BIDADARI PURNAMA KESEKIAN

“ Jangan sampai kamu jatuh cinta padaku ya. “, ucapnya saat itu dan seterusnya setiap kali kami berjumpa.

“ Kenapa ? “, kataku.

“ Karena aku bukan manusia sepertimu. Aku ini bidadari. “, jawabnya. Dan selalu ia menjawab demikian manakala aku bertanya mengapa aku tidak boleh jatuh cinta padanya.

“ Memangnya manusia tidak boleh jatuh cinta dengan bidadari ? “, balasku.

“ Tidak boleh. Itu menyalahi hukum alam. “

“ Hukum alam yang mana yang melarang ? ”

Ia memutar bola matanya saat mendengar pertanyaanku. Sambil menatapku, ia menyipitkan mata seolah-olah pertanyaanku tadi adalah pertanyaan remeh mengenai perkalian satu kali dua.

“ Manusia harus jatuh cinta dengan manusia. Apa kamu tidak pernah dengar legenda Dewa Zeus yang sering jatuh cinta dengan manusia ? Atau kisah mengenai Joko Tarub yang jatuh cinta dengan bidadari ? Apakah semuanya berakhir bahagia ? “, jelasnya sambil berbisik-bisik seolah-olah ini adalah rahasia besar yang tidak diketahui dunia.

“ Tapi semua itu kan hanya legenda dan mitos. Kebenarannya belum teruji. “, balasku tidak mau kalah.

Sambil menghela nafas ia kembali berbisik, sekarang bahkan sambil sambil menutup sedikit bibirnya dengan tangan persis seperti ibu-ibu komplek bercerita aib tetangga;

“ Nah itu masalahnya. Manusia adalah mahluk yang susah diberi tahu. Legenda dan mitos itu sungguhan dan bertujuan agar manusia  berhati-hati, tapi malah dianggap hanya cerita bohong saja.”

Ia kemudian berbalik pergi meninggalkanku begitu saja. Selalu begitu setiap kami berjumpa.

Aku menatap punggungnya yang makin menjauh dari ujung jalan. Ia berjalan pelan-pelan sekali seperti putri keraton.

Saat pertama kali berjumpa dengannya, Sang Bidadari, begitu ia memperkenalkan diri – sejujurnya aku tergelak. Jarang sekali ada perempuan yang begitu bangga dengan kecantikannya sampai memperkenalkan diri sebagai Sang Bidadari. Jarang sekali, benar-benar jarang. Meski ia adalah wanita tercantik di muka bumi sekalipun, pastilah lazimnya wanita akan memperkenalkan nama aslinya ketika berkenalan. Itu pun sangat langka sekali, mereka menyebut dirinya Sang Bidadari pada pertemuan selanjutnya, sekalipun dengan maksud bercanda.

Tapi gadis itu adalah gadis langka. Tanpa malu-malu ia memperkenalkan diri sebagai Sang Bidadari kepadaku. Awalnya kukira ia hanya bercanda. Tapi tampaknya ia serius dengan itu.

Suatu ketika saat sedang mengantri, aku bertanya padanya;

“ Kalau kamu adalah bidadari, lantas mengapa ada di sini ? Bahkan mengantri untuk mengambil antrian obat di rumah sakit, seperti saat ini.”

“ Kamu tidak pernah membaca cerita atau legenda tentang bidadari ya ? “, selidiknya.

“ Enggak.”

“ Hemm. Begini yaa, dengarkan penjelasanku baik-baik. Sama seperti para dewa yang kadang-kadang bosan berada di langit, bidadari juga kadang bosan. Nah, seperti para dewa yang ketika bosan, turun ke bumi hanya sekedar untuk cuci mata menghilangkan kebosanan, bidadari juga melakukan hal yang sama. “, jawabnya.

“ Oh ya ? “, tanyaku meledek.

“ Ini benar loh. Kamu memangnya tidak pernah mendengar cerita Joko Tarub bertemu dengan bidadari yang sedang mandi di sungai ? “

“ Memangnya di khayangan tidak ada kamar mandi atau sungai, sampai-sampai bidadari harus turun ke bumi untuk mandi ? “, jawabku pura-pura bingung.

Sambil mengkerucutkan bibirnya, ia menjawab;

“ Tentu saja ada. Dan pastinya jauh, jauh lebih bagus daripada di bumi. Hanya saja terkadang, kami para bidadari bosan dengan sungai dan pemandian yang ada di khayangan. Jadilah sekedar jalan-jalan mencari suasana baru, kami turun ke bumi. Dulu aku juga pernah melakukan itu. “, balasnya sambil menjelaskan padaku bagai menjelaskan persoalan inflasi dan pengaruh ekonomi makro terhadap stabilitas keuangan negara.

Demi melihat muka bundarnya yang lucu ketika menjelaskan persoalan ini dan mata bulatnya yang berkedip-kedip seperti lampu sorot ketika ceritanya diremehkan, aku selalu meladeni cerita gadis yang mengklaim dirinya adalah Sang Bidadari itu. Wajahnya menggembung bulat seperti ikan buntal yang terancam bahaya, manakala aku mengolok-olok dan tidak percaya cerita bidadarinya. Aku benar-benar gemas dibuatnya.

Maka setiap tiba giliranku menebus obat untuk Ibu, aku selalu bersemangat. Karena itu tandanya aku akan berjumpa dengan Sang Bidadari dan ceritanya. Ia juga setiap bulan mengantri obat di rumah sakit yang sama denganku.

Dengan pengalamanku menebus obat selama bertahun-tahun untuk ibu, aku bisa membagi setiap orang yang antri menebus obat  setidaknya dalam dua kelompok. Pertama mereka yang menebus obat karena sakit tertentu yang sifat konsumsi obatnya jangka pendek dan kedua mereka yang menebus obat untuk penyakit tertentu yang sifat konsumsi obatnya jangka panjang. Kedua tipe pengantri ini memiliki perbedaan yang dapat langsung dikenali.

Untuk tipe pengantri yang pertama, umumnya mereka akan bertanya sana sini mengenai prosedur menebus obat kepada sesama pengantri ataupun petugas, mereka juga akan bolak balik melihat jam dan bertanya lagi kepada petugas kenapa nomor antriannya lama sekali terpanggil. Selain itu biasanya mereka juga akan bertanya kepada pengantri lainnya dengan pertanyaan “ dari tadi ?’ atau “ sudah nomor antrian berapa ? “ atau “ sakit apa ? “ dan pertanyaan lainnya.

Sedangkan pengatri tipe kedua, tidak akan bertanya prosedur menebus obat karena mereka sudah terbiasa dan bahkan hafal prosedurnya dan tidak akan bolak balik melihat jam dan bertanya kepada petugas kenapa nomor antriannya belum kunjung dipanggil juga, karena mereka sudah tahu dari layar antrian kapan nomornya dipanggil dan karena mungkin petugas juga sudah hafal dengan mereka, sehingga begitu nomor antriannya terpanggil, yang dipanggil bukan nomornya tapi si pengantri langsung, karena sudah kenal. Serta mereka tidak akan bertanya kepada pengantri lainnya seperti pertanyaan pengantri tipe pertama. Paling tidak topik pembicaraan ataupun pertanyaan mereka adalah berita terhangat, peta politik ataupun gosip yang sedang ditayangkan di televisi ruang antrian. Mereka tidak akan bertanya lagi mengenai “sakit apa ?” kepada sesama pengantri, karena bisa jadi sakit yang mereka alami justru lebih berat dan menyakitkan. Tipe ini biasanya jauh lebih tenang dan diam dalam menunggu antrian.

Gadis yang mengaku Sang Bidadari itu adalah pengantri tipe kedua.

Ia tidak pernah berisik dan bolak balik bertanya mengenai nomor antrian. Karena begitu ia datang ke apotek rumah sakit, ia langsung menuju kursi kosong, kemudian duduk sambil membaca sesuatu. Seorang wanita berusia paruh baya yang datang bersamanya-lah yang kemudian mengurus obat yang akan ditebus gadis itu. Begitu obat selesai ditebus, dengan kerlingan mata dan isyarat kepala dari wanita paruh baya itu, gadis yang mengaku Sang Bidadari itupun kemudian pulang.

Karenanya pulalah, topik pembicaraan kami saat mengantri obat adalah seputar pengakuan dirinya yang seorang bidadari bermula. Seperti apapun aku mengolok-olok ceritanya, ia pasti dengan penuh takzim dan keseriusan menjawab serta menjelaskan padaku mengenai cerita bidadarinya.

“ Kalau kamu memang bidadari, lantas kenapa belum juga kembali ke khayangan sampai sekarang ? “, tanyaku waktu itu. Setahun lebih sudah aku mengantri bersama dengannya menebus obat di rumah sakit ini.

“ Nah, itu yang dinamakan tugas. Sama seperti manusia yang bekerja di suatu divisi kemudian ditugaskan ke divisi lain. Bidadari juga begitu.”, jawabnya pasti.

“ Tapi itu kan karena manusia bekerja. Dan pemindahan divisi juga karena urusan pekerjaan manusia. Sedangkan bidadari memangnya ada urusan pekerjaan apa sampai ditugaskan ke bumi ?”, balasku tak mau kalah.

“ Jangan salah. Bidadari juga bekerja. Aku dipindahkan sementara ke bumi dengan misi tertentu. “, balasnya sambil berbisik dan mengedipkan mata.

Aku makin gemas dibuatnya oleh jawaban konyol itu.

“ Misi apa memangnya ? Misi menyelamatkan bumi dari kiamat atau alien ya “, tanyaku mengolok-olok.

Ia tenang saja melihatku mengolok-olok dirinya. Dengan santai ia menjawab;

“ Maaf, aku tidak bisa mengatakan apa misiku ke bumi. Itu menyalahi aturan. Aku bisa dihukum kalau membocorkannya. Lagipula, aku bisa dicari-cari FBI, CIA, Mossad atau badan intelijen lainnya jika mereka sampai mengetahui misiku.”

Aku hanya tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasannya. Ia benar-benar menjelaskan dengan sungguh-sungguh ceritanya tersebut. Dan sering dipenghujung cerita, ia menyikut lenganku sambil berbisik; “ Ini rahasia yaa. Awas kalau sampai kamu sebarkan. Siap-siap saja pasukan dewa akan menghukummu.”

Kalau bukan karena ruang antri obat ini kecil dan disesaki banyak pengantri dan kalau bukan karena takut dianggap gila, aku sudah berguling-guling mendengar perkataannya itu.

Tapi ia tetap teguh dengan ceritanya itu, meskipun sebagian besar responku terhadap ceritanya adalah olok-olokan tidak percaya. Setiap kali aku tergelak atau tertawa terbahak-bahak mendengar ceritanya, ia hanya diam menatapku, dengan tatapan seolah-olah menyiratkan makna “ Dasar manusia tidak percaya. Lihat saja nanti, baru kamu akan percaya”.

Namun, sekalipun aku tidak percaya dengan semua cerita bidadarinya, aku selalu betah menunggu antrian bersamanya. Bahkan akulah yang selalu bertanya dengan penuh semangat mengenai kisah bidadarinya.

“ Jelaskan padaku, apakah alien itu benar-benar ada ? Dan apakah alien benar-benar akan menyerang bumi ? “, tanyaku suatu waktu.

“ Kenapa bertanya mengenai alien padaku ? “, tanyanya bingung.

“ Ya, kamu-kan bidadari, setidaknya pasti pernah mendengar gosip atau apapun itu tentang alien di khayangan. “

“ Hmm, memangnya kenapa dengan alien ? “

“ Aku hanya ingin tahu apakah alien itu benar-benar ada dan apakah mereka memang berencana menyerang bumi. Jika iya, setidaknya aku bisa mulai mempersiapkan diri untuk membeli senjata canggih untuk melawan alien. “

Aku bertaruh. Jika bukan gadis itu yang mendengar perkataanku barusan, pasti orang lain yang mendengarnya akan mengingkir dari dekatku sambil berpikir bahwa aku ini sinting. Tapi gadis itu malah tampaknya sedang berpikir keras atas pertanyaan konyolku.

Sebelum menjawab pertanyaanku ia berdeham beberapa kali. Tampaknya pertanyaanku itu sangat pelik ia jawab. Dengan wajah dan mata yang membulat serius, ia menjawab dengan penuh hati-hati seolah-olah pertanyaanku tadi seperti menanyakan langsung kepada Presiden Amerika apakah Amerika akan membom Palestina atau tidak.

“ Sebenarnya ini adalah persoalan yang sangat sensitif. Aku tidak bisa mengatakan apakah alien itu nyata atau tidak, karena itu menyalahi aturan. Tapi yang bisa aku katakan adalah bumi ini hanyalah salah satu bagian kecil dari alam raya. Di luar angkasa sana, jutaan galaksi dengan jutaan planet dan bola gas menyerupai matahari, ada dan belum terjamah oleh pengetahuan penduduk bumi. Jika sekarang penduduk bumi misalnya hanya mengenal pengelompokan mahluk hidup dengan sistem 5 atau 6 kingdom yang dikenal dalam ilmu biologi, bukan berarti hanya mahluk itu saja yang ada di alam raya. Semesta ini begitu luas apabila dibandingkan dengan bumi yang tak ada apa-apanya. “ jawabnya sambil mengangguk takzim penuh arti.

Oh tuhan! Saking aku kaget atas jawabannya, aku bahkan tidak bisa tertawa seperti biasa. Bukan karena aku seketika percaya dengan semua cerita tak masuk akal itu melainkan aku terperangah atas pintar dan diplomatisnya ia membodohiku. Aku hanya mengangguk-angguk kecil mendengar jawabannya.

Ia benar-benar cocok jadi politisi. Karena salah satu keahlian yang mutlak dimiliki oleh politisi adalah menjawab pertanyaan tanpa perlu memberikan jawaban sesungghunya atas pertanyaan itu. Cukup bawa argumetasi teori, ilmu pengetahuan atau data-data yang memusingkan untuk berbelok dari inti pertanyaan. Cukup berikan jawaban yang terdengar sangat cerdas, sangat brilian dan sangat rumit, meskipun itu sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaan. Intinya bawakan semua jawaban itu dengan yakin, diplomatis plus mimik muka serius lagi meyakinkan, maka orang-orang akan percaya. Dan itulah yang dilakukan oleh gadis yang mengaku Sang Bidadari kepadaku.

Tapi bodohnya aku yang sudah tahu itu semua hanya bualan belaka. Namun setiap kali berjumpa, aku selalu semangat menyodorinya berbagai pertanyaan.

“ Kamu bilang kamu hanya ditugaskan sementara di bumi. Lalu sampai kapan berada di bumi ? “, tanyaku pada kesempatan lain.

“ Sampai masa tugasku selesai dan aku dipanggil kembali ke khayangan. “, jawabnya.

“ Berapa lama sampai masa tugasmu selesai ? “

“ Aku tidak tahu, tapi biasanya kalau sudah mendekati habis masa tugasku, aku akan diberikan tanda.”

“ Tanda seperti apa ? Surat pemberitahuan masa tugas akan berakhir ? Atau ada alarm ajaib yag akan berbunyi sambil mengeluarkan suara waktu “anda akan habis… waktu anda akan habis..” ? “, tanyaku sambil terkekeh.

Ia menatapku dalam diam.

“ Mungkin.”, jawabnya acuh.

Pada suatu kesempatan lain ketika mengantri, saat itu waktu sudah menunjukan jam makan siang. Wanita paruh baya yang menemaninya menebus obat kemudian mengeluarkan sebuah kota termos dan menyerahkan kepada gadis itu sebuah kotak persegi panjang yang menyerupai kotak bekal.

Dan ternyata benar kotak bekal makan siang. Ia membuka kotak bekal dan aku segera dapat melihat menu makan siangnya. Ayam rebus dan sayur rebus serta nasi yang agak sedikit lembek. Saat itu aku sudah makan siang sebelum menebus obat, sehingga aku bisa tetap duduk disampingnya saat ia makan.

Gadis itu basa-basi menawariku makan siangnya. Aku yang penasaran dengan bagaimana rasa makan siangnya yang tanpa cabe dan terlihat sama sekali tidak enak itu, langsung menyambut tawarannya saat ia menawariku makanannya. Aku meminta sepotong ayamnya. Awalnya ia terkejut hingga mengerutkan kening.

Darinya aku belajar bagaimana cara menjawab secara diplomatis, lantas aku berkata; “ Hanya ingin mencoba bagaimana rasanya makanan untuk bidadari. ”, kataku sambil mengangkat bahu.

Ia tersenyum tipis dan memberikan sepotong ayam padaku. Aku langsung mencicipinya. Ia menontonku mencicipi ayam itu.

Dulu aku pernah terkena tifus dan dirawat di rumah sakit waktu kecil. Selama dirawat aku hanya diperbolehkan makan masakan dari rumah sakit. Dan masakan rumah sakit benar-benar tidak menggugah selera. Sedangkan ayam yang aku makan ini rasanya jauh, dan jauh lebih tidak bersahabat dilidah dari pada masakan rumah sakitku dulu.

Ia tertawa kecil menyaksikan ekspresi wajahku ketika mengunyah ayam itu.

“ Sudah kubilang, manusia tidak boleh jatuh cinta pada bidadari. Makanan bidadri saja berbeda. Manusia tidak suka pastinya. Apalagi jatuh cinta dengan bidadari.”, ucapnya sambil mengunyah bekal makan siang. Ia tampak menikmati makanan yang tidak ada rasanya itu.

Sekalipun sesama pengantri tipe kedua yang tidak pernah saling bertanya sakit apa atau obat untuk siapa, aku tahu obat yang ia tebus adalah untuk dirinya sendiri. Meskipun aku tidak pernah bertanya. Namun pada suatu kesempatan ia pernah berkata;

“ Berada di bumi adalah karena menjalankan misi yang ditugaskan kepadaku. Maka bumi bukanlah rumahku. Aku hanya pendatang. Karenanya banyak hal yang ada di bumi tidak cocok denganku. Lihatlah dari segi makanan, makananku bukanlah selera penduduk bumi. Dari segi cuaca, mau sepanas apapun bumi, aku tetap harus mengenakan pakaian yang tebal. Selain itu aku harus meminum obat dan vitamin dengan jumlah yang banyak agar aku dapat bertahan dan menjalankan tugasku dengan baik di bumi.”, ucapnya sambil menerawang.

Ia memang tidak seperti gadis kebanyakan. Selama bertemu dengannya, ia selalu menggunakan pakaian musim dingin yang tebal sekalipun cuaca panas. Kulitnya juga sangat pucat. Rambutnya cukup tipis dibandingkan gadis lainnya. Badannya juga kurus seperti model yang melakukan diet ketat. Kalau berjalan, ia seperti tertatih-tatih.

“ Ya karena memang bumi tidak cocok denganku karena aku bidadari. Dulu rambutku sangat tebal dan indah, kulitku juga tidak sepucat ini. Tapi saat berada di bumi, rambutku rontok, kepalaku sering sakit, dan aku sering muntah. Hingga beginilah tubuhku jadi kurus.”, terangnya padaku meskipun aku tak pernah bertanya perihal itu.

Tapi matanya yang bulat penuh selalu memancarkan cahaya meskipun seluruh tubuhnya lebih terlihat seperti orang sakit.

“ Apakah berada di bumi membuat bidadari sepertimu menderita ? ”, tanyaku saat melihatnya batuk.

Ia menggeleng. Setelah menyelesaikan batuk dan menyeka mulutnya dengan sapu tangan ia berkata;

“ Bumi itu indah dan unik, berikut manusia dan seluruh penduduknya. Ada yang sangat baik seperti malaikat, ada yang sangat kejam seperti iblis dan ada yang seperti keduanya, kadang menjadi iblis dan kadang menjadi malaikat. Di bumi juga ada hewan yang sangat lucu seperti anjing, kucing, kelinci. Bahkan ada anjing yang sangat setia kepada pemiliknya seperti Hachiko.”, jawabnya.

“ Memangnya di khayangan yang seperti itu tidak ada ? “

“ Tentu saja ada. Tapi di bumi semuanya lebih berwarna dan tidak terduga. “

Aku mengkerutkan kening mendengar jawabannya.

“ Letak seni dari hidup itu adalah misteri. Sebagaimana misteri semuanya tidak terduga. Saat kita mencintai seseorang, misterinya adalah apakah orang itu merasakan hal yang sama dengan kita atau tidak. Atau misterinya adalah apakah kita saling berjodoh atau tidak. Saat kita belajar di sekolah, misterinya apakah kita lulus ujian, atau lulus ujian dengan nilai memuaskan, atau apakah bisa melanjutkan ke sekolah yang diinginkan. Misteri hidup adalah akan menjadi seperti apakah kita keesokan harinya. Dan itulah yang dipecahkan di bumi. “

Sekali lagi ia menjawab dengan jawaban yang cerdas meskipun aku tidak tahu apa arti perkataannya.

“ Apakah kamu rindu negeri asalmu ? “, tanyaku lagi.

Ia menerawang jauh. Aku mempersiapkan diri dengan jawaban tak terduga lainnya.

“ Seharusnya rindu. “, jawabnya.

“ Seharusnya ?  Bukannya bumi ini bukan rumahmu dan kamu tidak cocok berada di bumi ? “

“ Benar. “, angguknya.

“ Lalu ? “

“ Seperti manusia yang apabila merantau terlalu lama dan mulai merasa betah diperantauan, aku pun terkadang merasa sudah mulai cocok berada di sini. “

“ Lalu apakah kamu memutuskan untuk tinggal selamanya di bumi ? “

Ia menggeleng.

“ Aku pernah mendengar seorang manusia berkata saat memberikan ceramah di televisi. Ia berkata bahwa kehidupan ini melenakan kita. Setelah aku pikir-pikir itu benar adanya. Seberapapun aku merasa betah dan mulai cocok di sini, bumi bukanlah rumahku dan tempat aku berasal. Aku bidadari dan bumi bukan rumahku.”, ucapnya sedikit muram.

