab Ully.

“ Mas, saya sama adek saya mau ketemu dengan ayah saya.”, jawab Fatma seraya melihat sosok yang ditunjuk oleh adiknya. Ternyata benar, itu adalah ayahnya. Namun, tampilan ayahnya kini telah berbeda. Pakaian yang dikenakan oleh ayahnya sangat mewah, ia bahkan duduk diantara orang yang juga berpakaian mewah, dan disampingnya ada seorang wanita yang mengenakan pakaian mewah dan banyak berlian dan perhiasan.

Sesaat kerinduan pada ayahnya terlepaskan. Namun, pelayan tersebut tetap menghadang mereka sehingga Fatma dan Ully tidak dapat menemui ayahnya. Sehingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang kerumah saja. Dan datang besok lagi ke restaurant tersebut.

“ Ully, besok saja kita ke sini lagi. Ayo kita pulang, kita kasih tau ibu juga.”, bujuk Fatma kepada adiknya sambil berbisik.

Akhirnya, mereka pulang ke rumah. Akan tetapi sesampainya dirumah, ia justru tidak mendapati ibunya. Tiba – tiba kak Hanum tetangga mereka datang dan memberi tahu bahwa ibunya masuk rumah sakit karena muntah darah. Dan kak Hanum membawa mereka ke rumah sakit.

Sesampainya mereka di rumah sakit, kak Hanum langsung menanyakan kepada dokter mengenai kesehatan ibunya. Namun tampaknya kak Hanum dan dokter terlibat pembicaraan yang serius. Tampak wajah kak Hnum tegang dan sedih. Fatma melayangkan pandangannya kepada ibunya yang ada di kamar rumah sakit. Ibunya terbaring lemah dengan seluruh tubuhnya dipasangkan bermacam – macam kabel yang banyak. Fatma benar – benar cemas melihat keadaan ibunya.

“ Kak, Ully takut. Ibu kenapa kak ? Kenapa ibu tidak bangun.”

“ Entahlah Ully, kakak juga tidak tahu. Tapi kita berdoa saja ya semoga ibu baik – baik saja. Nanti kalau ibu bangun kita pasti pulang karena ibu tidak suka di rumah sakit kan ? “, jawab Fatma sambil mendekap erat adiknya.

“ Ayah, ibu sakit sekarang. Ayah, Fatma benar – benar takut sekarang. “, bisik Fatma dalam hatinya.

Karena menunggu kak Hanum yang masih berdialog dengan dokter, Fatma memutuskan untuk menulis surat kepada ayahnya. Ia mengambil kertas dan mulai menulis.

“ Ayah, ibu muntah darah kata kak Hanum. Ayah, fatma benar – benar takut sekarang. Tadi kak Hanum berbicara dengan dokter. Mereka bilang anfal, kritis, stadium akhir. Fatma tidak mengerti maksudnya ayah. Ayah, bagaimana kalau ibu meninggal ? Bagaimana nasib Fatma, Fathi dan Ully ? Siapa yang mengurus kami ? Kak Hanum siangnya harus kerja sedangkan urusan ayah juga belum selesai. Ayah, Fatma tidak mau ibu meninggal. Fatma, Fathi dan Ully sangat sayang kepada ibu. Ayah, tadi kami melihat ayah di tempat mewah. Pakaian ayah bagus dan teman – teman ayah juga sepertinya orang kaya. Ayah, cepatlah pulang kami rindu…..”

Ketika sedang asyik menulis surat, ia dikejutkan oleh kedatangan kak Hanum.

“ Sedang bikin apa Fatma ? ”

“ Tulis surat buat ayah. Fatma mau ngasih kabar kalau ibu sakit trus supaya ayah datang ke sini.”

Wajah kak Hanum berkaca – kaca saat memandang mata bening gadis itu. Air matanya perlahan melelah melihat ketulusan Fatma menunggu ayahnya pulang. Dalam mata Fatma ayahnya hanya pergi untuk sebuah urusan dan akan pulang. Namun ia tak tahu kalau ayahnya takkan mungkin pulang. Dan ia tahu itu, namun Hanum tidak tega mengatakannya pada gadis kecil itu. Ayah Fatma tidak lagi menyayanginya dan ibunya. Ayahnya gelap mata karena kemiskinan. Beliau tidak mampu menanggung pahitnya kemiskinan. Sehingga dia memilih menikah lagi dengan janda kaya raya dan meninggalkan ibu, Fatma serta kedua adiknya. Teganya beliau meninggalkan Fatma dan adiknya saat ibunya menderita kanker rahim stadium akhir. Namun tak seorang pun yang memberitahukan hal ini pada gadis itu. Fatma setiap hari menulis surat untuk ayahnya berharap suatu hari nanti ayahnya akan pulang.

Wajah polos Fatma bingung melihat Hanum menagis. Lalu Hanum memeluk Fatma.