“ Jadi apakah kamu merindukan negeri asalmu ? “

“ Seharusnya aku rindu. Tapi karena aku terlena saat berada di bumi, sejenak aku lupa dengan negeri asalku. Namun aku sadar, aku tidak boleh lupa kalau aku bidadari dan waktuku di bumi hanya sementara. “

“ Jadi kamu benar-benar akan pergi dari bumi ? “, tanyaku sedih.

“ Iya.”

“ Bagaimana kalau aku rindu ? “, tanyaku semakin sedih.

Ia langsung tertawa bahkan sampai terbahak-bahak. Jarang sekali ia tertawa begitu lepasnya. Aku hanya cemberut menyaksikan responnya.

“ Bagaimana kalau aku rindu ? “, desakku lagi padanya.

Ia masih terengah-engah karena tertawa. Setelah mengatur nafas ia menjawab;

“ Kenapa bisa sampai rindu ? “

“ Mana aku tahu. Memangnya rindu ada syaratnya. Harus memenuhi syarat dulu baru bisa merindu.”, ucapku.

Ia hanya tertawa kecil melihatku merengut.

Dan benar saja, aku benar-benar mulai merindukan gadis yang mengaku sebagai Sang Bidadari itu.

Menanti obat ibuku habis untuk ditebus kembali di apotek agar dapat berjumpa dengannya terasa sangat lama. Bahkan saking lamanya, aku pernah duduk menunggu di apotek sambil berharap gadis itu datang menebus obat meskipun saat itu belum jadwal menebus obat untuk ibu.

Tapi sayangnya ia tak datang. Aku mulai berpikir sinting, jangan-jangan dia benar-benar bidadari yang nanti akan kembali ke khayangan.

Saat bertemu dengan gadis itu waktu menebus obat berikutnya, aku berujar gusar;

“ Kenapa kamu tidak mengaku nabi saja sih ? “

Ia bingung mendengar pertanyaanku.

“ Iya, kenapa kamu tidak mengaku sebagai nabi saja seperti orang-orang yang diberitakan di televisi.”

“ Maksudnya ? “

“ Kamu bilang kamu itu bidadari dan hanya sementara di bumi, tidak selamanya. Kenapa tidakmengaku nabi saja yang selamanya berada di bumi. Jadi aku bisa mencarimu setiap kali aku rindu.”, ucapku bersungut-sungut.

Ia tertawa kecil.

“ Harapanmu terlalu pendek kalau bagitu. Kenapa tidak sekalian saja menyuruhku mengaku sebagai manusia, agar kamu bisa jatuh cinta padaku.”, ucapnya sambil mengedipkan mata padaku.

Astaga ! Benar juga ucapannya.

“ Yasudah kalau begitu mengakulah sebagai manusia agar bisa jatuh cinta padamu. “

Ia terkekeh.

“ Makanya dari awal aku katakan, jangan jatuh cinta padaku, karena aku ini bidadari.”, jawabnya masih sambil terkekeh.

Aku menatap mata bulatnya.

“ Kapan kamu akan pergi ? “

Ia mengehentikan tawanya.

“ Mungkin purnama yang kesekian. “, jawabnya sambil mengangkat bahu.

“ Kapankah itu ? “

Sambil mengangkat bahu ia berkata; “ Aku juga tidak tahu, makanya aku mengatakan mungkin purnama kesekian. Oleh karenanya aku bergelar Bidadari Purnama Kesekian.”

“ Maukah kamu memberi tahuku apabila kamu sudah menerima tanda jika waktumu telah selesai di bumi ? “, pintaku tak masuk akal.

Ia tersenyum mengejekku.

“ Untuk apa ? “

“ Setidaknya aku bisa bersiap-siap, kalau-kalau aku boleh menumpang ikut bersamamu. Katanya bidadari di khayangan cantik-cantik semua.”, kataku.

“ Kan manusia tidak boleh jatuh cinta dengan bidadari kataku.”, balasnya.

“ Aku kan cuma mau melihat-lihat saja, bukannya jatuh cinta.”, kataku sambil tertawa.

“ Tidak bisa ! ”, katanya sambil tertawa menyilangkan tangan.

“ Kenapa ? Apa kamu takut aku jatuh cinta dengan bidadari lainnya ya ? “, ujarku sumringah.

Ia seketika tertawa terbahak-bahak kembali mendengar perkaataanku.

“ Agar aku bisa bersiap melepasmu. Diklat tiga hari saja ada cara perpisahan sesama peserta diklat. Bagaimana mungkin antara kita tidak ada perpisahan.”, ucapku saat ia masih tertawa.

Ia lantas terdiam mendengar ucapanku. Saat itu juga wanita paruh baya yang menemaninya menebus obat mengangguk padanya. Ia berdiri dan pamit pulang padaku.

Hari ini adalah hari yang aku nantikan sejak 29 hari yang lalu. Saatnya menebus obat ibu. Artinya aku akan bertemu dengan gadis yang mengaku Sang Bidadari itu.

Aku bersiap ke rumah sakit seperti yang sudah-sudah aku lakukan. Sesampainya di apotek, aku belum melihat gadis itu. Aneh, biasanya ia yang selalu datang lebih awal. Aku menunggu dua jam, tapi ia tak kunjung datang. Jangan-jangan tadi malam adalah purnama. Aku langsung mengecek di internet apakah tadi malam benar-benar adalah purnama. Seketika aku langsung diserang gelombang panik.

Sedikit perasaan lega ketika aku mengetahui bahwa tadi malam bukanlah purnama. Tapi mengapa ia belum juga datang ? Berbagai kemungkinan bergelayut di otakku. Bagaimana jika perhitungan purnamanya berbeda dengan perhitungan purnama pada umumnya. Tapi akal sehatku langsung mengutuk, jangan bodoh purnama kan tergantung dengan bulan, dan bulan yang merupakan satelit alami bumi hanya ada satu. Jadi tidak mungkin ada perhitungan yang meleset jauh, kecuali bulan berjumlah lebih dari satu.

Tapi aku tetap was-was. Apa jangan-jangan isyarat purnama itu hanya bohong belaka ? Atau bermakna kiasan bukan harfiah sebagaimana makna purnama sebenarnya. Kemungkinan-kemungkinan itu membuat hatiku gusar.

Satu jam berikutnya keajaiban terjadi. Aku melihat wanita paruh baya yang selalu menemaninya memasuki apotek dan langsung menyerahkan resep kepada petugas. Ia sekilas melihatku, namun begitu menyerahkan resep, ia keluar meninggalkan ruang tunggu. Aku bertanya-tanya, dimanakah gadis itu.

Selang beberapa menit, aku melihat wanita paruh baya tadi memasuki ruang antrian apotek sambil mendorong kursi roda. Gadis yang mengaku Sang Bidadari Purnama Kesekian adalah gadis yang duduk di atas kursi roda yang didorong oleh wanita itu.

Gadis itu menatapku sambil tersenyum lebar saat wanita paruh baya itu memarkirkan kursi roda yang ia dorong disamping tempatku duduk.

“ Haloooo, pasti menungguku yaa ? “, sapanya dengan sangat ceria.

Aku hanya terdiam menyaksikan wajah ceria di hadapanku. Mata bulatnya sangat cekung. Wajah bulatnya juga melengkung pada bagian pipi. Ia terlihat sangat kurus dari biasanya.

Ia masih tersenyum menantikan respon dariku. Untuk beberapa detik aku terdiam, sampai akhirnya sebuah kalimat meluncur dari bibirku;

“ Kenapa pakai kursi roda ? “, tanyaku. Aku bahkan tidak membalas sapaan halo darinya.

“ Karena aku bidadari.”, jawabnya enteng.

“ Memangnya bidadari menggunakan kursi roda ? “

“ Iya. “

“ Bohong..”, kataku sambil menyipitkan mata.

Ia tersenyum kecil sambil memperbaiki posisi duduknya.

“ Kalau di khayangan, bidadari bahkan tidak perlu berjalan. Ada pesuruh khusus yang akan membawanya dengan tandu atau kereta kemana pun ia mau. Tidak perlu berjalan. Tapi kalau bidadari berjalan, boleh saja.”

“ Tapi kan kursi roda bukan tandu atau kereta dan semacamnya ! “, tuntutku.

“ Jelas memang bukan. Kalau aku minta ditandu di bumi, bisa-bisa sepanjang jalan orang-orang akan melihatku dan identitasku mungkin juga bisa terungkap.”, jawabnya sambil berbisik.

Aku tidak peduli benar atau tidak bidadari di khayangan sana ditandu atau bahkan bepergian menggunakan pesawat ulang aling sekalipun.

“ Kamu sakitkan ? Kamu sudah tidak kuat berjalankan ? “, kataku sambil menatap matanya.

Ia menghela nafas kemudian menyipitkan matanya.

“ Aku kan sudah bilang, bumi memang tidak cocok denganku. Selama di bumi aku memang harus minum banyak obat dan vitamin. “, jawabnya diplomatis.

Aku hanya diam mendengar jawabannya. Selang beberapa waktu kami duduk dalam diam. Suasana apotek cukup ramai hari ini. Di depan kami, banyak para pengantri berlalu lalang.

“ Kupikir tandanya sudah datang.”, ucapnya memecah keheningan diantara kami setelah beberapa waktu.

Aku menoleh melihatnya. Ekspresi wajahnya datar seolah-olah baru saja mengatakan hujan akan turun sebentar lagi.

“ Tanda apa ? “, tanyaku.

“ Tanda purnama kesekian yang aku tunggu. “

“ Apakah sudah tiba saatnya ? “

Ia menggeleng.

“ Aku tidak tahu kapan, tapi tanda purnama kesekian yang aku tunggu sudah datang.”, ucapnya penuh arti.

“ Apakah kamu langsung pergi ? “

Ia kembali menggeleng.

“ Aku tidak tahu. Tapi yang jelas tanda itu menyuruhku berkemas dan bersiap.”

“ Apakah tidak ada hitung mundur seperti SEA Games yang ada di Bundaran HI ? “, tanyaku polos.

Ia langsung tergelak mendengarnya.

“ Tidak ada hehehe….”, jawabnya sambil tersenyum.

Aku kembali terdiam. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan memenuhi rongga dadaku.

“ Apa yang akan kamu harapkan ketika sampai di khayangan nanti ? “, tanyaku lagi.

Ia terdiam dan berpikir sebentar. Dengan mantap ia menjawab;

“ Aku ingin menjadi bidadari yang paling cantik dan paling bahagia.”, ucapnya sambil tersenyum memperlihatkan giginya.

Aku tersenyum menatap mata bulatnya yang kini sangat cekung.

“ Bukannya bidadari memang sudah tercipta dengan wajah yang cantik ? “, tanyaku.

Ia mengubah posisi duduknya agar benar-benar berhadapan denganku.

“ Aku ingin menjadi bidadari yang cantiknya paripurna. Dan juga yang paling bahagia. Bukankah setelah melalui penugasan atau tes kemampuan kita menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku menganggap penugasan di bumi ini sebagai ujian. Sehingga nanti ketika aku kembali, aku bisa naik tingkat menjadi bidadari yang paling cantik, yang kecantikannya paripurna. Dan juga yang paling bahagia.”, jawabnya sambil menatap lurus ke dalam mataku.

Aku tersenyum melihatnya. Mata bulatnya yang semakin cekung tidak lantas menghisap cahaya yang ada di mata itu. Cahaya berbinar itu masih ada di sana. Detik itu juga aku benar-benar yakin bahwa gadis itu adalah Sang Bidadari.

Sisa waktu menanti antrian obat kami habiskan dengan obrolan ringan seputar binatang peliharaannya, film kesukannya dan semua pembicaraan ringan. Aku bahkan menceritakan cerita lucu yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. Tak pernah aku melihatnya sebahagia ini.

Tapi sebahagia apapun hari ini, toh juga akan berakhir. Setidaknya berakhir dengan nomor antriannya yang telah terpanggil.

“ Apakah kamu sedih meninggalkan bumi ? “

Ia menatapku penuh arti.

“ Maksudku kamu cukup lama berada di sini, bahkan kamu sendiri menyatakan sudah mulai terbiasa. Apakah itu tidak membuatmu sedih ketika harus pergi dan meninggalkan semua yang ada di bumi ? “, tanyaku sesaat setelah melihat wanita paruh baya yang menemaninya menebus obat, menerima obat dari petugas.

“ Aku sedih. Tapi aku ingat. Aku datang ke bumi pun sendirian tanpa membawa apapun. Maka aku harus kembali seperti itu juga.”, jawabnya sambil menatap lurus.

Beberapa menit kemudian wanita paruh baya yang menemaninya menebus obat memberikan isyarat. Ia mengangguk pelan. Aku tahu ini adalah saatnya gadis itu pulang.

Ia menghadapkan badannya kembali ke arahku sambil menjulurkan tangan;

“ Nomorku sudah terpanggil, saatnya pulang. Mari berjabat tangan.”, ucapnya sambil tersenyum.

Aku ingin sekali memeluknya saat itu. Tapi ini bukan di taman, ataupun di bandara, atau di stasiun atau bahkan di restoran romantis seperti film-film. Ini adalah apotek rumah sakit. Takkan ada adegan romantis di sini.

Aku menjabat tangannya yang kurus. Ia tersenyum sumringah.

“ Apakah kita akan berjumpa lagi 29 hari ke depan di sini ? “, tanyaku masih menjabat tangannya.

“ Tentu saja…”, ia berseru girang.

“ Apakah bidadari purnama kesekian akan datang menggunakan tandu atau karpet ajaib ala aladin ? “, tanyaku sambil tertawa.

Ia tersenyum dengan lebar.

“ Sang Bidadari nanti akan diantar dengan mobil James Bond, hahahah. ..”, candanya.

Kami berdua kemudian tertawa bersama. Wanita paruh baya yang menemaninya menebus obat menghampiri kami sambil tersenyum kecil. Aku bangkit dari kursi. Ia mengangguk ke arahku sambil kemudian meraih dorongan kursi roda gadis itu. Sebelum wanita itu mendorong kursi roda, aku membungkuk agar sejajar dengan gadis itu.

“ Sang Bidadari telah menjalankan misi rahasianya dengan sangat baik di bumi. “, kataku sambil menatapnya.

Sudut-sudut matanya berkerut ketika ia tersenyum mendengar kalimatku.

“ Terima kasih.”, jawabnya pelan.

Kemudian wanita paruh baya itu mendorong kursi roda menuju pintu keluar. Gadis itu melambaikan tangan sambil tersenyum ke arahku. Aku membalas lambaian tangannya sambil tertawa kecil. Begitu ia menghilang di ujung ruangan, aku terduduk. Ingin rasanya aku menangis seperti bayi di sini.

——-

Duapuluh sembilan hari berlalu semenjak pertemuan kami terakhir. Hari ini adalah jadwal rutinku menebus resep obat untuk ibu. Dan itu tandanya aku akan bertemu dengan Sang Bidadari. Aku bersiap seperti biasa menuju apotek rumah sakit.

Begitu menginjakkan kaki di ubin apotek, aku langsung dapat menangkap sosok wanita paruh baya yang selalu menemani gadis itu menebus obat. Tak biasanya ia berdiri di depan pintu apotek. Biasanya ia sudah menunggu antrian di dalam ruang tunggu apotek. Ia berdiri seorang diri sambil memperhatikan orang yang berlalu lalang.

Saat melihatku, ia seperti merasa lega. Aku langsung tahu, wanita itu menungguku. Aku berjalan ke arahnya.

“ Selamat siang bu.”, ucapku sambil mengangguk.

Ia tersenyum padaku.

Aku memperhatikan dengan seksama wajah wanita itu. Mata bulat gadis itu mirip dengan mata bulat wanita yang berdiri di hadapanku ini.

Wanita itu kemudian mengeluarkan sebuah amplop dan menyerahkannya padaku. Aku menatap bingung.

“ Aku datang ke sini bukan untuk mengantri obat. Ada titipan darinya yang harus aku serahkan padamu.”, ucapnya bergetar sambil menyodorkan amplop itu padaku.

Aku masih terdiam menatapnya. Aku tidak tahu apakah harus menerima amplop itu langsung ataukah bertanya apakah isinya dan dari siapa untuk sekedar berbasa-basi, meskipun aku tahu dari siapa amplop itu.

“ Terimalah. Dia berpesan, surat ini harus sampai di tanganmu. “, ucap wanita itu.

Aku menerima amplop itu. Wanita di hadapanku tersenyum tipis. Ia kemudian menepuk pundakku.

“ Terima kasih banyak. “, katanya sambil menatap wajahku.

Terima kasih untuk apa ? Kataku dalam hati. Tapi mulutku hanya diam.

Wanita itu kemudian menepuk pundakku beberapa kali kemudian berjalan meninggalkanku. Aku masih mematung terdiam. Untuk beberapa lama aku hanya berdiri dengan pikiran kosong. Hingga seorang ibu-ibu mendekatiku dan bertanya dimana loket untuk mengambil antrian obat padaku, barulah kemudian aku sadar.

Aku kemudian menuju lokat antrian dan menyerahkan resep obat untuk ibuku dan menerima nomor antrian. Bangku tempat aku dan gadis itu menunggu kosong. Aku berjalan ke arah bangku itu dan duduk di sana seperti biasa. Hal yang aku lakukan selanjutnya adalah mengitari pandangan ke sekeliling ruang tunggu mencari gadis itu. Tapi ia tidak ada. Mungkin ia memang datang ke sini menggunakan karpet ajaib ala aladin atau mobil James Bond, batinku dalam hati.

Setengah jam berlalu saat menunggu antrian. Aku belum juga membuka amplop yang diserahkan wanita tadi. Hatiku berperang apakah aku buka di sini atau nanti saja saat sampai di rumah. Tapi kemudian aku berpikir, toh mau dibaca dimanapun isinya tetap sama, tak akan berubah.

Akhirnya aku putuskan untuk membuka amplop tersebut. Amplop itu seperti amplop putih kebanyakan. Di dalam amplop tersebut tersimpan sebuah surat yang dutulis tangan dengan tulisan yang sangat rapi. Pasti tulisan gadis itu.

Sang Bidadari akan kembali ke khayangan

Purnama kesekian yang ia nantikan tengah bersiap menjemputnya

Ia akan kembali menjadi bidadari cantik paripurna nan bahagia

 

Bukankah semesta dan isinya adalah fana yang melenakan mata, hati dan telinga

Diantara semua sakit, sedih, bahagia dan suka hanyalah sementara

Kita bahkan bukan pemilik rumah dan istana dunia

Pasti suatu saat kita akan kembali pulang jua

Entah kapan, tapi nanti ketika tiba masanya

 

Bukankah semesta diciptakan dari ledakan maha dahsyat

Yang kemudian akan berakhir dengan terbelahnya langit bagai kelopak mawar merah

Maka setiap permulaan akan ada akhirnya

Sebagaimana perjumpaan akan ada perpisahan

Karena semesta ini bukanlah kehidupan yang abadi

Nanti di suatu masa kelak akan kita temui keabadian

Semoga saat itu kita berada di surga yang sama

Aku melipat suratnya. Aku hanya duduk tersandar menatap kosong orang-orang yang hilir mudik di hadapanku. Sang Bidadari telah kembali ke khayangan. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku menyeka ujung mata yang berair dengan tanganku. Aku kemudian tersenyum, ia pasti akan menjelma menjadi bidadari yang kecantikannya paripurna dan paling bahagia.

(08/03/18 JKT)

 

 

 

Yahnik : Sepasang Mata Hujan (3)

Hari ini tidak banyak pasien yang datang ke Puskesmas. Hari ini juga bukan jatahku untuk mengadakan “patroli” kalau istilah kami, untuk berkunjung ke pulau-pulau sekitar yang kesulitan mendapatkan akses kesehatan. Hari ini adalah jadwalku piket menunggu pasien di Puskesmas, meskipun tidak banyak pasien.

Muhsin, seorang rekan sejawat yang sama-sama melaksanakan tugas pengabdian tampak menoleh ke sana kemari begitu memasuki ruangan pertama Puskesmas. Ia ditempatkan di kabupaten tetangga. Mungkin hari ini ia kebagian tugas mengantarkan persediaan obat ke tempatku. Begitu melihatku, ia berseru:

“Disini kamu rupanya.”

“Hoi, ada apa ? ”, tanyaku.

Ia meletakkan paket berisi obat-obatan. Setahuku bukan dia yang bisanya bertugas mengantarkan persediaan.

“ Tumben kamu yang datang ? “, tanyaku sambil memeriksa paket yang ia bawa sekaligus menandatangi tanda terimanya.

“ Yang lain pada demam semua, tak kuat naik perahu kemana-mana. Mual mereka, hahah… ”

“Oh ya ? Pada sakit semua ? ”

“ Iya tak tahulah. Awalnya Hatta yang sakit, lalu menular ke yang lain. Kawan-kawan di sini tidak pada sakit kah ? ”

“ Si Hatta bisa sakit juga hah ? Hahaha. Hmm gak ada kayaknya, sehat semua kami di sini. “, jawabku.

Hatta adalah kawan yang selalu aku titipi membawakan foto-foto daerah wisata. Kabupaten tempatnya memiliki kualitas jaringan internet yang lumayan baik dibandingkan tempatku.

Hmm, Si Hatta sedang sakit. Berarti tak ada kiriman foto minggu ini.

“ Sin, Hatta tak ada titip paket untukku kah ? ”

“ Oh iya, Har. Tadi Hatta titip pesan, maaf tidak bisa mengirimkan foto seperti biasa karena sudah beberapa hari ini sakit. Dia cuman tiduran saja di kamar jaga. Kasian juga dia. “, jawab Muhsin.

“ Hmm, okelah.”

“ Memangnya foto apa sih yang setiap minggu, kamu titipkan ke Hatta ? “, tanyanya sambil menyeringai curiga padaku.

“ Hah, adalah, foto sesuatu pokoknya.”, jawabku santai.

“ Hemmmm, Sahar mencurigakan sekali tindak tanduknya belakangan ini. “, balasnya sambil menyenggol pundakku.

“ Halah, apaan sih. “

“ Eh, katanya kamu udah ada cemceman di sini yaa ? Benarkah, Har ? Pantaslah Sahar tak pernah mengeluh selama di sini. Tak pernah sakit. Tak pernah berkata ingin pulang atau kapan pulang. Damai nian di sini dengan pujaan hati.” Muhsin masih menggodaku.

Aku hanya cengengesan saja.

“ Hah benar, Har ? “, tanyanya penasaran sambil mendekat meminta penjelasan.

“ Benar, Har ? “, tuntutnya lagi.

“ Apanya yang benar ? “, balasku acuh.

“ Ya itu, gosipmu. Sahar dipelet janda kembang ? Hahahah.”

Air mukaku langsung berubah. Amarahku seketika terbangun. Aku menatapnya tajam.

“ Eh, ayolah, Har. Jangan tersinggung pula. Aku cuma bertanyakan. Gosipnya memang bilang begitu kalau si Sahar sudah dipelet janda kembang di sini. Makanya aku bertanya.”, Muhsin membela diri sawaktu menyadari bahwa aku tersinggung.

“ Apa bedanya kau dengan orang pandir hah ? Percaya saja dengan gosip murahan ! “

Susah payah aku menahan emosi. Untung aku masih bisa menahannya karena mengingat ini di Puskesmas dengan beberapa pasien dan perawat yang lalu lalang.

“Kawan, janganlah marah begitu. Aku kan hanya bertanya. Aku memastikan gosip itu malah, makanya kutanyakan padamu, Har.”, Muhsin menatapku dengan tatapan meminta maaf.

“ Demi tuhan, jika kau ingin memastikan benar atau tidak, lihat saja dengan mata kepala sendiri gadis itu. Apakah dia tukang tenung seperti kata orang-orang ! “, ucapku tajam sambil masuk membawa paket berisi obat meninggalkannya.

Muhsin mengikutiku.

“ Sahar, maafkan lah aku kawan. Bagaimana mungkin kamu marah hanya karena aku bertanya tentang itu. “, Muhsin masih mencoba memberikan penjelasan padaku.

Aku diam saja dan terus berjalan. Beberapa orang tampak memperhatikan kami.

“ Sahar. Janganlah merajuk. Kalau itu tidak benar, kan tinggal bilang saja gosip itu sampah semua. Tak perlu marah seperti ini pula. ”

Langkahku terhenti. Muhsin berlari kecil ke araku. Begitu ia mendekat menghampiriku, aku menjelaskan padanya.

“ Aku gak marah soal pertanyaan itu, Sin. Yang aku marah adalah kalian semua bertanya untuk mengolok-olokan aku dan gadis itu. Kalau aku, kalian mengolok-olokan seperti apapun, terserah, tak ada yang akan tersinggung. Tapi kalau gadis itu, bagaimana ? Bagaimana kalau keluarga gadis itu dengar ? Bahwa ia dicap tukang tenung karena dianggap memeletku. Bagaimana perasaan keluarganya ? Dan bagaimana perasaan mereka ? Itu yang membuatku marah.”, jawabku sambil menahan emosi.

Muhsin terdiam. Ia sepertinya menyadari arti dari perkataanku.

“ Keluargaku jauh dari sini, Sin. Pulau ini juga bukan kampung halamanku. Kita hanya melaksanakan pengabdian di sini. Mau kalian bilang aku siluman sekalipun, aku tak peduli. Begitu masa pengabdianku selesai, aku hengkang dari sini. Gosip itupun usai bersama dengan perginya aku dari sini. Tapi bagaimana dengan gadis itu, Sin ? Keluarganya di sini, seluruh hidupnya ada di pulau ini. Ia bahkan mungkin takkan pernah meninggalkan pulau ini sampai mati. Jika ada gosip miring tentang dirinya, bukan hanya ia seorang yang akan menanggungnya. Keluarganya, juga adik-adiknya, bahkan mungkin anak hingga cucunya nanti. Gosip jelek itu akan terus menempel di punggungnya dan mengekor kemanapun ia pergi, selamanya. Bayangkan bagaimana hidupnya kelak ! ”

Nafasku naik turun memburu begitu aku menyudahi perkataan ini ke Muhsin. Muhsin hanya menatapku diam.

“ Kalau kau tak percaya, datang sendirilah ke pulau. Lihat gadis yang dituduh tukang teluh oleh orang-orang. Saksikan sendiri apa benar dia seperti tukang teluh. ”

Aku melanjutkan langkah menuju ruangan untuk melaporkan paket persediaan obat yang dibawakan oleh Muhsin kepada petugas. Setelah menyerahkan tanda terima dan berbincang-bincang sebentar dengan petugas, aku kembali menuju meja tempatku menerima pasien.

Muhsin masih berdiri di ujung ruangan sana. Ia menantiku. Sambil berjalan ke arahnya, aku tersenyum kecil.

“ Kupikir, kamu sudah pulang. “, tanyaku sambil meletakan tanganku di pundaknya.

Ia terdiam menatapku.

“ Maafkan aku, Har. Sungguh tak ada maksudku untuk mengolok-olokanmu dan gadis itu.”, ucapnya penuh penyesalan. Aku menepuk-nepuk pundaknya.

“ Maafkan aku juga kawan. Aku sedikit terpancing emosi apabila ada yang bertanya soal ini. Mungkin bagi kita ini hanya lelucon dan persoalan sederhana. Tapi tidak bagai gadis itu dan penduduk pulau. Gadis itu beserta keluarganyalah yang akan menanggung semua akibat dari gosip murahan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan tersebut.”

Muhsin menatapku sambil mengangguk-ngangguk kecil.

Ombak sore ini cukup kuat. Kami penumpang perahu Pak Guh harus berpegangan erat ke tempat duduk. Bersama denganku ada lima orang lainnya yang juga menjadi penunpang perahu Pak Guh. Tiga orang laki-laki yang berusia kira-kira kepala lima dan dua orang ibu-ibu berusia sama. Dua pasang diantara mereka, sepertinya adalah pasangan suami istri yang baru pulang dari kenduri. Aku mengenal wajah mereka semua, karena mereka adalah penduduk pulau, meskipun aku tidak ingat namanya satu per satu. Mereka tampak sedang bercerita dengan Pak Guh mengenai cuaca. Aku hanya diam menyimak.

Pikiranku jauh menerawang pada kejadian tadi. Mungkin aku sebenarnya tidak perlu marah atas pertanyaan Muhsin tadi. Kemarin, aku juga marah pada kawan-kawan yang menanyakan hal serupa. Padahal, semenjak aku dekat dengan Yahnik pertanyaan serupa sudah sering ditanyakan padaku, tidak hanya oleh kawan-kawan rekan sejawatku yang sama-sama melaksanakan pengabdian di sini, melainkan juga oleh orang-orang di Puskesmas dan penduduk pulau. Aku dulu hanya menganggapnya angin lalu dan mengabaikan saja.

Bahkan dulu, saat pertama kali aku bertemu dengan Yahnik, pernah seorang penduduk pulau mengingatkanku agar jangan terlalu sering berbelanja padanya, karena ia bisa meneluh orang. Responku hanya mengiyakan saja, karena aku toh tidak percaya akan hal-hal tidak masuk akal seperti itu. Dan hingga sekarang, ketika gosip bahwa aku telah diteluh oleh Yahnik telah menjadi rahasia umum bagi orang-orang pulau, penduduk pulau sekitar bahkan kawan-kawan rekan sejawatku yang sama-sama melaksanakan pengabdian, aku masih saja tidak peduli dan tidak percaya pada hal itu.

Seperti kataku kepada Muhsin tadi, aku tidak peduli orang pulau mau mengatakan aku siluman sekalian, silahkan. Aku sih tidak apa-apa. Tapi tidak dengan Yahnik. Dan belakangan itu yang menjadi pemikiranku. Orang boleh mengatakan apa saja tentangku. Begitu masa pengabdian usai, aku pergi, semua selesai. Tapi hal itu tidak berlaku untuk Yahnik. Ia akan menanggung semua gosip buruk itu selamanya.

Lihat saja asal muasal gosip itu. Berdasarkan cerita Pak Guh tempo hari, semua gosip mengenai tukang tenung yang disematkan pada Yahnik dan keluarganya, bermula dari berhentinya ke enam kakak beradik itu jatuh sakit setelah kematian kedua orang tuanya. Asumsi tidak bertanggung jawab menyebar dengan cepat dan tanpa ampun menuduh penyebab kematian suami istri itu sebagai tumbal untuk kesembuhan ke enam anaknya. Aku juga pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa kematian Ibu dan Bapak Yahnik karena suami istri itu terlibat pemujaan roh untuk mendapatkan ilmu ghaib, dan karena tidak bisa menyerahkan persembahan, mereka dikutuk.

Lalu kemudian gosip itu berkembang dengan menuduh Yahnik sebagai pembunuh mantan suaminya yang sudah tua. Sebelumnya, ia dituduh terlebih dahulu telah memelet mantan suaminya agar tergila-gila untuk menikahinya. Padahal memang sebelum menikahi Yahnik pun, mantan suaminya itu memang tukang kawin dan memiliki track record suka daun muda. Tapi lagi-lagi yang disalahkan adalah Yahnik, dengan embel-embel gadis itu bisa meneluh orang.

Dan sekarang orang-orang pulau kembali membual dengan mengatakan Yahnik telah meneluhku sehingga aku tak berkutik di hadapannya. Lantas, nanti siapa lagi yang akan digosipkan telah diteluh oleh Yahnik. Dulu orang tuanya, lalu mantan suaminya, dan sekarang aku, besok-besok siapa lagi ? Inilah yang aku maksud. Gosip itu akan terpatri dalam ingatan orang-orang dan akan menempel di punggung Yahnik selamanya. Mungkin dikemudian hari akan ada gosip baru yang jelas-jelas sama tentang Yahnik tukang teluh. Inilah yang akan terus dipikul oleh Yahnik sekeluarga dan anak cucunya kelak.

Aku tidak mengerti mengapa gosip mengenai kemampuan Yahnik meneluh orang terus menerus dipercayai oleh penduduk pulau. Aku jelas tidak percaya itu. Maksudku, bukan sombong atau takabur. Aku beriman dan percaya akan tuhan. Dan jelas percaya pada hal-hal mistis semacam itu sama dengan musyrik bagiku. Lagipula aku seorang dokter yang belajar tentang tubuh manusia beserta jenis penyakitnya. Jadi bagiku tak ada hal semacam itu. Pasti ada penjelasan secara ilmiah mengapa Ibu Yahnik meninggal tidak lama setelah suaminya hilang di lautan. Bisa saja karena kesedihan yang mendalam atau dalam medis disebut dengan Brokenheart Syndrome. Dan pasti juga ada penjelasan ilmiah mengapa mantan suami Yahnik yang sudah tua itu meninggal secara mendadak. Usianya yang sudah tua saja, sudah bisa menjadi penjelasan mengapa ia meninggal secara mendadak.

Tapi sayangnya, alasan ilmiah seperti ini tidak diterima atau tidak dipercaya oleh penduduk pulau. Sebagaimana cerita Pak Guh mengenai cuaca. Penduduk pulau lebih percaya, jika ombak dan badai mengamuk tandanya penguasa laut ingin darah kurban. Peringatan pemerintah untuk tidak melaut dulu, karena perubahan cuaca ekstrim tidak diindahkan oleh penduduk pulau manakala mereka telah mempersembahkan darah hewan bagi laut. Jadi memang hal-hal mistis dan ghaib lebih dipercaya oleh penduduk pulau ketimbang penjelasan secara ilmiah.

Aku memang tidak percaya soal teluh seperti yang dikatakan orang-orang. Tapi aku kerap berpikir dan merenungkan mengenai tindakan apa saja yang dilakukan Yahnik yang sekiranya membuat orang-orang pulau berpikir bahwa ia telah meneluhku. Bukannya aku percaya Yahnik mencoba meneluhku. Hanya saja aku mencoba mengingat-ingat apa saja yang dilakukan Yahnik padaku, sehingga orang pulau berkesimpulan, aku telah diteluh oleh Yahnik.

Pertama makanan dan minuman. Aku memang pelanggan setia dagangan Yahnik selama dua tahun tanpa absen. Dan sejak bertemu dengannya untuk kali pertama, aku memang tidak mampu berkedip di hadapannya.

Pertemuan kami pertama kali adalah ketika aku menginjakkan kaki pertama kali juga di pulau ini, turun dari perahu dengan perut kacau balau setelah perjalanan panjang dengan perahu kayu dipermainkan ombak. Bukan Yahnik yang memberikan aku minum dan makanan sebagai obat mabuk laut. Tapi Pak Guh orangnya. Aku menaiki perahu Pak Guh ketika pertama kali sampai di Pulau ini. Beliau juga yang memberikan aku teh jahe hangat dan kue basah.

Aku baru membeli dagangan Yahnik seminggu setelah aku tiba di pulau ini, karena selama semingu sebelumnya aku panas demam. Selama sakit, perutku diisi oleh makanan yang dibuat oleh istri Pak Kades, yaitu Bu Kades, karena aku tinggal menumpang di salah satu kamar rumah mereka. Sampai sekarang pun aku masih makan masakan Bu Kades setiap harinya.

Jadi kalaupun aku diteluh (kata penduduk pulau, aku sih tidak percaya) melalui makanan yang Yahnik dagangkan, itu salah. Toh sejak pertama kali menatap matanya, aku memang sudah menahan nafas. Tapi aku tidak terkena teluh dari dagangannya, karena aku memang tidak kena teluh dan karena Yahnik juga tidak tukang teluh dan karena makanan yang pertama kali mengisi lambungku adalah makanan dari Pak Guh.

Selain itu, apakah aku kena teluh lewat dagangannya yang setiap hari aku beli ? Baik, jujur aku katakan bahwa aku memang pelanggan setia dagangan Yahnik selama dua tahun tanpa absen, tapi bukan berarti aku memakan semua makanan yang aku beli darinya. Wow, tunggu, jangan salah menilaiku dulu.

Aku memang membeli dagangan Yahnik setiap hari selama dua tahun, tapi tidak semua dagangan yang telah aku beli tersebut, aku makan. Sebagian besar aku makan dan sebagiannya lagi tidak aku makan. Mengapa ? Bukan karena dagangan Yahnik tidak enak dan aku tak menghargainya, hanya saja seleraku mungkin agak berbeda.

Begini, aku dibesarkan bukan di daerah pantai terpencil seperti pulau ini. Oleh karenanya jelas makanan yang aku makan lebih bervariasi, mulai dari daging sapi, daging kambing, ikan, daging ayam, sayur dan sebagainya. Dan jenisnya juga beragam mulai dari khas Indonesia seperti ala Padang, ala Sunda, ala Jawa, ala Menado dan lain-lain serta masakan luar Indonesia seperti ala barat, ala arab dan banyak lagi. Sedangkan di sini yang merupakan pulau terpencil nun jauh di ujung Indonesia, jangankan warteg, Nasi Padang atau Berger King, daging sapi saja sangat jarang. Kerena mayoritas makanan di sini adalah olahan laut. Seafood memang enak dan mahal kalau di kota besar, tapi bayangkan saja makan olahan laut setiap hari dalam dua tahun.

Jadi aku garis bawahi, bukan dagangan Yahnik yang tidak enak, hanya seleraku agak sedikit berbeda dengan selera penduduk pulau ini. Kalau dimisalkan, aku suka masakan dengan cita rasa pedas lalu setiap hari harus makan Gudeg. Siapa bilang Gudeg itu tidak enak. Tapi lidahku tidak terlalu sesuai dengan cita rasa manis Gudeg. Begitulah kurang lebih perumpamaannya.

Bahkan kalau boleh jujur sekali lagi, beberapa dagangan Yahnik terasa asin dilidahku. Tapi aku tetap membelinya. Apabila masih sanggup akan kuhabiskan, tapi jika tidak, ya tidak dihabiskan. Kadang aku senyum-senyum kecil memikirkannya. Mungkin saat memasak dagangan subuh-subuh buta, Yahnik masih mengantuk sehingga lupa takaran garam yang biasa.

Jadi lewat dagangan, Yahnik tidak mungkin meneluhku. Karena aku memang tidak kena teluh dan karena Yahnik juga tidak tukang teluh dan karena aku membeli dagangan Yahnik hanya karena ingin bertemu dengannya, bukan karena dagangannya. Jadi misalnya saja Yahnik adalah tukang ojek, maka setiap hari aku akan menaiki ojeknya meskipun jarak antara rumah Pak Kades tempat aku tinggal dengan dermaga hanya 500 meter lebih.

Lalu kira-kira alasan apalagi yang mencoba membenarkan bahwa aku telah diteluh oleh Yahnik berdasarkan pandangan orang-orang pulau. Tatapan mata. Katanya kita bisa kena teluh jika melihat mata orang yang memiliki kemampuan meneluh.

Baik, mari aku jelaskan. Hal yang pertama kali membuat nafasku sesak saat melihat Yahnik memang matanya. Matanya seperti mata orang Indonesia kebanyakan, dengan iris coklat gelap dan bulat. Tapi ini bukan soal bentuk matanya. Ada sesuatu di dalam matanya yang membuatku tidak bisa berkedip. Ada lubang yang dalam di sana. Begitu aku melihat ke dalam matanya, lubang itu seolah-olah menghisapku dan dunia sekitar seperti terhenti. Apa ? Lebay ? Memang ! Itulah yang pertama kali aku pikirkan.

Sedikit bercerita. Saat pertama kali menginjakkan kaki di pulau ini, badanku tak karu-karuan rasanya. Bayangkan terbang selama kurang lebih 7 jam dengan satu kali transit, lalu naik kapal selama 3 jam kemudian naik perahu kayu Pak Guh selama 2 jam. Bayangkan perahu kayu Pak Guh yang hanya muat lima sampai enam orang, dihantam ombak ganas selama 2 jam. Rekan sejawatku saja yang bernama Ali, sampai dua kali muntah selama di perahu Pak Guh. Untung beliau hanya tertawa kecil menyaksikan kami pendatang baru yang pucat pasi dan bau muntah. Sedangkan aku ? Meskipun tidak muntah, tapi aku luar biasa pening dan ingin muntah, tapi susah payah kutahan.

Begitu turun dari perahu Pak Guh, kakiku rasanya seperti agar-agar. Lemas, tidak bisa berdiri. Untungnya Pak Guh dan pemilik perahu lainnya membantu kami turun serta memberikan teh jahe hangat penghilang mabuk laut. Aku dan kawanku didudukkan di sebuah warung makan dekat dermaga. Setelah mual dan pening lumayan reda, kami langsung diantar ke rumah Pak Kades. Saat itulah aku bertemy Yahnik.

Aku tidak akan pernah melupakan momen itu. Saat itu, hari sudah menjelang maghrib. Matahari sudah hampir berada di peraduannya, meninggalkan jejak semburat merah. Saat aku berjalan menuju rumah Pak Kades, aku melewati lapaknya. Ia mungkin saat itu sedang beres-beres untuk pulang.

Pak Kades menyapanya:

“ Yahnik, ini kenalkan ada dokter baru di pulau kita.”, ucap beliau begitu melintas di depan lapak Yahnik.

Aku awalnya ogah-ogahan menoleh menatapnya. Karena yang kuinginkan hanya cepat-cepat sampai di rumah Pak Kades dan segera merebahkan diri.

Begitu menghadapnya, nafasku langsung tercekat. Ia dengan wajah lugu dan polos serta mata luar biasanya itu, menatapku sambil menyodorkan tangan bersalaman denganku.

Aku termangu menatapnya. Ia dengan senyum malu-malunya telah membawa sebagian nafasku.

Seperti robot, aku menyodorkan tangan, menggenggam tangannya kemudian menggoyangkan tangannya bersalaman. Kemudian selesai. Lalu aku bersama yang lain menuju rumah Pak Kades. Tak ada kalimat puitis atau bait-bait prosa norak seperti telenovella. Bahkan aku tak sempat memperkenalkan diri. Aku hanya tergugu menatapnya seperti orang linglung. Sedangkan ia hanya tersenyum bingung melihatku. Sejak saat itu, nafasku selalu tertahan manakala menatap matanya.

Aku akui memang, ada sesuatu pada matanya. Seperti sebuah lubang besar yang menganga. Setiap kali bersitatap dengan matanya, aku seakan lupa. Lupa sedang apa dan sedang dimana. Lubang itu seakan menghisapku. Yah, mungkin seperti terhipnotis. Tapi ini bukan kena teluh.

Karena aku memang tidak kena teluh dan karena Yahnik juga tidak tukang teluh dan lewat tatapan matanya, Yahnik tidak mungkin meneluhku. Mengapa ? Karena semisalnya aku memang telah diteluh oleh Yahnik lewat tatapan matanya, meskipun itu mustahil terjadi, sudah pasti sekarang aku akan menuruti apa saja permintaannya.

Bayangkan selama dua tahun sejak aku melaksanakan pengabdian di pulau ini, dan sejak aku menatap matanya pertama kali, aku sudah sesak nafas dibuatnya. Tapi Yahnik tidak pernah memintaku melakukan apapun atau meminta sesuatu. Misalnya uang atau perhiasan. Jangankan uang ataupun perhiasan, uang kembalian dariku saja, ia tak mau menerima. Harusnya, jika aku memang telah diteluh oleh Yahnik, meskipun itu mustahil, ia sudah minta macam-macam padaku.