“ Jangan tulis surat lagi Fatma. Ayahmu tidak akan pulang lagi. Kamu tidak usah berharap. “

“ Kenapa kak ? Bukannya kakak bilang, ayah ada urusan dan kalau urusan ayah sudah selesai ayah akan pulang. Kenapa kakak bicara begitu ? “

“ Fatma, dengarkan kata kakak sekarang dan ingat untuk selama – lamanya. Ayah kamu tidak akan pulang. Ayah kamu tidak mau pulang dan bertemu kamu , Ully dan ibumu lagi. Karena ayahmu sudah tak sayang lagi pada kalian. Dia sudah pergi dan bahagia dengan orang lain. Dia sudah melupakan kalian. Dia menikah dengan wanita kaya dan pergi. Dia mengkhianati ibumu. Dan dia tidak akan kembali lagi. Jadi kamu tidak perlu menulis surat untuknya. Kalaupun ayahmu mendapatkannya, dia mungkin juga akan membuangnya.”, jawab kak Hanum emosi.

Fatma tertegun mendengarnya.

“ Kak Hanum salah. Ayah itu pergi bukan karena tidak sayang pada kami lagi. Tapi ayah pergi karena ada urusan. Ayah sayang pada kami, kak. Tadi aku dan Ully melihat ayah di restaurant mewah berarti sebentar lagi ayah akan pulang.”, jawab Fatma tegas.

“ Fatma, percaya pada kakak. Kamu tunggu pun ayahmu tidak akan kembali. Kalau dia sayang pada kalian mengapa dia biarkan kamu yang masih kecil kerja dan dia biarkan ibumu sakit seperti itu. Fatma percayalah pada kakak. Berhentilah berharap ayahmu akan kembali.”

“ Kak Hanum bohong. Fatma tidak percaya kak Hanum.”, teriak Fatma sambil berlari.

Gadis kecil itu pergi ke menara rumah sakit. Disana ia menangis sepuas – puasnya. Setelah puas menangis ia menulis sebuah surat. Surat terakhir yang akan ia tulis untuk ayahnya. Setelah itu ia takan menulis surat lagi untuk ayahnya.

“ Ayah. Ayah. Aku benar – benar bingung sekarang. Aku bingung, cemas, sedih, marah dan takut. Hari ini benar – benar panjang dan membingungkan. Tadi siang, aku dan Ully melihat ayah. Ketika kami panggil, ayah tak melihat ke arah kami. Entah tidak melihat atau tidak ingin melihat aku juga tidak tau. Lalu setelah kami pulang, ternyata ibu masuk rumah sakit. Aku benar – benar cemas dan takut. Kata kak Hanum kondisi ibu sangat parah. Setelah itu kak Hanum bilang, aku tidak usah lagi tulis surat untuk ayah. Kak Hanum bilang ayah sudah tidak sayang lagi pada kami. Ayah sudah bahagia dengan orang lain. Ayah sudah menikah lagi dengan wanita kaya dan mengkhianati ibu. Kasihan ibu, sekarang beliau sedang sakit tapi ayah ternyata telah pergi. Awalnya aku tidak percaya kata kak Hanum, tapi akhirnya aku percaya. Kenapa ayah tinggalkan kami justru disaat – saat kami butuh ayah. Ibu sakit parah bahkan hampir setiap hari beliau berkeringat dan menggigil menahan sakitnya. Lalu setiap hari kami makan nasi pemberian orang. Untung kak Hanum baik mau menjaga ibu ketika aku dan Ully sekolah. Dan kak Hanum pula yang sering memberi kami makan. Ayah. Apa benar ayah tidak sayang kami lagi ? Kalau ayah memang sudah tidak sayang lagi dan tak mau pulang lagi, aku takan meminta ayah untuk pulang. Tapi bolehkan aku tetap memanggilmu sebagai ayah ? Ayah, aku masih tetap sangat sangat merindukan ayah, tidak peduli walaupun ayah tak sayang padaku lagi. Ully pun masih sejak tadi menceritakan ayah. Ayah, ini suratku yang terakhir dan setelah ini aku takan lagi menulis surat untuk ayah. Aku takut surat ini menggangu kebahagian ayah. Ayah, terakhir kali aku hanya ingin menyampaikan bahwa aku, Ully, Fathi dan ibu sangat merindukan ayah. Kami semua sangat sayang pada ayah walaupun ayah tidak sayang pada kami lagi. Ayah, tahukah ayah, walaupun kak Hanum bilang ayah takan pulang, tapi aku masih berharap ayah mau pulang. Ayah, kutitipkan rindu ini lewat kertas. Ayah…..Ayah, tahukah ayah besarnya rinduku padamu ayah. Ayah, biarkanlah surat terakhirku ini mengantarkan semua rasa rindu yang tak tertahankan ini padamu. Ayah, tahukah ayah, betapa sakitnya aku saat ini, karena aku hanya bisa merindukanmu . ”

Setelah itu, ia lipat surat tersebut dan diikatkanya pada balon. Lalu gadis kecil itu menerbangkan balon tersebut ke udara. Ia tahu bahwa takkan mungkin ayahnya dapat membaca surat tersebut. Namun, jauh di lubuk hatinya yang terdalam, suatu saat ayahnya pasti akan bisa membaca surat itu.

Lalu ia menegakkan kepalanya sambil berjalan. Ia berjalan dengan perasaan hancur menuju ruangan ibunya. Sambil berjalan, ia menata hatinya perlahan. Hatinya memang hancur, namun jauh di dalam hatinya, ia merasa lega. Setidaknya ia tahu kenyataannya, bahwa ayah yang selama ini dia tunggu takkan pulang. Jadi ia tidak usah lagi berharap. Walaupun itu artinya ia harus mengubur rasa rindu pada ayahnya jauh semakin dalam.