Atau jika misalnya dugaan orang-orang pulau benar, bahwa Yahnik telah meneluh mantan suaminya sehingga mantan suaminya yang sudah tua itu pening ingin menikahinya, meskipun itu sama sekali tidak benar, tentulah padaku juga terjadi hal yang sama. Aku juga sudah pasti dibuat pening ingin menikahi Yahnik. Atau setidaknya Yahnik pernah memintaku untuk menikahinya yang ajakan itu pasti akan aku turuti seketika. Tapi nyatanya tidak pernah. Jangankan memintaku untuk menikahinya, bertanya padaku apakah aku sudah memiliki seseorang yang menunggu di seberang pulau sana saja, ia tidak pernah. Jangankan itu, memintaku mengangkut bakul dagangannya saja, ia juga tak pernah. Ia tidak pernah memintaku melakukan apapun atau sesuatu untuknya.

Begitu turun dari perahu Pak Guh, aku bergegas berjalan menuju lapak dagangan Yahnik. Tapi aku hanya mendapati punggungnya yang telah berjalan beberapa ratus meter meninggalkan lapak. Aku melirik jam tangan. Masih sore. Belum jamnya Yahnik menutup lapak dan pulang. Mungkin dagangannya cepat laku.

Aku bergegas melangkah menyusulnya, tapi sesaat kemudian seseorang menyapaku. Pak Kades.

“ Pak Dokter.. “, sapanya sambil memegang bahuku dari belakang. Aku menoleh dan mendapati Pak Kades menyunggingkan senyum sambil memegang gelas kopi. Ia mengajakku mampir di warung kopi langganannya.

Aku tak bisa menolak. Dengan patuh, kuturuti langkah beliau menuju warung kopi tersebut. Beberapa tetua pulau juga tampaknya tengah menikmati sore sambil bercengkrama di warung kopi.

Aku menyalami tetua pulau satu per satu dan kemudian duduk di samping Pak Kades. Sambil mendengarkan cerita mereka, aku mencomot goreng pisang di hadapanku.

Aku hanya mangut-mangut mendengarkan obrolan tetua pulau dengan Pak Kades. Obrolan mereka tak jauh dari cuaca dan hasil tangkapan nelayan. Cuaca memang sedang tidak bagus belakangan ini.

Ditengah pembicaraan mengenai cuaca, seorang tetua membelokan pembicaraan:

“ Jadi bagaimana Pak Dokter dengan Yahnik ? ”

Aku terkejut dengan pertanyaan itu. Aku hanya tersenyum gelagapan menatap tetua yang bertanya padaku. Seorang tetua yang lain tampaknya juga penasaran.

“ Oh iya. Kabarnya Pak Dokter berkawan dekat sekali dengan Yahnik ? “, tanyanya.

Aku tahu itu bukan pertanyaan, melainkan pernyataan. Mereka bukan ingin mendengar jawabanku. Tapi mereka ingin melihat responku atas pertanyaan itu. Semua pasang mata di warung kopi ini terdiam menantikan jawabanku.

“ Aaa…”, jawabku tergagap. Belum selesai jawabanku, Pak Kades berseru:

“ Pak Dokter kita ini berkawan dengan semua orang pulau, benarkan Pak ? Cerita-cerita antara Pak Dokter dengan Yahnik, semuanya hanya salah paham. Pak Dokter memang sering belanja dagangan Yahnik. Itu saja. Benar, kan Pak Dokter ? “, tanya Pak Kades padaku.

Aku hanya mengangguk-angguk patuh atas jawaban Pak Kades.

Kemudian Pak Kades langsung memonopoli cerita mengenai kesuksesan program K3 di pulau sebelah.

Aku paham ucapan Pak Kades. Itu juga bukan pertanyaan, melainkan adalah nasehat untukku, atau lebih tepatnya peringatan padaku. Gosip antara aku dan Yahnik sudah demikian menjadi perbincangan orang-orang pulau dan aku harus mawas diri menjaga hubunganku dengan Yahnik. Berkawan sebatasnya saja. Begitulah kurang lebih maksud Pak Kades.

Sambil menyerup kopi hitam aku menggigit pisang goreng. Sekarang aku tahu mengapa pisang goreng adalah kawan yang pas untuk kopi hitam.

—-

(Bersambung….)

Yahnik: Sepasang Mata Hujan (2)

Selepas solat isya seperti biasa sambil menenteng tas praktek aku berjalan ke arah dermaga tempat Yahnik berjualan. Tapi tak ada cahaya lampu minyak di sana. Aku berjalan mendekat. Meja tempat ia biasanya menaruh kopi, gula, piring, gelas dan kacang rebus ditutupi oleh terpal. Yahnik tak berjualan malam ini. Dan sangat jarang terjadi. Selama lebih kurang dua tahun aku di pulau ini, ia hanya hitungan jari absen berjualan, itupun karena suatu sebab seperti ada acara kenduri atau lainnya. Ia juga tidak pernah sakit sehingga absen berjualan. Oleh karenanya aku heran, mengapa malam ini ia tak berjualan. Seingatku juga tidak ada acara kenduri ataupun acara di balai desa yang harus ia ikuti.

Kemanakah ia ? Batinku bertanya-tanya.

Tanpa pikir panjang dan berkordinasi dengan otak, kakiku langsung melangkah meninggalkan lapak Yahnik dan berjalan menuju rumahnya. Selang sepuluh menit berjalan, tiba-tiba aku bertanya di dalam hati apa yang akan aku sampaikan ke Yahnik ketika sampai di rumahnya. Pastinya ia akan bertanya mengapa aku sampai datang ke rumahnya. Langkahku terhenti. Aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Apakah aku harus menjawab kalau aku sangat khawatir karena tidak biasanya ia absen berjualan. Bukankah terdengar sangat lucu. Memangnya kenapa aku harus khawatir. Atau lebih tepatnya siapa aku kenapa harus mengkhawatirkannya. Lalu bagaimana jika alasan Yahnik tidak berjualan malam ini dikarenakan ia hanya capek saja, ingin istirahat. Tentu akan semakin lucu lagi. Dan aku akan kehilangan  muka untuk bertemu dengan Yahnik seterusnya.

Aku menimang-nimang haruskah aku ke rumahnya atau tidak. Hatiku bergumul ingin memastikan keadaannya. Sudahlah, aku putuskan untuk mengecek keadaannya saja. Aku juga tidak akan bisa memejamkan mata memikirkan alasan mengapa ia tidak berjualan malam ini. Dengan mantap aku berjalan ke rumahnya.

Benar kata Pak Guh, Yahnik tumbuh dalam kemiskinan. Pulau ini jauh dari kata pulau yang sejahtera apabila berkaca pada kehidupan dan penghasilan masyarakatnya. Rata-rata pria di pulau ini mencari makan sebagai nelayan, sebagian kecil pedagang dan sebagian kecil lagi buruh angkut atau tukang ojek. Kaum perempuannya turut membantu menopang kehidupan dengan berjualan dan sebagian kecil menjahit. Kehidupan di pulau ini sangat sederhana, termasuk rumah penduduknya. Diantara rumah penduduk yang sederhana itu, rumah Yahnik-lah yang paling sangat sederhana.

Rumah itu bermaterialkan kayu dan genteng yang sudah sangat tua. Cahaya penerang hanya ada di ruangan tengah, sisanya,  sekitar rumah sangat gelap. Dapur terpisah dari rumah seperti pondok kecil. Disanalah, pastinya Yahnik dan neneknya memasak panganan yang ia jual di dermaga. Aku membayangkan gadis itu pagi-pagi buta bersama adik-adiknya memikul ember untuk mengambil air dari sumur desa. Hatiku pahit. Yahnik dan semua cerita buruk tentangnya serta kemalangan hidup yang ia pikul seorang diri membuat ulu hatiku sakit.

Lama aku merenung menatap rumah tua itu. Aku bahkan tidak berani menjamin kala hujan badai nenek beserta cucu-cucnya itu bisa tidur nyenyak tanpa gangguan genteng bocor. Sayup-sayup terdengar suara anak kecil sedang mengaji. Mataku berkaca-kaca. Bagaimana orang di pulau ini tega menyematkan gelar tukang teluh pada Yahnik dan keluarganya. Ketika hendak berbalik pulang aku melihat Yahnik berjalan ke arahku.

Darimana saja ia ?

Ia tampak kaget melihatku.

Sedetik kemudian aku paham. Ia baru saja dari sumur. Sambil menurunkan ember dari kepalanya, ia menyipit melihatku.

Aku kembali gelagapan ditatap seperti olehnya.

“Abang tadi mampir ke kedai, tapi Yahnik gak jualan ya malam ini ? ”, tanyaku hati-hati sambil memperhatikan wajahnya.

Aku menatap parasnya. Bagaimana mungkin setelah berkeringat memikul ember air dan berjalan cukup jauh, ia masih mengalahkan rembulan malam ini. Wajahnya lebih temaram dari rembulan manapun.

Ia menghela nafas satu-satu sambil menyeka keringat.

“ Yahnik gak jualan malam ini bang. “, jawabnya masih sambil mengelap keringat.

Tentu saja aku tidak mungkin membalasnya dengan mengatakan “Kenapa dek Yahnik gak sms atau wa abang kalau tidak jualan malam ini, agar abang tidak khawatir”.

Mungkin ia akan terdiam bingung menatapku. Jangankan HP, listrik di rumahnya saja hidup cuma sampai jam delapan malam.

Ia masih menghela nafas. Sambil menggendong ember di pinggang, ia berjalan mendekat ke arahku.

“Air bersih di rumah habis bang. Besok pagi sepertinya tidak terkejar untuk mengambil air karena adik-adik tampaknya sedang lelah.”, jawabnya.

Benar bukan perkiraanku. Perkaranya sederhana saja. Ia tidak bisa berjualan malam ini karena harus bolak balik mengambil air dari sumur desa karena persediaan air di rumahnya habis, yang mana kegiatan itu biasanya ia lakukan dengan kelima adik-adiknya di pagi-pagi buta. Tapi karena adik-adiknya tampak lelah, ia memilih melakukannya sendirian malam ini, karena mengambil air sendirian pagi-pagi buta akan memakan waktu yang cukup lama dikarenakan harus mengantri dengan orang-orang pulau lainnya. Lihat, sederhana saja. Tapi jangan tanya bagaimana cemasnya hatiku karena ini. Andaikan saja aku tidak datang malam ini ke rumahnya, mungkin sepanjang malam aku akan terjaga menerka-nerka sendiri alasan kenapa Yahnik tidak berjualan malam ini.

“Adek sendirian mengambil dan mengangkut air ?”, tanyaku sambil memperhatikan ember yang sudah ia turunkan dari pinggangnya. Ember itu cukup besar dan tampaknya cukup berat apabila dipikul oleh seorang gadis yang kuterka berat badannya tidak sampai angka lima puluh.

“Sudah biasa bang.”, jawabnya.

Aku mahfum. Ia bukan tidak merasa keberatan dengan berat ember berisi air yang ia pikul, tapi ia sudah terbiasa dengan berat ember air tersebut. Tentu saja, bulir keringat yang sedari tadi mengalir dari pelipisnya sudah menjadi jawaban tentang berat ember itu.

Aku dengan sigap mengangkat ember itu dari tanah dan memikulnya sambil berjalan menuju dapur rumahnya.

Dari balik punggungku, aku bisa merasakan wajah Yahnik terkejut dengan tindakanku barusan.

“Tidak usah bang..”, sergahnya sambil berlari kecil menghampiriku.

Bagaimana mungkin aku menontonya memikul ember yang begitu berat seorang diri. Dalam hati aku tersenyum. Seolah-olah aku telah melakukan suatu tindakan kesatria dengan membantunya memikul ember itu. Mungkin inilah semacam perasaan yang dirasakan para pencinta ketika membantu pujaan hatinya. Mungkin tindakanku ini setara dengan adegan roman picisan dimana aktor pria membantu aktris wanita memungut buku si aktris yang terjatuh di jalanan. Aku juga baru sadar kalimat norak yang selalu diucapkan perayu “gunung akan kudaki dan lautan akan aku seberangi, hanya untukmu” bermakna apapun akan aku lakukan untukmu meskipun pada kenyataannya hanya mengangkat ember sejauh 200 meter saja.

Selama kurang lebih dua tahun melaksanakan pengabdian di pulau ini, selama itu pula aku mengenal Yahnik. Tapi selama dua tahun itu pula interaksiku dengannya terbatas hanya belanja dagangannya di sore hari, lalu belakangan ini ditambah membantunya berjualan kopi dan kacang rebus di malam hari. Hanya itu saja selama dua tahun. Percakapan kami pun hanya terbatas pada jualannya, cuaca, hasil laut, berita pulau yang tidak penting dan belakangan ini sedikit berkembang dengan ceritaku mengenai foto-foto daerah wisata yang setiap malam aku tunjukan padanya. Hanya itu saja.

Dia tidak pernah bertanya padaku mengenai keluargaku, dimana aku mendapatkan gelar dokter, pendidikan spesialis apa yang akan aku ambil, siapa aktor favoritku, film apa yang membuatku menangis dan pertanyaan lainnya. Jangankan itu, Yahnik bahkan tidak pernah bertanya mengapa aku tidak pernah absen membeli dagangannya sejak dua tahun pengabdianku di pulau ini. Tapi lebih dalam kuingat, ia tidak pernah bertanya selain untuk merespon pertanyaanku.

Sedangkan aku ? Lucunya juga tidak pernah bertanya padanya. Tapi tunggu, bukan aku yang tidak pernah bertanya padanya, tapi aku hanya tidak punya keberanian bertanya padanya. Lidahku kelu setiap menatap matanya.

Maka jangankan bertanya apa warna kesukaannya, makanan kesukaannya dan lagu apa yang ia sukai, bertanya bagaimana kabarnya hari ini saja aku tidak pernah. Tidak berani tepatnya. Aku hanya menerka bagaimana harinya dari cara ia tersenyum, cara ia memasukan daganganya ke kantong plastik untuku dan cara ia menyeduh kopi. Apa yang aku dapat ? Tak banyak. Karena ia seperti teka-teki yang membuatku hampir sinting memikirkannya. Semua tentang dirinya hanya aku tahu dari cerita orang-orang pulau yang justru bernada tak mengenakan.

Sesampainya di dekat pondok kecil yang merupakan dapur, aku menoleh kembali kepadanya dan berkata “Abang taruh dimana ini dek ?”.

Yahnik terdiam sedetik dan kemudian menjawab “Di sini saja bang, tidak apa.”

“Apa memang diletakan di halaman ember air ini dek ? “, tanyaku bingung.

“Engga bang, tapi biar Yahnik saja yang bawa ke dalam. Terima kasih ya bang. Abang pulang sajalah.”

Aku sedikit tersinggung dengan jawabannya. Bagaimana mungkin Yahnik setega itu padaku. Aku yang karena cemas menyusuri jalan yang gelap dan tidak rata tanpa penerangan sama sekali menuju rumahnya hanya untuk memastikan keadaannya dan membantunya membawa ember meskipun itu sejauh 200 meter, justru sama sekali tidak ditawari masuk ke rumahnya dulu untuk minum ataupun sekedar basa basi remeh lainnya.

Ia langsung menyadari bahwa aku sedikit tersinggung.

“ Err, Terima kasih atas bantuannya bang. Abang taruh di sini saja embernya, tak enak dilihat orang kalau abang bertamu malam-malam seperti ini. Nenek dan adik-adik Yahnik juga pasti agak sedikit kaget kalau ada tamu malam-malam, bang.”, ucapnya sambil menunduk.

Aku terdiam. Seketika aku menyadari bahwa apa yang ia lakukan tadi sebenarnya adalah tindakan biasa yang selalu ia lakukan padaku. Dua tahun tanpa absen sama sekali sejak pertama kali melihatnya, aku selalu membeli dagangannya dan bahkan beberapa bulan terakhir membantunya di kedai kopi. Yahnik sama sekali tidak pernah bertanya mengapa aku melakukan hal itu. Ia hanya mengucapkan kalimat yang juga ia ucapkan kepada orang lain yang membeli dagangannya yaitu ucapan terima kasih. Ia sama sekali tidak pernah bertanya padaku mengapa begitu aku turun dari perahu, tempatnya berjualan adalah yang pertama aku tuju.

Selama dua tahun aku melakukan hal itu, tidak pernah sekalipun pertanyaan “mengapa” keluar dari mulutnya. Tak pernah juga rona wajah tersipu malu ia tunjukan ketika digoda oleh penjual lainnya yang mengatakan bahwa aku hanya membeli dagangannya karena telah jatuh hati padanya. Ia hanya diam membisu dengan air muka seperti biasa seolah-olah tidak mendengar ucapan itu. Sedangkan aku yang dibuat panas dingin dan salah tingkah karenanya.

Dan yang tadi itu adalah hal yang sama ia lakukan padaku. Hanya mengucapkan terima kasih. Jauh dalam hatiku, aku ingin sekali ia bertanya mengapa aku melakukan ini. Datang ke rumahnya tanpa pikir panjang dan membantunya membawa ember, tidakkah tindakan itu sudah cukup membuatnya berpikir ada apakah gerangan denganku ? Atau apabila digabungkan dengan semua tindakan terdahulu yang telah aku lakukan mulai dari jadi pelanggan tetapnya, membantunya berjualan di kedai kopi, membawakan foto-foto tempat wisata untuk diceritakan padanya hingga datang dengan perasaan yang sangat cemas ke rumahnya malam ini, apakah tidak cukup ?

Yahnik menatap wajahku seperti biasa dengan sepasang mata yang mampu membuatku tersesat.

Aku membalikkan punggung darinya dan berjalan pulang. Baru dua langkah berjalan, ia memanggilku.

“ Bang diturunan sana, ada lubang. Kalau malam sering tak tampak kalau tidak biasa lewat sana.”, ujarnya sambil menunjuk sesuatu dari kejauhan.

Seketika hatiku mencair. Tak lagi kuperhatikan kemana arah jari telunjuknya, entah itu lubang atau lubang buaya, aku tak tahu. Yang aku tahu, hatiku kembali merekah melihat ia mengatakannya. Sepanjang jalan menuju rumah aku tersenyum seperti orang linglung.

—–

Pagi ini aku bertekad untuk datang menunggu perahu lebih cepat dari biasanya. Aku ingin bertemu Yahnik dulu sebelum menyeberang. Ia biasanya sudah di dermaga pukul tujuh pagi untuk menjajakan dagangannya. Dengan Pak Guh aku biasanya berangkat pukul tujuh tepat dan tak sempat bertukar kata dengan Yahnik. Ia sibuk mengatur dagangannya dan aku buru-buru berangkat. Maka hari ini aku bertekad untuk datang lebih awal.

Dermaga masih sepi saat aku datang. Bahkan penjual yang biasa berjualan di pinggir dermaga seperti Yahnik juga belum berdatangan. Aku duduk di pembatas dermaga menikmati semilir angin pagi yang menenangkan. Aku suka laut. Sebagai anak kota yang tumbuh dengan pantai yang kotor dan sesak, aku benar-benar terpesona dengan pantai terpencil seperti pulau ini. Benar-benar alami. Udara yang menerpa wajah bahkan terasa asin. Pemandangan jala ikan yang telah digulung dan diletakan begitu saja sehabis digunakan oleh nelayan yang baru kembali melaut adalah salah satu dari pesona pantai alami ini. Tak ada orang-orang norak yang berfoto ria mengabadikan pantai, sunrise ataupun sunset disini. Tidak ada juga orang-orang yang menghabiskan waktu bersantai menikmati matahari terbenam sambil mengenakan kacamata hitam yang bergaya. Tidak ada juga restoran seafood ataupun cafe-cafe yang berjamur di pinggir pantai. Yang ada hanya gulungan jala ikan tak beraturan sehabis dipakai, kapal kayu dengan cat warna-warni yang mengelupas, sedikit tumpukan sampah yang tersebar di sana sini, tempat pelelangan ikan, dan kedai kopi yang baru buka di malam hari yang jumlahnya tak seberapa. Pesisir pantai disini sungguh indah karena tidak pernah dieksploitasi untuk tujuan mendongkrak pendapatan daerah seperti pesisir pantai lainnya. Pantai di sini hidup dan bertumbuh dengan masyarakat penghuni pulau sebagaimana adanya, tanpa perlu promosi dan tulisan selamat datang di wisata pantai titik-titik. Pantai di sini menawan karena ia benar-benar menjadi pantai bagi dirinya sendiri dan masyarakat sekitar dengan cara yang sederhana.

Persis seperti seorang gadis yang saat ini tengah terseok-seok membawa bakul penuh berisi dagangannya. Ia dan kedua adik laki-lakinya tampak menuruni bukit kecil menuju dermaga. Diakui ataupun disangkal sekalipun, dengan cara sederhana, gadis itu telah memindahkan akal pikiranku.

Aku tersenyum dan langsung berjalan menghampirinya. Ia menatapku seperti biasa. Aku pun menatapnya seperti biasa, tanpa bisa berkedip. Sebelum ia datang aku sudah menyiapkan sapaan selamat pagi yang susah payah aku rangkai. Berdiri dihadapannya, semua kalimat yang sudah aku rangkai tadi tertiup bersama semilir angin. Seperti bisa aku hanya tersenyum seperti orang pandir dihadapannya.

Adik lelakinya yang terlebih dahulu memecah keheningan.

“ Ketinggalan kapal Pak Guh-kah, Abang Dokter ? “, tanyanya sambil memperhatikan sekeliling. Ia memutar mata dan kepalanya untuk melihat sekitar dermaga.

“ Enggak kok, Min.”, jawabku sambil senyum-senyum pandir menatap kakak perempuannya. Yang ditatap malah sibuk mengatur dagangannya. Ia mengabaikanku begitu saja saat melihatku berjalan mendekat.

Aku mencoba menawarkan bantuan kepadanya.

“Ada yang bisa Abang bantu dek ? “, tanyaku.

Tanpa memalingkan wajah padaku, ia hanya menjawab pelan “Terima kasih, Bang. Tidak usah”.

Aku tidak kehabisan akal.

Tanpa diperintahkan dengan inisiatif sendiri, aku mengeluarkan bungkusan dagangannya dari bakul untuk kemudian di tata di atas meja. Ia sempat menoleh melihatku melakukannya, namun diam saja dan kembali melanjutkan membongkar isi bakul.

Benarkan kataku. Wanita dimana saja pasti sama, bahkan di ujung pulau sekalipun. Jangan tanyakan apa yang mereka mau, pasti mereka akan menggeleng. Karena gema suara mereka lebih besar gaungnya di dalam hati dan tak sampai kelidah untuk diucapkan. Maka pantaslah kata-kata bijak yang mengatakan bahwa hati wanita sedalam lautan.

Segerombolan ibu-ibu yang juga sesama pedangan berdatangan. Suara mereka berisik begitu menyaksikan aku turut membantu Yahnik mempersiapkan lapaknya.

“ Rajin sekali Pak Dokter pagi ini. “, ujar seorang ibu-ibu yang lapaknya disamping lapak Yahnik.

Bak suara burung, yang lain ikut menyautinya.

“ Pagi dan sore bantu-bantu, malam juga bantu-bantu di kedai kopi. Jangan-jangan Pak Dokter juga bantu-bantu di dapur subuh hari ya ? “, timpal seorang ibu diiringi gelak tawa ibu-ibu yang lainnya.

“ Sebentar lagi Pak Dokter akan jadi orang pulau..”, seru ibu yang lainnya.

Suasana gelak tawa ibu-ibu menggoda kami membuat pagi ini ramai. Aku hanya tersenyum cengengesan. Sedangkan Yahnik, aku tak tahu karena ia sedang memunggungiku.

Beberapa saat setelah tawa gerombolan ibu-ibu reda dan pedagang telah sibuk mengurusi dagangan mereka, Yahnik berbalik menatapku.

“ Berangkatlah, Bang. Nanti Abang terlambat. Pak Guh sudah di perahu dari tadi.”, ucapnya sambil melihat ke arah perahu Pak Guh.

Aku baru sadar. Sudah jam tujuh, kiranya. Yahnik kembali melanjutkan pekerjaannya. Aku ragu ingin mengatakan apa untuk berpamitan dengannya.

“ Dek, Abang berangkat dulu ya. Sampai ketemu nanti sore.”, ucapku sambil setengah berlari menuju Perahu Pak Guh.

Samar-samar aku mendengar orang-orang berbisik-bisik saat aku menaiki perahu.

“…. teluh…”

Aku tak mempedulikannya. Hatiku sangat bahagia karena malam bertemu Yahnik, pagi ini bertemu lagi dan nanti sore juga akan bertemu lagi. Pak Guh tersenyum kecil menatapku.

Sebelum perahu bergerak merapat ke laut, aku menggunakan kesempatan melihatnya dari kejauhan. Ia berdiri sambil memegang bakul dan menatapku. Jika aku adalah aktor film, maka saat ini aku akan beradegan meneriakan namanya sambil melambaikan tangan dari perahu.

(bersambung…)

Yahnik : Sepasang Mata Hujan (1)

Dalam bahasa yang paling indah sekalipun, ia sulit untuk digambarkan. Tatapan matanya bahkan senyum simpulnya pun mengundang tanya untuk dipecahkan. Ia seperti teka-teki dengan seribu isyarat yang tidak aku ketahui.

Sore itu selepas praktek dari seberang aku menaiki perahu motor Pak Guh seperti biasa. Saat perahu merapat ke dermaga, aku menangkap sosoknya.

Rambutnya yang panjang berkibar seperti bendera dihembus angin. Ia duduk di bangku kayu kecil sambil menjajakan panganan buatan neneknya. Seorang ibu muda tampak menawar dagangannya.

“Tiga bungkus, enam ribu sajalah”, ucap ibu itu.

Ia tersenyum kecil lalu memasukan tiga bungkus panganan ke dalam kantong plastik hitam.

Aku mendekat.

Ia menengadah menatapku.

Matanya. Ada sebuah lubang di dalam mata indah itu yang seakan menghisapku setiap kali aku menatapnya.

Ia hanya diam menanti aku mengucapkan sesuatu.

“Eeh, apa saja yang tersisa saja Yahnik”, ucapku sedikit gugup.

“Masih banyak yang tersisa bang”, jawabnya sambil menunduk memilih-milih panganan.

Ah, aku baru sadar hari ini jualannya tak cepat habis.

“Yang biasa saja Yah”, ucapku lagi sambil berjongkok.

Sejak pertama kali aku bertemu dengannya, aku tak pernah bisa sedikitpun mengalihkan mata dan pikiranku dari wajahnya. Ia seperti magnet. Fokusku terhadap sekitar langsung kabur ketika melihat wajahnya. Seperti sekarang, saat ia sibuk memilih panganan yang akan aku beli, aku memperhatikannya dalam diam sambil berjongkok.

Ia punya mata yang paling indah yang pernah aku lihat sekaligus mata yang paling membingungkan. Lidahku kelu setiap kali bertatap dengan matanya.

Ia menoleh kearahku dan aku langsung salah tingkah.

“Sepuluh ribu bang”, ucapnya sambil menyodorkan kantong plastik hitam padaku.

Aku gelagapan mencari dompet di dalam tas dan tergesa-gesa mengeluarkan uang lima puluh ribu.

Ia menghela nafas melihatku menyodorkan uang lima puluh ribu.

“Yahnik tak punya kembaliannya bang.”

“Ambil saja, tidak usah pakai kembalian.”

Ia kembali menghela nafas.

“Besok saja abang bayar.”

“Mana bisa abang makan jualanmu tapi belum bayar. Tidak usah dikembalikan uangnya dek Yah.”, ucapku sambil kembali menyerahkan uang lima puluh ribu kepadanya.

Ia terdiam. Angin sore menerpa rambutnya hingga menutupi wajah. Dengan satu gerakan ia merapikan rambutnya yang sedikit kusut, kemudian diselipkan di belakang telinga.

Aku terpesona menyaksikannya.

“Yahnik tak bisa terima bang.”, ucapnya datar sambil menatapku lurus.

Dulu sebelum hendak berangkat untuk tugas pengabdian, Ibu pernah berpesan padaku agar sering-sering mengunyah bawang putih, katanya ampuh untuk menangkal teluh. Tapi aku hanya tertawa saja mendengar nasehat Ibu. Mana mungkin dokter seperti aku percaya hal-hal tidak masuk akal seperti itu.

Tapi setiap kali menatap wajah Yahnik, aku seperti kehilangan akal. Jika dia menyuruhku untuk menyerahkan  semua uang yang ada dalam dompet, pasti akan aku lakukan seketika. Maka ketika ia bilang tidak bisa menerima kembalian uangku, dengan patuh aku memasukan kembali lima puluhan itu ke dompet.

“Besok pasti akan abang bayar dek.”, ucapku.

Ia hanya mengangguk kecil.

Hari sudah semakin sore dan angin bertiup cukup kencang. Rasanya ingin sekali aku menyuruhnya pulang. Tapi lagi-lagi, aku seperti orang kehilangan akal dengannya. Dalam diam aku berdiri dan berjalan ke arah rumah tanpa bisa melepaskan bayang wajah Yahnik.

Setelah solat isya dari langgar aku sengaja mengambil jalan memutar ke arah dermaga.

Dari kejauhan aku melihat temaram lampu minyak. Ia masih berjualan ditemani kedua adik laki-lakinya.

Aku mempercepat langkah menuju sumber cahaya itu.

“Belum habis dek ?”, sapaku.

Ia menatapku kemudian melihat dagangannya.

“Belum bang.”, jawabnya sambil melipat buku yang ada dipangkuannya.

“Baca buku apa ? “, tanyaku sambil melihat sampul depan buku yang ia pegang.

Buku itu seperti buku promosi dari agen wisata.

“Tadi ada yang bagi-bagi ini. ”, jawabnya lagi sambil menunjukan sampul buku itu padaku.

The Magnificent of New Zealand.

Benar tebakanku. Buku itu adalah buku promosi wisata ke Selandia Baru. Tapi siapa juga yang membagikan buku wisata ke luar negeri di kampung nelayan yang kecil ini, untuk makan saja susah apalagi jalan-jalan, ke luar negeri pula batinku.

“Hmm, Selandia Baru ya. “, ujarku sambil mengangguk.

Ia menatapku sambil tersenyum lalu matanya yang luar biasa membulat penuh rasa penasaran menatapku. Aku tersihir olehnya.

“Abang pernah ke sana ? “, tanyanya sambil menunjuk tulisan New Zealand.

Aku hanya mengangguk. Seluruh mata dan pikiranku terfokus memperhatikan senyum kecilnya. Ia dan mata luar biasanya yang membingungkan itu telah menyihirku setiap hari.

Ia membuka halaman, dan menunjukan dataran bersalju padaku.

“Abang pernah kesini juga ? “, tanyanya lagi.

Aku hanya mengangguk.

Senyumnya merekah menatapku. Tak pernah ia tersenyum secantik itu di hadapanku. Kalau tiba-tiba saja datang tsunami detik ini juga, mungkin aku pasrah dihantam gelombang setinggi sepuluh meter itu dihadapan Yahnik.

“Dinginkah bang di sana ? “, tanyanya lagi sambil membalik ke halaman selanjutnya.

“Dingin sekali dek, harus pakai baju berlapis-lapis.”

“Oh yaa ? ”

Ia menatapku dengan mata luar biasa itu. Aku berhenti bernafas.

Lalu sisa percakapan kami hanya dipenuhi dengan pertanyaan penasaranya dan jawaban pendek dariku karena aku lebih fokus menatap wajahnya. Ia adalah rembulan paling cantik yang tengah berjualan kacang rebus dan kopi di malam hari.

Begitulah kemudian aku mendapatkan ide agar bisa terus menatap mata luar biasanya itu. Aku minta pada temanku yang bertugas  di ibukota provinsi untuk mengirimkan foto-foto daerah wisata yang dapat dicari di Internet. Sepulang praktek aku singgah untuk membeli jualannya dan mengatakan bahwa kiriman foto-foto sudah datang dari temanku.

“Paket dari kawan abang sudah sampai dek. Dia kirimkan foto dari Raja Ampat, Papua.”, kataku sambil berbelanja padanya.

Ia tersenyum riang. Hatiku penuh dibuatnya. Jadilah selepas solat isya, aku singgah ke tepi dermaga untuk menunjukan foto-foto tempat wisata padanya.

Ia beserta adik laki-lakinya dengan takzim mendengarkanku bercerita mengenai foto-foto yang aku bawa. Biasanya aku memilih tempat yang sudah pernah aku kunjungi sebelumnya agar bisa diceritakan lebih detail.

“ Kalau makan di sini mesti pakai kartu dek.”, kataku suatu malam sambil menunjukan foodcourt di salah satu Mall.

“ Kartu bang ? Kartu apa ? “, tanyanya bingung sambil berkerut kening.

Demi Tuhan, apapun ekspresi wajah yang ia tunjukan aku tak pernah bosan.

“ Iya kartu. Jadi uangnya disimpan di dalam kartu dek.”, jelasku.

Ia keheranan dan bingung mencerna penjelasanku. Ingin rasanya aku merekam setiap ekspresi wajahnya yang menawan itu.

Selain menemani ia berjualan kacang rebus dan kopi, aku juga sudah terbiasa membantunya melayani pembeli. Aku sudah tahu takaran kopi dan gula untuk secangkir kopi yang ia jual. Bahkan tidak jarang, bukan hanya Yahnik yang ikut mendengarkanku bercerita, pembelinya pun turut mendengarkan ceritaku. Aku sudah seperti juru cerita di kedai kopi. Belakangan ini, tidak hanya bercerita dan menolong Yahnik melayani pembeli, aku juga melayani pasien di kedainya. Entah sejak kapan, awalnya hanya satu atau dua pembeli yang iseng bertanya atau bercerita keluhannya padaku, namun belakangan banyak yang sengaja mampir ke kedai Yahnik hanya untuk berobat padaku. Jadilah aku memainkan tiga lakon di kedainya, sebagai tukang cerita, bantu-bantu bikin kopi dan praktek. Jangan ditanya bagaimana senangnya hatiku. Sampai tidurpun, senyum mengambang masih tercetak diwajahku.

Sore itu ketika aku mengambil persediaan obat di kabupaten sebelah, seorang kawan menggodaku.

“Sahar sebentar lagi jadi orang pulau nih ceritanya.”, katanya sambil menyunggingkan senyum padaku. Tapi anehnya itu bukan senyum pujian tapi lebih kepada senyum mengolok-olok.

Aku hanya diam saja tidak menggubrisnya. Aku masih sibuk menghitung persediaan obat.

“Oh ya ? Dengan siapa Sahar ? “, seorang kawan lain mencolek pundakku.

Aku hanya tersenyum tidak menggubrisnya.

“Janda penjual kacang rebus ceritanya. Benar tidak, Har ? “

“ Mantap kali manuver kawanku ini, pasti jandanya cantik nian kan, sampai pening Sahar dibuatnya. “, timpal yang lain diiringi gelak tawa.

Aku diam saja malas membalas omongan kawanku. Bukan sekali dua kali aku digoda begitu, belakangan sejak aku sering berpraktek sambil menolong Yahnik di warungnya, aku sering digoda dengan pertanyaan demikian. Aku diam saja dan tak pernah membalas.

“Hati-hati, Har. Bisa pingsan mamakmu kalau sampai ke telinganya kabar kau dengan Janda itu.”, oceh temanku yang dari Batak.

“Iya Har. Apa kamu gak pernah dengar cerita kalau dia itu pernah meneluh suaminya sampai mati ? “

“Iya Har, katanya dia dan keluarganya turun temurun memang suka meneluh orang Har. Jangan terlalu dekat loh, Har.”

Kawan-kawanku semakin menjadi-jadi memperbincangkannya. Hatiku panas. Sangat keterlaluan sekali ucapan mereka terhadap Yahnik.

Aku selesaikan mendata dan memasukan obat-obatan ke kotak persedian dan bergegas keluar.

Sebelum keluar aku mengatakan pada mereka “Empat tahun kalian sekolah belajar tentang tubuh manusia dan masih percaya soal teluh atau apapun itulah namanya. Dokterkah kalian itu ? Lagipula Yahnik itu masih dua puluh tahun, apakah ada tukang teluh dicerita dongeng manapun yang seusianya hah ? “, ucapku meninggi sambil menghempaskan pintu dan berjalan menuju perahu.

Di atas perahu menuju pulau, aku masih belum bisa memaafkan ucapan kawan-kawanku terhadap Yahnik. Gurat mukaku bertali gusar menghadap laut. Pak Guh pemilik perahu motor memperhatikanku.

“Pelik sekali pikiran Pak Dokter kiranya.”, ucapnya sambil mengemudikan perahu.

Aku menatapnya. Pak Guh sudah cukup tua apabila dibandingkan dengan pemilik perahu yang lain. Tapi ia adalah yang paling rajin, sopan dan baik. Karena itulah aku cukup dekat dan selalu berlangganan dengannya.

“Iya pak.”, jawabku.

“ Hidup itu sudah ada yang mengaturnya, jangan dipersulit dengan memikirkan bahwa hidup itu sulit.”, ucapnya datar sambil menatap lurus.

Ragu-ragu aku bertanya “ Pak, apakah benar suami dek Yahnik yang dulu meninggal karena diteluh ? “

Dalam hati aku mengutuk diriku sendiri kalau sampai termakan oleh ucapan kawan-kawanku.

Pak Guh terdiam sebentar kemudian melirik ke arahku dan kembali menatap lurus.

“ Bukankah Pak Dokter sendiri yang lebih tahu, semua orang akan meninggal kalau sudah datang waktunya kan. “, jawabnya diplomatis.

“ Iya pak, tapi kenapa banyak sekali omongan orang pulau yang bilang begitu ya ? “, tanyaku penasaran.

“ Manusia itu aneh Pak. Dikasih tau, tidak mau tau padahal tau. Kebanyakan dari kita memilih meyakini apa yang memang ingin kita yakini, bukan apa yang benar.”

Aku diam mencerna ucapan Pak Guh. Ia meliriku sebentar.

“Misalnya kalau badai mengamuk, orang pulau meyakini kalau penunggu laut marah karena tidak diberi darah, padahal pemerintah sudah saban hari mengingatkan kalau memang musim kala itu sedang tidak bagus karena ada perubahan putaran angin dan sebagainya. Tapi ya, yang diyakini orang pulau semua itu karena penunggu laut marah. Maka berbondong-bondong semua orang pulau berkorban ayam hingga kambing di laut, setelah itu kembali melaut karena sudah yakin penunggu laut sudah tidak marah lagi. Lalu kalau ada kapal yang karam, orang pulau beralasan, darahnya kurang banyak, lalu berkorban ayam dan kambing lagi dalam jumlah yang banyak. Padahal kenyataannya memang musim sedang tidak bagus untuk melaut. Tapi ya yang diyakini bukan itu.”

Pak Guh mengela nafas dan melanjutkan perkataannya.

“ Pada akhirnya kita memilih meyakini apa yang ingin kita yakini Pak. Itulah yang membentuk siapa diri kita.”

“ Lalu dengan suaminya Yahnik, Pak ? “, tanyaku.

“ Ya orang pulang meyakini dia meninggal karena diteluh.”

“Diteluh oleh Yahnik ? “, tanyaku agak meninggi.

Pak Guh menatapku.

“ Sebagian orang ada yang bilang begitu.”

“ Bapak juga menyakini begitu ? “, tanyaku lagi.

Ia memutar kemudi perahu dan menerawang panjang beberapa detik.

“ Yahnik itu seusia cucuku, Pak. Tapi cucuku beruntung karena anakku pindah ke ibukota provinsi dan cucuku tentu saja ikut pindah ke sana. Di sana pendidikan lebih maju, kesehatan juga lebih bagus ketimbang di sini.”

Aku memperhatikan guratan tua wajah Pak Guh.

“ Ada perkataan yang bilang kenapa orang mati-matian mengejar uang karena tanpa uang orang bisa mati. Pilihannya mati-matian mengejar uang atau mati tanpa uang. Tapi bukankah kedua pilihan itu menyedihkan sekali Pak ? “, ucap Pak Guh menoleh ke arahku. Aku hanya diam memperhatikannya.

“ Lahir dikeluarga miskin, dengan banyak saudara,Yahnik satu-satunya perempuan. Ia adalah anak kedua. Sebelum dia, kakak perempuannya meninggal beberapa bulan setelah dilahirkan. Praktis, ia adalah sulung untuk lima adik laki-laki yang masih kecil-kecil. Waktu kecil mereka berenam sering sakit-sakitan. Ayahnya meninggal saat melaut waktu Yahnik berumur kurang dari delapan tahun. Tidak lama setelah itu ibunya juga meninggal. Sejak saat itu mereka yatim piatu dibesarkan oleh nenek dari pihak ibu.”

Aku tak dapat membayangkan bagaimana Yahnik bersama kelima adiknya yang masih kecil-kecil harus ditinggalkan oleh kedua orang tuanya.

“ Semenjak itu, Yahnik membantu neneknya berjualan dan membersihkan ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Entah sejak kapan, kabar angin berhembus bahwa sejak kematian kedua orang tuanya, keenam kakak beradik itu tidak lagi pernah sakit. Entah siapa pula yang mulai menghembuskan kabar itu, berita menyebar bahwa orang tua mereka adalah tumbal untuk penguasa laut agar keenam kakak beradik itu diberi kesembuhan.”

Pak Guh memutar kemudi dan menoleh ke arahku kembali.

“ Siapapun yang menganal Yahnik pasti akan setuju bahwa dia adalah gadis yang sangat baik, sangat rajin bekerja dan sangat sayang kepada adik-adik dan neneknya. Bayangkan berapa penghasilan mereka sehari. Akan tetapi mereka bisa mencukupinya untuk hidup. Itu karena Yahnik bekerja keras.”

“ Saat itu aku baru pulang dari Ibukota provinsi untuk menengok cucuku yang sebaya dengan Yahnik berulang tahun ke enam belas. Sepulang dari sana aku mendapat kabar bahwa Yahnik sudah dinikahkan dengan seorang toke ikan pulau ini yang memang tukang kawin. Bayangkan betapa terkejutnya aku mendengar berita itu, gadis umur enam belas tahun dinikahkan dengan toke yang pantas jadi kakeknya. Aku sempat menghadiri kenduri mereka. Dilaksanakan sederhana saja. Saat aku melihat wajah Yahnik, aku teringat cucuku. Betapa nasib dua gadis itu beda. Dari berita yang kudengar katanya dulu ayah Yahnik bernah berhutang cukup banyak untuk membeli sebuah perahu pada toke itu. Sekarang toke itu menagih piutangnya pada Yahnik dengan mengancam kalau tidak dilunasi kelima adik-adiknya akan dipaksa melaut. Tentu saja hal itu menjadi dilema bagi Yahnik. Mengirim adiknya bertaruh nyawa di laut adalah hal yang paling ditakuti olehnya setelah ayahnya meninggal di laut.”

Aku tercengang mendengar kisah yang dituturkan oleh Pak Guh. Aku pernah mendengar cerita  bahwa Yahnik meneluh suaminya yang sudah tua untuk mendapatkan harta, dan cerita murahan lainnya. Tapi aku menolak untuk percaya. Aku juga sudah pernah mendengar cerita yang mengatakan kalau Yahnik menguasai ilmu teluh untuk menggoda suaminya yang dulu.

Aku bahkan tidak habis pikir, apa yang ada dalam benak orang-orang di pulau ini menuduh gadis berusia enambelas tahun meneluh suaminya yang sudah tua bangka.

“ Enam bulan setelah pernikahan itu, suami Yahnik tiba-tiba muntah darah dan meninggal di siang bolong. Gadis itu beserta adik-adik dan neneknya diusir dari rumah toke ikan itu oleh keluarga mantan suaminya serta dituduh telah membunuh sang toke dengan cara meneluhnya.”, ucap Pak Guh mengakhiri cerita sedih ini sambil mematikan mesin perahu.

Aku tidak menyadari bahwa kami hampir merapat di dermaga. Aku pulang agak telat dari biasanya karena harus mengambil persediaan obat dulu dan Yahnik tak tampak olehku diantara kerumunan penjual di tepi dermaga.

(bersambung..)

 

 

Wanita Yang Tidak Pernah Lupa

“Kamu gak bosen makan di sini terus ?”

“Engga.”

“Tiap kali ke kota ini, kamu pasti selalu mampir dan makan di sini. Cari cafe lain yang cozy aja kenapa sih ?”

“Kan di sini juga cozy, sepi lagi.”

“Yaudah deh terserah kamu aja.”, ucap dia menyerah.

Aku memperhatikannya sambil menggigit roti kedua yang telah aku makan kurang dari 5 menit. Dia hanya mendengus pelan sambil mengaduk kopi di hadapannya. Pasti bosan sekali mampir di cafe yang sama terus menerus.

Tapi kadang kala bosan bagi tiap orang berbeda-beda. Ada orang yang langsung bosan hanya dengan makan makanan yang sama untuk kedua kalinya. Tapi sebagian yang lainnya belum bosan dengan makan makanan yang sama meskipun telah berulang kali memakannya. Semuanya relatif, berbeda-beda pada setiap orang.

“Kamu yakin kita nunggu di sini sampai jam 5 ? “

“Memangnya kamu mau kemana ? “, Aku mengambil roti ketiga sambil menunggu dia bicara.

“Kemana gitu, jalan-jalan ke tempat lain aja.”

Aku memperhatikannya. Dia pasti bosan setengah mati karena lagi-lagi mampir ke cafe ini.

“Tadi kamu yang bilang capek jalan terus dari pagi. Nah, sekarang giliran duduk enak, kamunya malah protes.”, ucapku sambil mengunyah roti.

“Kita udah seminggu di sini, dan kamu mampir ke toko ini udah 5 kali loh. Nongkrong di tempat lain aja maksudku.”, dia memperbaiki posisi duduknya dengan gaya bicara untuk meyakinkanku.

“Aku cuma pengen makan roti ini aja sebelum kita pulang.”, balasku polos agar dia luluh.

“Kamu makan 5 potong roti ini setiap hari selama seminggu kita di sini loh. “

“Kan aku suka banget sama roti ini.” Aku menambahkan sedikit senyum tidak berdosa, agar bisa puas makan roti sebelum kembali pulang.

“ Yo wesss, kita duduk di sini aja sampe jam 5.”, balas dia menyerah. Matanya beralih memandang ke luar jendela. Aku mengikutinya.

“Aku beli kebab yang di depan aja deh kalo gitu. Kamu mau gak ? “ , ucapnya sambil berdiri.

Aku menggeleng sambil menunjuk roti di hadapanku. Kemudian dia berlalu menuju penjual kebab di seberang jalan. Aku memperhatikan dia dari jendela tempat duduk.

Aku masih ingat saat pertama kali bertemu dengannya. Saat itu aku bahkan tidak pernah membayangkan dia akan menjadi bagian dalam hidupku. Setidaknya untuk 2,5 tahun ini.

Aku dan sahabat baikku sama-sama menyukainya. Maksudku suka dalam artian kagum. Setidaknya itulah yang kami akui satu sama lain. Sahabatku mengaku kagum pada sosoknya yang berani dan vokal. Begitu juga aku. Akan tetapi, Kami berdua tidak pernah mengakui bahwa kekaguman kami lebih dari sebuah kekaguman antara junior terhadap senior.

Hingga tiba-tiba pada suatu kegiatan penggalangan dana, aku melihat sahabatku sendiri mengekor dia sepanjang acara. Awalnya aku merasa ragu. Karena aku tahu persis antara sahabatku dan dia tidak terlalu akrab, hanya saling kenal biasa. Ngobrol pun sangat jarang karena berbeda departemen keanggotaan.

Tapi saat itu, aku menyaksikan sendiri mereka berbincang akrab dan tidak bisa lepas satu sama lain. Aku bahkan masih ingat bagaimana senyum malu-malu dari sahabatku saat memperkenalkan dia padaku. Dan aku pun masih ingat bagaimana senyum dan tatapannya pada sahabatku. Aku bisa menebak saat itu juga, tapi aku tak mau mengakuinya.

“Lyra, tadi aku berangkat bareng Mas Hendy ke sini. “, ucap sahabatku malu-malu di depanku.

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Normalnya jawaban seorang sahabat ketika mengetahui sahabatnya sedang bersama pacar barunya atau mungkin gebetannya adalah membuat suasanya menjadi cair. Misalnya dengan mengatakan “Cieee sejak kapan dijemput Mas Hendy nih’ atau “Ohhh jadi ini toh mas-mas yang sering kamu galauin itu”. Tapi responku sendiri malah terdengar aneh bahkan untuku sendiri.

“Oh iya gak apa-apa tadi aku juga telat datangnya. Hehee”

Bahkan hingga sekarangpun aku masih tidak habis pikir, mengapa aku tidak bisa menjawab dengan normal seperti jawaban kebanyakan orang. Untungnya dua insan di hadapanku itu sedang jatuh cinta sehingga mereka tidak terlalu peduli dengan orang disekitarnya. Jadi mereka mungkin tidak memperhatikan jawabanku yang sedikit aneh.

“Aku pinjem temennya dulu yaa Lyra.”, ucapnya padaku sambil tersenyum. Aku masih ingat bagaimana raut wajahnya saat mengucapkan kalimat itu.

Setelah aku mengangguk mereka berdua pergi menuju sudut lain untuk berbincang dengan orang lain. Kejadian itu masih seperti kemarin meskipun tahun-tahun telah berlalu.

Beberapa minggu berikutnya yang aku tahu sahabatku telah resmi berpacaran dengannya. Pertemuan tempo lalu pada acara penggalangan dana, status mereka masih dalam tahap pendekatan. Maka jadilah minggu berikutnya hingga kurang lebih satu setengah tahun kemudian, aku rutin mendengarkan cerita “Mas Hendy-nya sahabatku”.

Pernah suatu ketika, sahabatku itu secara iseng tiba-tiba bertanya.

“Kamu pernah suka gak sih sama Mas Hendy ?”

Aku terkejut dan tidak terkejut dalam waktu yang bersamaan. Aku terkejut karena mengapa baru setelah lebih dari 6 bulan pacaran dengan “Mas Hendy-nya” itu, dia baru bertanya padaku. Bukankah dari dulu aku dan dia adalah pengagum dari “Mas Hendy-nya” itu. Kemudian, pada detik yang bersamaan aku sadar, bahwa selama ini aku juga tidak pernah jujur pada sahabatku sendiri mengenai perasaanku. Bahwa mungkin aku tidak hanya sekedar kagum tapi mungkin telah “jatuh hati” pada “Mas Hendy-nya” itu. Tapi sahabatku juga tidak pernah jujur padaku akan perasaannya. Maka jadilah kami dua sahabat yang saling jatuh cinta pada orang yang sama namun tak saling jujur.

Sahabatku bahkan diam-diam telah dekat dengan idola kami tanpa sepengetahuanku. Dan aku bahkan tidak diberitahu kalau mereka telah menjalani masa pendekatan selama 4 bulan sebelum akhirnya bertemu denganku pada acara penggalangan dana waktu itu.

Baru setelah 6 bulan pacaran dia menanyakan apakah aku pernah menyukai “Mas Hendy-nya” itu secara iseng.

Sebuah perasaan aneh mengapung dalam benakku. Salahkah aku merasa dikhianati selama ini ? Namun, saat itulah aku tidak terkejut atas pertanyaan sahabatku. Karena memang aku sendiri yang tidak mengakuinya. Aku juga yang dulu menegaskan berulang kali kepadanya bahwa aku hanya mengaguminya sebagai seorang senior.

Aku hanya menjawab sekenanya.

“Ngapain aku naksir sama pacarnya sahabatku sendiri. Kayak sinetron aja.”

“Hahaha becandaa yelaah bu. Kan dulu kamu pernah bilang kagum sama sosoknya Mas Hendy.”

“Kagum bukan berarti suka kaan. Takut amat buk, pacarnya aku embat.”, jawabku sambil bercanda.

Dalam hati, aku tahu kata-kata bukan berati tidak bermakna mutlak. Kagum memang bukan berarti suka namun juga bukan berarti tidak suka.

Ingatan masa lalu itu masih serasa kemarin bagiku. Aku masih bisa ingat secara apa saja yang terjadi selama satu setengah tahun sahabatku dengan “Mas Hendy-nya” itu. Dan aku juga masih ingat bagaimana perasaanku mengenai hal itu, bagaimana aku bisa berdamai dengan  fakta yang ada di depan mataku.

Lamunanku terjeda saat aku melihat dia berlari-lari kecil kembali ke toko tempatku berada. Wajahnya sumringah seperti bocah dibelikan playstation oleh orang tuanya.

“Kebabnya enak lo, serius.”, ujarnya sambil melahap kebab.

“Dimana-mana rasa kebab sama aja tau.”, aku tersenyum meledeknya.

“Eh, tapi ini serius enak, kayak kebab yang depan kosan aku dulu. Kamu inget gak, yang aku sering beli itu loh.”, ujarnya bersemangat dengan kebabnya.

“Aku gak tau depan kosan kamu yang dulu ada yang jual kebab malah.”

“Ye lupa, ada atuh neng. Sering banget aku beli sampe kemana-mana tuh kebab aku cemilin udah kayak bekal makan siang.”

“Oh, pas kamu ngekos di sana kan kita gak akrab. Pacar kamu kali yang inget.”

“Pacar yang mana emang ? “, ucapnya tanpa menghentikan menikmati kebab.

“Yang temen aku itu.”

Dia terdiam. Mata nya nenatapku.

Aku sebenarnya tidak bermaksud untuk mengatakannya, tapi entah karena aku sedang memikirkan sahabatku, tiba-tiba saja kalimat tersebut aku ucapkan.

Beberapa detik dia masih menatapku. Aku juga hanya menatapnya santai.

“Hmm iya kali, mungkin aku lupa.”, ucapnya sambil mengangkat bahu dan melanjutkan makan kebab kembali.

Aku terdiam cukup lama. Kemudian tanpa sadar berguman sendiri. Tapi cukup keras hingga dia dengar.

“Iya kan yang selalu ingat itu aku.”

Dia tertegun menatapku. Sepersekian detik baru aku sadar bahwa dia mendengar gumamanku.

“Ya maksud aku kan, kamu itu orangnya lupaan, yang selalu inget kan aku.”

Dia terlihat seperti memikirkan sesuatu. Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

“Anak-anak pengen ngadain acara makan-makan tuh. Katanya sekalian baby shower anaknya Theo.”, aku menyerahkan handphoneku padanya.

Grup chating masa muda kami sedari tadi memang sedang ramai.

“Siapa aja nih yang datang ? “, ujarnya sambil mengembalikan handphoneku.

“Datang semua sih kayaknya, soalnya Theo mengundang secara resmi gitu buat acara baby shower anaknya.”. Aku men-scroll layar handphone untuk melihat riwayat percakapan sebelumnya.

Mataku menangkap satu nama dalam grup chat yang merespon undangan untuk acara kumpul bersama.

Ingatanku kembali terpental ke masa lalu.

Organisasi yang aku dan sahabatku ikuti sangat menyenangkan. Karena orang-orang yang tergabung di dalamnya juga sangat mengasyikan dan tergolong sangat bersahabat bahkan untuk anggota baru. Tapi sebagai anggota baru tentu ada saja kesulitan menyatu dengan anggota lama lainnya meskipun mereka menyambut kami dengan sangat hangat. Malu-malu ala anak baru mungkin.

Tapi setelah sahabatku berpacaran dengan dia yang notabene adalah anggota lama, otomatis aku kecipratan dampaknya. Semua orang di organisasi kenal dengan sahabatku karena dia adalah pacarnya Mas Hendy, sedangkan orang-orang di organisasi mengenalku sebagai sahabat pacarnya Mas Hendy. Jadilah setelah sahabatku berpacaran dengan Mas Hendy, aku juga semakin akrab dengan anggoata organisasi lainnya. Bahkan persahabatan itu terjalin hingga kini. Sehingga diakui atau tidak, karena sahabatkulah aku menjadi sangat akrab dengan anggota lainnya.

Meskipun tidak rutin bertemu, persahabatan kami masih terjalin dengan saling sapa melalui grup chating. Barusan melalui undangan virtual yang dibagikan melalui grup chat, Theo, salah satu teman lamaku di organisasi mengundang seluruh anggota grup untuk kumpul-kumpul pada acara baby shower anaknya. Hampir sebagian besar anggota grup menyanggupi untuk datang. Termasuk sebuah nama yang kini menjadi perhatianku.

Di hadapanku dia masih sibuk mengomentari situs berita online yang tengah membicarakan skandal tokoh penting. Kebiasaanya, kalau membaca berita tidak pernah diam, pasti selalu berkomentar ini dan itu. Tapi aku suka mendengarnya mengomentari apapun.

Namun kini aku sedang tidak memperhatikannya. Aku sedang memperhatikan sebuah nama di grup chatting yang memastikan bahwa pada tanggal undangan acara tersebut dia pasti akan datang.

Kharisma Rainaully.

Tanpa melihat ke arahnya, aku berkata “Ully udah confirm tuh kalo dia pasti bakalan dateng.”

Mungkin karena asyiknya berkomentar, dia tidak terlalu mendengar apa yang barusan aku katakan.

“Siapa tadi yang udah confirm ? “

“Ully.”, ujarku pendek tanpa mengalihkan tatapan dari layah handphone sambil men-scroll percakapan di grup chating.

Dia menghela nafas berat. Setelah menegak habis kopinya dia berkata “Kamu lagi kesel banget ya sama aku ?”

Aku mengalihkan pandangan mataku dari handphone ke wajahnya. Dia sedang menatapku serius. Sudut matanya berkerut jika sedang menatapku seperti itu.

Aku meraih roti yang ada di meja dan menggigit ujungnya. Dia tetap menatapku.

“Kok kesel ? Emangnya aku kelihatan kesel dari tadi ?”

Aku bingung. Tentu saja aku bingung, karena aku sama sekali tidak sedang kesal kepadanya. Aku hanya menyebutkan satu nama dan dia langsung berasumsi bahwa aku sedang kesal.

Dulu pernah suatu waktu aku berpikir bagaimana jadinya apabila otak manusia diciptakan untuk dapat menghapus kenangan atau ingatan seperti komputer. Ketika kita merasa sudah tidak memerlukan kenangan atau ingatan, tinggal pilih menu delete all. Maka semua kenangan akan langsung berpindah ke recycle bin. Dan apabila kita benar-benar tidak membutuhkannya lagi, tinggal menghapus file kenangan atau ingatan itu dari recycle bin. Dalam seketika kenangan dan ingatan itu akan hilang untuk selamanya.

Atau bagaimana bila terdapat sejenis pengaturan dalam otak yang dapat menghapus secara otomatis kenangan atau ingatan apabila telah melampaui jangka waktu tertentu. Bisa juga kenangan yang ingin terhapus secara otomatis itu bisa dipilih terlebih dahulu. Misalnya kenangan yang telah tersimpan lebih dari 5 tahun dan telah dipilih akan terhapus dengan sendirinya. Mungkin setidaknya manusia akan menjalani kehidupan dengan lebih ringan, seperti komputer yang memiliki banyak sisa memori ketika telah dilakukan pembersihan file yang tidak diperlukan lagi.

Tapi ternyata Tuhan menciptakan otak manusia jauh lebih sempurna dari komputer. Dari sebuah seminar yang pernah aku ikuti, seorang psikolog pernah menyatakan bahwa sekalipun manusia berusaha untuk memprogram otaknya untuk melupakan atau menghapus sesuatu, kenangan dan ingatan itu akan tetap ada meskipun sudah tidak bisa dikenang dengan jelas. Mungkin itulah yang diraskan oleh Clementine dan Joel ketika berusaha menghapus kenangan mereka sebagaimana digambarkan dalam film Eternal Sunshine Of The Spotless Mind. Mereka memang pada akhirnya tidak saling kenal, akan tetapi sebagian kecil dari diri mereka masih merasakan dan terhubung dengan kenangan itu. Kalau kata quotes ala ala instagram, kamu mungkin bisa melupakan suatu kenangan, tapi kamu tidak akan pernah bisa melupakan bagaimana perasaanmu akan kenangan itu. Mungkin hal itu juga yang melandasi mengapa manusia bisa phobia akan sesuatu. Seorang yang dulu pernah tersendak oleh tulang ikan hingga tidak bisa menelan dan bernafas mungkin seumur hidupnya tidak akan pernah makan ikan lagi. Namun hal itu terjadi bukan karena ia ingat sakitnya tersendak bahkan mungkin juga sudah lupa kapan kejadiannya. Tapi karena otaknya masih mengingat bagaimana perasaannya saat tersendak tulang ikan. Perasaan panik, takut dan mungkin cemas yang masih tersimpan di otaknya yang membuatnya phobia untuk makan ikan.

Tapi bagaimana jika seseorang bisa ingat keduanya ? Kenangan dan juga perasaanya akan kenangan tersebut. Ia bisa ingat bagaimana rasa sakitnya tersendak tulang ikan, sakit tidak bisa menelan, sulit bernafas sekaligus perasaan panik, takut dan cemas. Bagaimana ia bisa berdamai dengan hal-hal yang ingin sekali dilupakan namun justru ia ingat dengan sangat jelas seperti kejadiannya baru saja terjadi kemarin. Aku ingin mendapatkan jawaban mengenai pertanyaan itu, agar aku juga bisa berdamai dengan banyak kenangan yang terekam jelas dalam otaku.

Dia menghela nafas lagi.

“Terus kenapa dari tadi kamu bahas soal Ully melulu ?”, suaranya perlahan naik pada ujung kalimat.

“Siapa yang bahas soal Ully, lah emang dia yang confirm di grup kalo pasti bakalan datang. Kan tadi kamu yang nanya siapa aja yang datang.”, ujarku sambil menggigit roti.

Dia meraih gelas botol mineral dan meminumnya tanpa melepaskan tatapan matanya padaku.

“Belum setengah jam kamu udah dua kali bahas Ully.”, nada suaranya masih sama.

Tuhan Yang Maha Kuasa beserta malaikat jadi saksi bahwa aku sama sekali tidak membahas mengenai Ully. Hanya saja kenangan itu terlintas dalam benakku, ditambah entah memang semesta sedang merencanakan sesuatu, karena tiba-tiba saja percakapan kami berujung pada satu nama.

Gantian aku yang meraih botol air mineral dan menegak isinya. Suasana cafe yang sejuk terasa sedikit gerah olehku.

“ Aku gak bahas Ully sama sekali, sayangku. Tadi pas kamu bilang kalo ada yang jualan kebab enak banget depan kosan kamu yang lama dan kamu bilang masa aku gak inget. Aku koreksi bukan aku gak inget, tapi emang waktu itu kita gak akrab dan mungkin aja yang inget itu Ully pacar kamu waktu masih ngekos di sana, yang lucunya sahabat aku sendiri. Terus pas kamu bilang siapa aja yang bakal dateng ke acaranya baby shower anaknya Theo, sumpah pas aku scroll, Ully juga bilang dia pasti bakal dateng.”, jelasku santai.

Aku tidak sedang kesal atau apapun itulah menurut dia hanya karena entah mengapa kami jadi membicarakan sahabatku sendiri yaitu Ully-mantan pacarnya. Tapi justru dia yang langsung sedikit emosi tampaknya dengan hal ini.

Jujur, aku bukanlah tipikal perempuan yang akan menggunakan masa lalu sebagai senjata untuk membuat laki-laki di hadapanku ini merasa bersalah. Jadi kalau dia menganggap aku sekarang sedang kesal dan mencoba mengungkit masa lalu agar dia terpojok, dia salah besar. That’s not my type man.

Dia mengusap wajahnya gusar.

“Harusnya kamu gak menghubungkan cerita jualan kebab itu sama Ully dan gak usah nyebutin Ully doang yang bakal dateng, sebutin nama yang lain aja.”, dia menjelaskan dengan hati-hati meskipun aku tahu dia masih terpancing emosi.

“Yah terus aku mesti bilang apa ? Emang aku gak pernah tahu ada yang jualan kebab di kosan kamu yang lama. Kan dulu ceritanya kita gak akrab. Dan yang pasti tahu ada kebab enak di depan kosan kamu adalah pacar kamu waktu itu, which is itu Ully sahabat aku. Itu faktanya loh.”, aku menjawab sambil tersenyum.

“ Tuh kan kamu kesel. Bilang aja kamu kesel sama aku kan ? Kenapa kamu inget juga coba soal Ully sahabat kamu yang dulu mantan aku ? “, dia memberikan aku tatapan menusuk lewat pertanyaanya.

Oh, man. Here we go.

“Siapa juga yang kesal. Aku gak kesal kok. Kenapa aku inget ? Kok lucu sih. Lah iyalah aku inget. Aku inget semuanya tahu. Semuanya.”, jawabku dengan menekankan setiap kata yang aku ucapkan.

“Kamu tahu gak aku inget saat pertama kali kita ketemu pas penerimaan anggota baru organisasi, pas kamu ngasih ke aku selebaran terus cerita panjang lebar soal organisasi sambil maksa-maksa aku buat tanda tangan di buku tamu. Aku juga inget kamu pas orasi di depan orang-orang sampe ditangkep polisi trus diinepin semalam di kantor polisi. Aku juga inget pas kamu ngasih aku motivasi buat berani speak up.”, jawabku tersulut emosi.

“Tapi kamu tau gak, dari semua itu apa yang paling sering aku inget, apalagi pas kita berantem adalah momen ketika kamu sama Ully ketemu aku pas acara penggalangan dana. Aku inget tatapan mata kamu ke Ully, cara kamu senyum ke Ully, bahasa tubuh kamu ke Ully, sampe-sampe aku inget warna baju kamu, warna sepatu kamu, kamu make jam di tangan mana. Aku aja gak inget gimana acara penggalangan dananya yang malah aku inget hal-hal itu. Konyol gak tuh.”

Aku tertawa tertahan. Rasanya aku ingin tertawa lepas hanya saja aku cukup waras untuk tidak tertawa dalam situasi ini.

Dia menatapku dengan kerutan di kening yang makin bertambah.

“Kamu pikir rasanya enak inget momen yang seharusnya gak usah dan gak perlu diinget lagi. Aku inget tiap jam 5 sore kamu jemput Ully buat pulang bareng. Aku juga inget tiap kali rapat di pilar belakang kamu selalu duduk disamping Ully atau pas acara camping kamu nyanyi buat Ully, kamu pinjemin sweater kamu buat Ully. Aku inget semua. Tapi yang paling aku inget dengan jelas kayak baru kemaren aja adalah saat masa-masa genting kita, kamu turn back lagi ke Ully even itu cuma seminggulah kamu bilang.”

Aku meraih botol air mineral dan menegak habis seluruh isinya.

Dia menatapku terkejut. Matanya bulat membesar mendengar ucapanku.

“Kamu tau gak Ully itu sahabat baik aku. Tapi tiap kali aku ngelihat dia, kok yang malah aku bayangin memori pas kamu sama dia masih pacaran. Don’t get me wrong ya. Aku gak pernah benci sama sekali sama Ully. Dia sahabat baik aku sampai kapanpun dan aku sayang banget sama dia. Aku juga gak ingin inget terus kisah yang udah basi, tapi gak tau kenapa aku inget. Semua.”

“ Dan kamu tahu gak pas acara nikahannya Salma yang kita ketemu bareng-bareng anak-anak organisasi trus Ully juga dateng. Bodohnya aku inget lagi gimana cara kamu menatap Ully pas nyanyi di acara camping dulu, padahal pas acara nikahan Salma kamu udah gak menatap dia kayak dulu lagi. Semua udah beda dan lain cerita. Tapi tetap aja aku inget. Susah payah aku nyari distraction biar gak inget moment itu biar bisa asyik sama anak-anak pas kumpul. Tapi susah, aku inget banget secara jelas. Ujung-ujungnya aku nangis di toilet. But, you never know that. Karena aku juga gak bilang ke kamunya.”

Gila! Kenapa akhirnya aku terbawa kesal. Tanggung ucapku dalam hati, tumpahin aja sekalian.

“Kenapa aku gak bilang sama kamu ? Karena kamu pasti bakal ngira itu hal yang konyol dan kekanak-kanakan. Yang perlu kamu tahu aku malu, kesal dan merasa lemah dengan semua itu. Akal sehat aku pasti juga bakalan bilang itu semua udah berlalu dan sudah habis di masa lalu. Gak seharusnya diingat lagi. Tapi apa daya, aku masih inget itu semua. Dan itu gak mudah.”

Mataku berkaca-kaca. Aku selalu paling benci topik ini oleh karenanya aku tidak pernah menceritakan semua ini kepadanya.

Sudut matanya berkerut. Dia sedang mencerna ucapanku.

“Kita udah jalan lebih dari dua setengah tahun dan kamu udah selesai sama Ully. Semua kenangan kamu sama Ully juga udah lama banget. Tapi anehnya, aku masih bisa inget dengan jelas sejelas-jelasnya kalo kamu itu bukan “Mas Hendy-nya” aku, tapi adalah “Mas-Hendy-nya” Ully.”

Aku menyandarkan punggung ke belakang. Seorang waitress melintas di seberang meja kami. Aku melambaikan tangan ke arahnya. Dengan gesit serta senyum yang telah dilatih oleh menajer, ia menghampiriku. Aku memesan 2 potong roti lagi dan air mineral.

Dia masih terpaku menatapku. Waitress kembali dengan air mineral dan dua potong roti.

Seketika aku langsung menegak air mineral di hadapanku.

Aku tahu, bahwa pada saat ini yang harus menyelamatkan situasi adalah aku. Karena dia tentu saja masih terkejut dengan jawabanku.

Aku tak pernah mengatakan hal ini kepadanya. Karena aku tahu tidak semua orang akan memahami kondisiku. Kebanyakan orang pada masa lalu justru malah mencibirkanku dan mengatakan bahwa aku berlebihan. Maka sejak itu aku tidak pernah mengatakannya kepada orang-orang.

“Waktu aku tahu kamu sempat lari ke Ully lagi ketika masa-masa sulit kita, aku terluka. Seperti penyakit hemofilia yang membuat darah penderitanya sulit untuk membeku apabila terluka, dan dapat mengakibatkan pendarahan, aku juga begitu. Bedanya bukan darahku yang sulit membeku apabila terluka, tapi otaku yang tidak bisa melupakan semua kenangan termasuk kenangan yang sangat ingin aku lupakan. Seperti kenangan kamu sempat lari ke Ully. Aku sangat dan teramat sangat ingin melupakannya. Aku juga tidak ingin terus menerus berada di posisi yang sulit, padahal semua itu hanya masa lalu. Dan aku juga tidak pernah dendam sama kamu atau Ully, mas. Aku juga tahu gak ada yang bisa disalahkan atas semua itu. Dan poin terpenting adalah itu semua masa lalu sama seperti Belanda menjajah Indonesia, dan sekarang temenan. Itu udah lalu. Udah lewat, udah tamat, the end. Tapi tetap aja aku masih inget.”, ucapku dengan nada tenang, meskipun aku tidak tenang sebenarnya.

Dia masih berusaha mencerna.

“Tapi aku sekarang ini adalah Mas Hendy-nya kamu, Lyra.”, ucapnya lirih.

Obviously iyaaa. I know it, mas.”

“Tapi kenapa kamu gak bisa menerima semua itu cuma bagian dari masa lalu kita?”, dia berucap lirih. Pasti pengakuanku ini sangat menyakitkannya.

“Aku gak bilang kalo aku gak bisa terima. Aku terima semua itu dengan lapang dada. Sungguh. Tapi anggap aja aku berbeda dari orang lain. Aku ini wanita yang tidak pernah lupa.”

Dia seperti hendak berbicara tapi kemudian mengurungkan niatnya.

“Kalau kamu gak paham, aku ngerti. Aku bahkan sampai detik ini juga bingung kenapa masih inget semuanya. Kalau kita jatuh dari sepeda trus luka, kita bisa rasain sakitnya mungkin sampai tiga hari. Seterusnya paling cuma bekas luka, itupun kalau berbekas, kalau tidak, ya mungkin lama-lama lupa kalau pernah luka. Atau kalau ingat pun mungkin cuma ingat moment pas nangis ketika luka, tapi sudah tidak ingat lagi seperti apa sakitnya luka itu. Tapi untukku, aku ingat dua-duanya. Ingat sakit lukanya dan ingat kenangan dan perasaan ketika luka itu.”

Aku harus menyelesaikan bagian ini.

“Anggap saja aku ini gak punya recycle bin. Gak bisa menghapus file yang padahal ingin sekali aku hapus. Jadi aku minta tolong, titip hati aku di kamu mas, buat dijaga baik-baik. Karena kalau aku terluka, aku bakal inget untuk selamanya.”

Aku menyeka air mata yang mulai menggenang di mataku. Di depanku masih tersisa 2 potong roti yang terakhir aku pesan. Tanganku terjulur meraih satu roti dan menggigit ujungnya.

Kenapa aku suka sekali roti dan cafe ini ? Karena aku wanita yang tidak pernah lupa, masih selalu ingat pertama kali kita bertemu dan makan roti di cafe ini. Bertahun-tahun berlalu, tapi aku masih ingat perasaan hangat ketika aku menggigit roti ini pertama kali saat kita untuk pertama kalinya pula berbincang di sini.

Aku menyunggingkan senyum seraya mengulurkan tangan meraih tangannya.

Dalam hati aku berujar, tenang mas, aku gak cuma ahli mengingat hal-hal yang menyakitkan. Aku juga ahli mengingat hal-hal yang membahagiakan kok.

Pria Nomor 20 bag (1)

Pukul setengah enam pagi, kota besar bergelar metropolitan itu belum bangun dari sisa tidur semalam. Meskipun, para penghuninya telah keluar dari persembunyian masing-masing memakai jaket dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, untuk menyambung hidup. Seorang pria berperawakan sedang, tidak tinggi tidak pula pendek, rata-rata postur orang asia tenggara kabanyakan. Ia memarkir motornya di parkiran lantai dasar. Tanpa melepaskan jaket kulit hitam serta masker hitam dari wajahnya dan hanya melepaskan helm bertuliskan salah satu merk motor, ia melangkah menuju lift yang akan membawanya naik beberapa lantai ke tempat biasa ia menghabiskan hampir lebih dari 12 jam waktunya setiap hari.

Sambil menunggu pintu lift terbuka, pria itu mengecek jam yang berada di tangan kirinya, memastikan bahwa ia tidak datang terlambat.

Dari belakang sebuah tangan mendarat di pundaknya. Ia menoleh dan kerutan disekitar matanya bermunculan ketika ia tersenyum.

“Brohhh!”, ucap pemilik tangan yang mendarat di pundak pria itu. Pria itu adalah rekan kerjanya.

Kemudian mereka saling berjabat tangan dan mengucapkan sapaan selamat pagi. Detik berikutnya, pintu lift terbuka dan kedua pria tersebut melangkah masuk ke dalam kotak yang diminati oleh masyarakat modern saat ini. Sisa perjalanan mereka menuju lantai atas dihabiskan dengan obrolan seputar kemacetan, banjir dan copet yang mereka saksikan dalam perjalanan pulang kemarin.

Sesampai di lantai 3, mereka berjalan menuju sebuah ruangan yang berisi lemari-lemari dengan nomor pada bagian depan lemari itu. Pria tersebut mengeluarkan kunci dan membuka lemari nomor 20 miiknya. Percakapan mereka selesai. Kedua pria tersebut sibuk melepaskan jaket dan berbagai macam perlengkapan yang melekat di badan. Tidak berapa lama kemudian, tampilan kedua pria tersebut menjadi serupa. Mereka telah berganti pakaian kerja.

Pria dengan postur orang asia tenggara kebanyakan tersebut kembali melirik jam di tangan kirinya., Ia kemudian mengeluarkan gorengan dari dalam tasnya dan melahap gorengan tersebut setelah sebelumnya menawarkan pada rekan kerja yang ia temui di lift tadi. Tapi rekan kerjanya menolak dan mengucapkan terima kasih kemudian berlalu meninggalkan ruangan yang berisi lemari-lemari itu. Setelah menghabiskan gorengan, ia berjalan ke ruangan sebelah, mencuci tangan, mengambil air minum dari dispenser dan langsung menegak habis air tersebut. Kemudian ia memulai aktivitasnya sehari-hari.

———

Ia telah bekerja di gedung tersebut sebagai petugas kebersihan lebih kurang 3 tahun lamanya. Dengan jam kerja dari pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore, dapat dikatakan ia selalu menyaksikan siapa saja yang keluar masuk gedung tersebut. Meskipun ia tak tahu akan nama orang-orang itu, tapi ia hafal wajah mereka, unit dan lantai mana mereka bekerja.

Ia adalah tipikal orang yang suka mengamati sesuatu. Barangkali karena pekerjaannya tidak terlalu sibuk, hanya membersihkan lantai, kaca jendela, dan bagian lain yang perlu dibersihkan. Jadi telah menjadi kebiasaannya, sambil menyapu atau mengelap debu meja resepsionis, sudut matanya akan mengawasi siapa saja yang lalu lalang datang dan pergi. Apabila ia perpapasan dengan orang lain, ia akan mengucapkan selamat pagi atau selamat siang atau selamat malam kepada orang-orang tersebut meskipun kebanyakan orang-orang itu tidak membalas atau hanya berlalu tanpa menatapnya. Tak apalah, ramah tamah bagian dari pekerjaan yang selalu ditegaskan oleh managernya.

Seperti biasa, kegiatan pertama sekali yang ia lakukan adalah menyiram tanaman di depan pintu masuk lantai dasar serta memperhatikan apakah ada tanaman yang layu yang harus disingkirkan agar tak merusak pemandangan. Selanjutnya, ia akan membersihkan kaca pada pintu dan jendela lantai dasar. Saat itulah dari kejauhan ia selalu melihat wanita itu turun dari angkot biru nomor 34.

Ketika wanita itu semakin mendekat ke arah pintu masuk, ia akan berdiri kemudian menyapa wanita itu dengan mengucapkan “Selamat Pagi”. Wanita itu pasti akan menoleh padanya, mengangguk kecil sambil tersenyum. Kadang sesekali, wanita itu datang ketika ia tengah membersihkan pintu kaca, maka ia akan membukakan pintu untuk wanita itu. Wanita itu biasanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Seringnya ia sengaja meninggalkan pintu kaca untuk dibersihkan paling terakhir agar memiliki kesempatan membukakan pintu untuk wanita itu.

Ia bahkan tidak ingat kapan awal mula pengamatan terhadap wanita itu lakukan. Yang ia ingat adalah setiap hari dalam setahun terakhir ini, wanita itu menjadi obyek pengamatan yang paling ia sukai. Ia bukan sedang jatuh cinta atau semacam pengagum rahasia wanita itu. Hanya saja dalam sehari ia bisa bertemu dengan wanita itu lebih dari 3 kali. Pertemuan pertama adalah pada pagi hari, kemudian sekitar pukul 10 atau setengah sebelas dan ketiga pukul 1 siang. Bahkan kadang-kadang pukul 6 sore ia juga bertemu dengan wanita itu. Berpapasan lebih tepatnya.

Seperti suatu kebetulan yang telah terencana. Pada pagi hari ketika wanita itu datang, ia sedang bertugas membersihkan lantai dasar. Sekitar pukul 10 sampai setengah 11, ia bertugas membersihkan lorong pada lantai 11 tempat wanita itu bekerja. Siang hari pada pukul 1, ia kembali bertugas mengepel lift di lantai dasar ketika wanita tersebut turun untuk makan siang. Kadang-kadang, pukul 6 sore sebelum pulang, ia masih bertugas membersihkan kembali lantai dasar saat melihat wanita itu pulang. Dan itu telah terjadi selama lebih dari setahun. Seperti rutinitasnya mengepel, membersihkan kaca dan merawat tanaman, menyaksikan wanita itu telah menjadi bagian dari rutinitas hariannya.

Kadang ketika wanita itu datang terlambat, padahal biasanya ia datang pada pukul 7.30. Pria itu akan terus menerus menengok jalanan di depan gedung, tempat angkot biasa menurunkan wanita tersebut. Hanya untuk mengecek apakah wanita itu telah sampai atau belum. Atau kadang, ketika pukul 10 hingga setengah 11, wanita itu belum kunjung keluar dari ruangannya untuk membeli selusin kopi mahal untuk bos-bosnya, seperti biasa. Pria itu akan menunggu hingga wanita itu keluar, dan berpapasan dengannya. Apabila masih tersisa waktu, ia akan menuggu hingga wanita itu kembali ke ruangannya dengan tangan penuh dengan gelas kopi hanya untuk melihat wanita itu dari sudut matanya.

Ia bahkan sangat hafal warna baju yang dikenakan oleh wanita itu. Apakah wanita itu mengenakan kemeja baru, atau rok baru atau tas baru. Ia tahu. Ia juga tahu warna kesukaan wanita itu berdasarkan warna baju yang paling sering dikenakan. Abu-abu muda. Wanita itu hampir memiliki semua benda berwarna abu-abu muda. Tiga buah kemeja lengan panjang, satu polos dan dua lainnya bercorak abstrak berwarna abu-abu muda. Wanita itu juga pernah memakai kemeja abu-abu lengan pendek dengan dua varian lainnya. Serta, celana dan rok yang kerap dipakai oleh wanita itu juga berwarna abu-abu muda. Tapi dari semuanya, mungkin semua tas yang dimiliki oleh wanita itu berwarna abu-abu muda. Karena tas yang dipakai oleh wanita itu selalu berwarna abu-abu muda.

Ia juga hafal bagaimana penampilan wanita itu ketika datang. Menggunakan jaket selutut berwarna hitam, rambut dikucir acak, muka polos tanpa bedak dan celana panjang hitam besar dengan sentuhan sendal jepit hijau yang lusuh sebagai alas kaki. Ketika telah sampai diruangannya, barulah wanita itu berdandan dan mengganti pakaian dengan pakaian kerja yang ia bawa di dalam tas. Karena pada pukul 10 hingga setengah 11 ketika wanita itu keluar ruangan untuk membeli kopi, penampilanya telah berbeda dari wanita yang disapanya pada pukul setengah delapan pagi tadi.

Wanita itu mungkin tidak termasuk kategori cantik seperti artis atau model di televisi. Tapi bukan berarti tidak enak dipandang. Biasa saja dan sederhana. Cantik bukan, tidak cantik sekali juga bukan. Wanita itu juga bukan tipikal wanita yang akan membuat orang menoleh padanya saat berpapasan pertama kali. Ia pun juga begitu dulu saat pertama sekali melihat wanita itu. Tapi seperti jatuh cinta, awalnya biasa saja lama-lama jadi tidak biasa. Bukan berarti pria itu jatuh cinta pada wanita tersebut. Itu hanya perumpamaan.

Postur tubuh wanita itu seperti kebanyakan wanita asia tenggara pada umumnya. Kulitnya pun sama, sawo matang. Dandanannya pun sederhana. Riasana wajahnya juga biasa saja. Cukup kemeja dipadukan dengan rok atau celana, kadang-kadang sekali wanita itu menambahkan kalung sebagai aksesoris pendukung, tapi sangat jarang. Kalaupun ada, paling jam 1 sudah tidak dikenakan lagi oleh wanita itu. Wanita itu juga hanya menggunakan bedak tipis biasa dengan sedikit polesan lipstick tipis berwarna pink. Begitu saja. Tidak ada yang spesial dari wanita itu. Tak ada merah-merah di pipi atau warna lain yang sering dibubuhkan oleh para wanita di pipi dan mata mereka. Wanita itu biasa saja.

Namun, lama kelamaan hal yang biasa itu berubah menjadi tidak lagi biasa. Mukanya yang polos pucat seperti orang bangun tidur ketika datang pagi, kini berubah seperti muka bayi yang baru saja selesai mandi. Bersih. Sentuhan lipstick tipisnya, semakin membuat wanita itu bercahaya dan terlihat segar meskipun acap kali ia keluar dari ruangannya dengan muka kusut, cemas ataupun tergopoh-gopoh membawa selusin gelas kopi. Tetap saja, kini sudah tidak biasa lagi.

Maka pria dengan postur tubuh orang asia tenggara kebanyakan itu sangat menikmati rutinitasnya mengamati dan menunggu wanita itu. Kadang-kadang pria itu melakukan permainan kecil dengan dirinya sendiri. Ia akan menebak, warna baju apa gerangan yang dipakai wanita itu, atau apakah wanita itu memakai celana atau rok hari ini. Jika tebakannya benar, pria itu akan senyum-senyum sendiri sepanjang hari. Jika salah, ia tetap akan tersenyum sendiri membayangkan mengapa melakukan tebakan bodoh seperti itu.

Pernah terlintas di benak pria itu untuk sedikit membuka obrolan dengan wanita tersebut. Hanya saja ia takut dengan tanggapan wanita itu nantinya. Ia takut wanita itu merasa tidak nyaman dan justru menjadi takut kepadanya. Pesan managernya, ramah itu harus tapi jangan sampai menimbulkan ketidaknyamanan. Maka demi menjaga rutinitas yang telah ada, pria itu mengurungkan niatnya untuk sekedar bertanya siapakah nama wanita itu, dimanakah ia tinggal, apakah perjalanan dari rumah ke gedung kantornya macet atau sekedar bertanya apakah dijalan dia melihat aksi pencopetan. Hidup pada zaman akses informasi yang tak terbatas, bahkan ketika keberadaan seseorang dengan mudah ditemukan lewat unggahannya sendiri di media sosial. Namun ketika bertemu secara langsung, sikapnya akan berubah menjadi antipati, tidak ramah, pelit kata, padahal di media sosial semuanya diumbar habis-habisan. Maka di zaman ini, lebih baik diam, dari pada banyak bertanya, nanti dikira mencurigakan seperti pelaku kejahatan. Sebuah ironi memang.

————

Siang pada pukul 1, pria itu masih berkutat dengan lantai dan alat pengepel lantai di depan lift. Orang-orang silih berganti keluar masuk kotak tersebut. Melalui sudut matanya ketika sedang mengepel lantai, pria itu mencari-cari apakah wanita itu telah turun untuk makan siang. Tapi anehnya setengah jam berlalu dari jam 1 tadi, wanita itu tidak kunjung muncul keluar dari lift. Pria itu bertanya-tanya. Bahkan, sekitar jam 10 sampai jam setengah 11, wanita itu juga tidak keluar dari ruangannya untuk membeli selusin kopi sebagaimana biasanya. Pria itu malah telah menunggu hingga jam 11 di depan ruangan wanita tersebut.

Pria itu berucap dalam hati, kenapa tiba-tiba wanita itu terlambat makan siang ? Apakah ia terlalu sibuk ?

Waktu telah bergerak dari pukul 1 siang. Orang-orang telah mulai sepi keluar masuk dari lift karena jam makan siang telah berakhir. Tapi wanita itu tetap saja tidak tampak. Pria itu mulai gusar. Tapi ia tak punya pilihan lain. Mana mungkin seorang petugas kebersihan mendatangi seorang wanita di gedung tempat ia bekerja hanya untuk menanyakan mengapa hingga pukul 3 sore, wanita itu tak kunjung turun untuk makan siang. Sekalipun selama satu setengah tahun, wanita itu tidak pernah terlambat untuk waktu yang lama pada saat makan siang. Pria itu tidak mungkin sakan bertindak sejauh itu. Apa urusannya memang.

————

Jam kerja telah berakhir. Wajah-wajah kelelahan akibat seharian bekerja memenuhi loby dan lift. Pria itu sedang mengelap meja resepsionis, sambil memperhatikan wajah orang-orang tersebut. Ia tak menemukan wajah yang ia cari.

Pria itu menunggu hingga dua puluh menit berikutnya. Tapi wanita itu tak kunjung nampak. Di luar sepertinya akan hujan badai, jika tak pulang sekarang maka ia harus menunggu hujan reda dulu agar bisa pulang. Artinya ia bisa pulang di atas jam 8 malam. Belum macet yang harus ia hadapi sepanjang perjalanan pulang. Yang ada ia sampai di rumah pukul 9 malam bahkan mungkin lebih. Tapi ia ingin memastikan dulu wanita itu telah pulang atau belum.

Gerimis kecil mulai turun. Ia menatap gusar ke arah lift sambil berdoa dalam hati agar bisa melihat wanita itu keluar dari lift dan berjalan ke tempat ia menunggu angkot seperti biasanya.

“Woiii, gak pulang ? Bakal ujan badai loh ini.”, rekan kerja nya datang menghampiri.

Pria itu mulai ragu. Dengan berat hati ia melangkah menuju ruangan untuk berganti pakaian.

——–

Keesokan harinya, seperti biasa pria itu telah mempersiapkan diri menyapa wanita tersebut. Ia bahkan menyisakan pintu kaca untuk dibersihkan paling akhir agar dapat cekatan membukakan pintu untuk wanita itu. Tepat pukul 07.30, wanita itu turun dari angkot biru nomor 34. Pria itu tersenyum lega.

Ia membukakan pintu seraya mengucapkan “ Selamat Pagi” kepada wanita itu. Lain dari biasanya, wanita itu hanya berjalan menunduk mengabaikan ucapan selamat pagi. Pria itu terdiam. Ada yang berbeda dari wanita itu, tak pernah sekalipun wanita itu bertingkah seperti tadi. Mengabaikannya seolah-olah tidak mendengar sapaan darinya.

Berbagai pikiran buruk bermunculan di dalam benaknya. Pria itu bertanya-tanya apakah ia telah membuat wanita itu tidak nyaman dengan kehadirannya. Tapi pertemuan dengan wanita itu bukan kehendaknya. Ia memang ditugaskan membersihkan lantai dasar ketika wanita itu datang, membersihkan lorong ruangan lantai 11 yang kebetulan merupakan kantor wanita itu dan berpapasan dengannya ketika wanita itu keluar membeli kopi. Dan memang juga adalah tugasnya membersihkan bagian depan lift pada pukul 1 siang sehingga kembali berpapasan di depan lift ketika wanita itu keluar untuk makan siang. Kadang-kadang kembali berpapasan dengan wanita itu pada pukul 6 saat ia bertugas membersihkan lantai dasar pada sore harinya. Lalu dimanakah letak kesalahannya, sehingga wanita itu menjadi tidak nyaman dengan dirinya. Pria itu berkata dalam hati bahwa ia hanyalah petugas kebersihan yang menerima dan menjalankan tugasnya. Atas jadwal kerja, apa saja yang harus ia bersihkan dan di lantai mana ia bertugas, adalah kewenangan dari managernya. Pria itu tidak memilih, ia hanya menjalankan perintah.

Ataukah wanita itu tersinggung olehnya, batin si pria. Tapi bagaimana bisa wanita itu tersinggung, sepatah katapun tak pernah terucap olehnya. Pria itu tidak pernah mengucapkan kata-kata selain selamat pagi kepada wanita itu. Bagaimana mungkin sapaan selamat pagi dapat menyinggung seseorang.

Atau apakah wanita itu merasa ketakutan atas sikapnya. Namun, pria itu menggumam dalam hati, “Sikapku yang manakah yang membuat dirinya takut ? Aku hanya membersihkan jendela dan pintu kaca saat ia datang, kemudian membersihkan lorong kantornya saat ia keluar membeli kopi, dan kembali membersihkan lantai dekat lift saat ia keluar untuk makan siang. Barang sejengkal pun tidak pernah aku berada didekatnya. Aku hanya berdiri dari kejauhan dan mengerjakan pekerjaanku saja.” batin si pria dalam hati.

Banyak pertanyaan berkelebat dalam pikiran pria itu. Tapi ia memutuskan untuk mengabaikannya. Ia harus berkonsentrasi pada pekerjaannya.

——

Pukul 10 dilalui pria itu tanpa berpapasan dengan wanita yang tergopoh-gopoh membawa selusin kopi di tangannya. Wanita itu tak kunjung keluar dari ruangannya hingga pukul 11 siang.

Begitu juga pada saat jam makan siang. Wanita itu juga tidak muncul. Pria itu bertanya-tanya, seberapa tak nyamannya atau seberapa takutkah wanita itu kepadanya hingga dua hari berturut-turut ia tidak keluar untuk makan siang.

——

Hari berikutnya berjalan serupa dengan dua hari yang lalu. Pria itu seperti biasa telah melaksanakan tugasnya membersihkan kaca jendela pada lantai dasar. Ketika wanita itu datang, ia hanya berjalan menunduk sambil berlalu tanpa mengindahkan sapaan dari si pria, seperti kemaren.

Tapi sebelum pria itu kembali mempertanyakan mengapa wanita itu bertindak seperti biasanya, sekilas ia sempat memperhatikan wajah wanita itu. Ia pucat, lebih pucat dari biasanya. Matanya bengkak entah seperti habis menangis atau karena kurang tidur.  Meskipun wanita itu berjalan cepat menuju lift, pria itu bisa melihat dengan jelas langkah gontai yang dipaksakan dari kakinya.

Apakah gerangan yang terjadi ? Mengapa dari hari ke hari ia berubah, tanya pria itu dalam hatinya.

(bersambung…)

Tersesat

Aku mendengar suara gemerincing kunci yang dikeluarkan dari saku jaketnya. Aku juga mendengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali. Bahkan aku mendengar helaan nafas beratnya sambil melangkah menaiki tangga. Aku memejamkan mata erat-erat seraya mengatur nafas layaknya orang tidur.

Dia membuka pintu kamar.

Aku meringkuk dalam selimut. Dia menghembuskan nafas berat. Dia menyalakan lampu. Aku bangun dari sandiwara tidurku.

“Kapan sampai ?”, ucapku mencoba meregangkan badan.

“Barusan. Maaf membangunkanmu. Tidurlah.”, jawabnya bahkan tanpa memandangku sambil berlalu ke kamar mandi.

Aku hanya menatapnya. Dia terlihat lelah seperti biasanya.

“Ada teh jahe panas di dapur.”

“Tak apa, tidak usah. Tidurlah, Maya.”, suaranya pelan dari kamar mandi.

Aku hanya menatap gantungan jaketnya. Aku mulai gila dengan semua rutinitas percakapan bodoh ini.

——–

Ibuku mempunyai sebuah restoran kecil tak jauh dari rumah di kota kelahiranku. Restoran kecil kami memiliki banyak pelanggan, karena menurut mereka masakan ibuku sangat enak. Aku tak akan berdebat soal itu. Seingatku sejak dahulu, aku selalu berada di restoran kecil kami membantu ibu memotong sayuran, mencuci piring, membersihkan meja dan mengantarkan pesanan.

Ayahku seorang pekerja pabrik kebanyakan. Pagi-pagi sekali ia telah berangkat ke pabrik tempatnya bekerja dan pulang dipenghujung sore. Ayah akan pulang ke restoran kecil kami dan bergabung membantu ibu dan aku. Pukul 9 malam restoran kecil kami tutup dan kami bertiga kembali pulang ke rumah sambil berjalan kaki. Ayah selalu menggenggam tangan ibu dalam perjalanan pulang. Ketika aku masih kecil, ayah menggendongku sambil menggenggam tangan ibu. Ketika aku dewasa kami berjalan bertiga saling bergenggaman tangan.

Maka sebagai anak yang sejak kecil membantu ibunya mengurus restoran kecil kami, aku memiliki sedikit kepandaian memasak dari ibu. Aku terbiasa memasak sendiri. Bahkan hingga sekarang.

Pagi ini aku memasak tumis sayur dan daging cincang serta roti bakar. Maka sebelum matahari terbit, aku telah sibuk di dapur. Bahkan ketika dia belum bangun. Sebagian hatiku mengatakan, semangat memasakku hari ini karena ingin menghindari percakapan bangun tidur denganya. Tentu saja, ini adalah hari minggu dan aku tidak punya alasan untuk menghindar darinya.

Aku sudah selesai memasak dan tinggal merapikan dapur sedikit lagi. Aku mendengar bunyi suara air dari kamar mandi. Dia sudah bangun. Aku tahu dia sudah bangun semenjak aku berada di dapu. Tapi dia tidur lagi. Atau mungkin pura-pura tidur lagi.

Aku tidak akan repot-repot memanggilnya dan mengatakan bahwa sarapan sudah siap. Dia pasti tahu.

——-

“ Sarapannya enak sekali. Kamu harusnya buka restoran seperti ibu.”, ucapnya sambil menyendok daging cincang dari piring.

Aku sudah mendengar itu ribuan kali. Aku menjawab dengan jawaban yang telah kuberikan ribuan kali pula.

“Aku tidak seberbakat itu.”, ucapku sambil meringis.

Dia hanya tersenyum.

Makan bersama dengannya selalu berakhir seperti ini. Kami berdua kehilangan topik pembicaraan dan akhirnya mencoba menghabiskan makanan dalam diam berharap dapat memasukan sekaligus semua makanan ke dalam tenggorokan dan pergi.

Dua puluh menit berikutnya berlalu dalam diam.

Setelah menghabiskan makananku, aku beranjak ke dapur. Mencari kesibukan disana.

“Kemaren aku bertemu Risa, teman sekotamu. Dia menyampaikan salam.”

“Oh iya, tolong sampaikan salam kembali untuknya.”, ucapku sambil mencuci piring.

Dia beranjak ke dapur dan meletakan piring di sampingku.

“Tinggalkan saja, biar aku yang cuci.”, ucapku.

“Terima kasih.”

Dia mengambil lap dan membersihkan meja makan. Bahkan dalam keadaan memunggunginya pun aku bisa melihat gerakannya. Dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Lalu, dia berbalik menatapku.

“ Hari ini aku dapat tugas jaga.” Dia berhenti sebentar untuk melihat reaksiku.

Aku tahu kalau aku diam, dia akan diam. Maka aku bersuara.

“ Tak apa, pergilah. Biar aku saja yang menjemput ayah dan ibu.”

“Terima kasih banyak, Maya.”

Dan dia pun berlalu.

———

Aku selalu bisa menemukan ayah dan ibuku bahkan ditengah keramaian sekalipun. Apabila mereka tengah berdua, seolah-olah ada sesuatu yang mengelilingi mereka sehingga aku tahu keberadaannya. Begitu juga sekarang. Aku menunggu di pintu kedatangan bersama dengan penjemput lainnya. Ini hari minggu yang sangat ramai.

Setiap kali aku melihat ayah dan ibuku bersama, selalu ada perasaan hangat yang tidak bisa dijelaskan. Kemudian berubah menjadi getir. Hangat karena mereka berdua tidak pernah berubah. Dari dulu hingga sekarang. Cara ayah menatap ibu, menggenggam tangan ibu dan cara ibu menatap ayah dan tersenyum dengan sesekali menimpali cerita ayah tidak pernah berubah. Aku selalu tersihir menyaksikan pemandangan itu. Dari dulu bahkan hingga sekarang. Begitu juga detik ini. Aku menyaksikan ayah menenteng tas dan menggenggam tangan ibu sambil bercerita tentang sesuatu. Dan aku menyaksikan bagaimana ibu menatap ayah dengan lembut mendengarkan ceritanya sambil menggenggam tangan ayah. Bahkan di tengah keramaian seperti ini. Mereka selalu terlihat memiliki ruang pribadi sendiri.

Getir ketika aku sadar mungkin aku akan pernah bisa seperti ibu dan ayah.

Mataku bertemu pandang dengan mereka. Senyum ayah dan ibu yang dari dulu tidak pernah berubah, merekah. Tapi hanya dua detik. Detik ketiga senyum itu seolah hendak surut, tapi tetap dipaksakan. Aku tahu kenapa. Karena dia tidak ada.

—–

“Andy tidak bisa ikut menjemput ayah dan ibu. Dia ada tugas jaga.” Aku mengamati reaksi wajah mereka. Ayah dan ibu tetap tersenyum.

“Tak apa, nanti kita juga akan bertemu di rumah.”, kata ayah sambil memelukku.

Hatiku sesak. Kapan aku bisa bertemu dengan orang seperti ayah.

“Kamu terlihat kurus, May.”, ibu tersenyum sambil cemberut memegang pipiku.

“Ini sedang trend bu, kurus seperti model.”, jawabku sambil bergantian memeluk ibu.

Ayah dan ibu tertawa bersamaan. Bahkan aku pun tahu maksud dari tawa itu.

——–

Aku membawa ayah dan ibu keliling kota tempat aku tinggal sekarang.  Aku merasa seolah-olah seperti pemandu wisata pasangan yang sedang berbulan madu. Tapi tak apa. Toh mereka adalah ayah dan ibuku.

Seharian setelah kami berkeliling kota, aku hendak menawarkan makan malam di luar karena sudah jamnya makan malam. Ayah dan ibu berpandangan. Aku tahu.

“ Makan di rumah saja, nak, sekalian bungkus untuk Andy.”, kata ayah.

“ Iya, dia juga pasti belum makan malam.”, ibu menimpali perkataan ayah.

Mereka berdua adalah satu paket. Dua orang satu jiwa. Ayah akan sependapat dengan ibu, begitu juga sebaliknya.

“ Kalau sedang jaga, Andy pulangnya malam yah,bu. Kita makan di luar saja ya.”

Kalaupun dia tidak pulang malam, paling tidak dia akan makan di luar sebelum sampai di rumah. Bahkan meskipun dia tahu, aku sudah menyiapkan makan malam yang kumasak sendiri. Aku tahu itu.

Ayah dan ibu akhirnya hanya mengangguk dan mengalihkan pembicaraan mengenai kemeja yang baru dibeli oleh ayah tadi saat kami berkeliling. Aku hanya tersenyum.

Kami akhirnya makan malam dengan menu sate kambing. Aku bahkan menyaksikan ayah menyeka sisa kuah sate di jari ibu. Dan ibu tertawa kecil sambil menepuk pipi ayah.

Aku dibesarkan sebagai penonton yang setiap hari menyaksikan adegan cinta kasih mereka. Tapi lucunya, bahkan hingga kini aku tetap sebagai penonton. Tak pernah satu adegan pun terjadi dalam hidupku. Mereka tetap selayaknya muda mudi yang baru jatuh cinta sedangkan aku seperti hidup bersama orang asing.

———–

Sesampainya di rumah, aku melihat mobilnya terparkir di halaman. Dia sudah pulang rupanya. Dia bahkan membukakan pintu dan menyambut ayah dan ibuku. Hatiku perih.

Setelah mandi dan bersih-bersih, kami berempat duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Ayah dan dia menonton televisi sambil main catur. Aku dan ibu menonton televisi sambil melihat majalah dan bergosip.

Dia dan ayah tampaknya berbincang akrab mengenai pekerjaannya. Bahkan tertawa dan menceritakan sedikit cerita lucu. Ayah pun tertawa dengan cerita itu. Ibu pun tersenyum. Aku hanya diam. Beberapa tahun yang lalu dia pernah bercerita seperti itu padaku dengan sedikit cerita lucu tapi membuatku tertawa. Tapi kini sudah tidak pernah lagi.

Ibu membolak balik majalah dan menemukan berita tentang liburan ala-ala backpacker.

“ May, sepertinya liburan seperti ini bagus juga ya.” Ibu menunjukan artikel tersebut padaku.

“ Bagus sih bu, seru juga kelihatannya.”

“ Coba deh kamu sama Andy liburan ala backpacker seperti.”, kata ibu sambil membolak balik halaman majalah lainnya.

Aku terdiam. Di sudut ruangan, ayah dan Andy juga terdiam dan menoleh ke arah aku dan ibu.

“ Ya, tidak harus seperti backpacker sesungguhnya, tapi misalnya liburan tidak usah menggunakan tour guide atau agen travel. Datang terus jelajahi sendiri tempat wisatanya.”, ibu menoleh ke arah ayah mencari dukungan.

Aku bahkan bisa melihat ayah terkejut dengan ide ibu. Ayah hanya bergantian menatapku dan ibu.

Secepat itu juga, dia angkat bicara.

“ Iya bu, seru pastinya. Tapi aku dan Maya kan tidak tahu tempat wisata apa saja di sana, nanti bisa-bisa kami tersesat atau malah jadi sasaran kejahatan.”

“Iya juga sih, sebenarnya.” ujar ibu mundur dengan idenya.

Ayah dan dia kembali menekuni permainan catur mereka. Ibu kembali mengoceh mengenai berita lain yang ada di majalah.

Sedangkan aku menatap layar televisi dengan pikiran kosong. Tersesat. Sesaat ketika dia mengucapkan kata-kata itu, aku seperti terbangun dari mimpi panjang, seperti menemukan kata-kata yang tepat yang telah kucari-cari sebelumnya.

Dalam hati aku bergumam, bahkan tanpa liburan ala-ala backpacker sekalipun, aku dan dia telah tersesat. Sangat jauh, malahan. Sayangnya dia belum menyadarinya dan malah tertawa kembali dengan permainan catur bersama ayah.

———–

“ Besok mau jalan kemana sama ayah dan ibu. Aku sudah minta izin untuk tidak ambil jatah jaga hari ini. “, dia memulai percakapan setelah kami masuk ke kamar.

“ Hmmm, belum tahu.”

“ Ke taman buah saja. Kata temanku di sana suasananya menyenangkan, juga bisa petik buah sendiri.”, dia berjalan ke arah lemari pakaian seperti mengambil sesuatu.

Aku hanya diam. Ini adalah topik pembicaraan yang baru. Biasanya setiap malam hanya kami lewati dengan percakapan basa basi yang sama.

Dia berbalik ke arahku menunggu jawaban atas idenya.

“ Aku tidak tahu jalan menuju taman buah itu.”

Dia menatapku bingung.

“ Kita kan bisa menggunakan GPS atau petunjuk lainnya.”, dia mengatakan seolah-olah jawabanku barusan seperti bertanya apakah manusia bernafas dengan paru-paru.

Aku tahu pada akhirnya momen ini akan datang. Cepat atau lambat. Tapi aku tidak menyangka momen ini datang ketika ayah dan ibuku tengah berkunjung.

“Kita sudah tersesat.”, ucapku lirih. Mengucapkan kata-kata tersesat membuat dadaku sakit.

Dia masih sibuk mencari sesuatu dalam lemari.

“ Kita tidak akan tersesat, Maya. Aku juga bisa menanyakan rute perjalanannya pada temanku itu, kalau kamu mau.”

“ Kita sudah tersesat. Tersesat sangat jauh malah. Bukan soal perjalanan ke taman buah itu. Tapi kita berdua. Bahkan aku sendiri tidak tahu ke arah mana jalan pulangnya.”

Aku mengatakannya begitu saja. Seperti sudah kupersiapkan sebelumnya. Padahal tidak.

“ Maya, aku tidak..”

“ Aku juga tidak mengerti awalnya, sampai pembicaraan kita tadi dengan ayah dan ibu. Aku baru menyadari bahwa kita telah tersesat jauh. Jauh sekali mungkin. Saking jauhnya bahkan kita sudah tidak sadar sekarang ada dimana dan bersama dengan siapa. Semuanya terasa asing. ”

Dia hanya diam.

Aku mengatur nafas pelan-pelan.

“ Seperti ada tulang ikan yang tersangkut mengganjal di tenggorokanku. Setiap kali aku makan, minum, menelan ludah bahkan bernafas, tulang ikan itu terus menghalangi, timbul dan tenggelam dan membuatku kesakitan. Seperti itulah aku sekarang. Aku terus bertanya-tanya, apakah aku tetap makan, minum dan bernafas dengan tulang yang ada di tenggorokan itu dan pura-pura melupakan keberadaanya sampai aku terbiasa. Atau aku harus mendorong jari tanganku masuk ke tenggorokan untuk mengambil tulang ikan itu. Sakit sekali pasti awalnya, mungkin aku juga muntah beberapa kali. Tapi begitu tulang ikannya berhasil dikeluarkan, aku bisa makan dan minum tanpa sakit lagi.”, ucapku terisak. Wajahku dipenuhi oleh air mata. Aku tidak menyadari akan mengucapkan kalimat tadi kepadanya.

Dia hanya diam dan masih menghadap ke lemari. Aku bahkan bisa mendengar helaan nafasnya dan detak jam. Kami membisu dalam sunyi.

Aku tahu kemana semua ini akan bermuara. Hanya saja aku ingin sedikit saja berharap. Harapan seperti ketika aku masih kecil dulu. Ketika handphone pertamaku hadiah dari ayah dan ibu rusak dan tidak menyala lagi, padahal aku sangat menyayangi benda itu. Hampir setiap hari aku mencoba menghidupkan dengan berharap benda itu bisa hidup dan mendengar suara khas handphone itu ketika dinyalakan. Tapi setiap kali aku mencoba menghidupkannya, harapan itu langsung pudar. Handphone pertamaku tidak pernah menyala kembali. Tapi aku tetap mencoba menghidupkannya meskipun sebagian diriku tahu benda itu sudah rusak.

Seperti itulah aku kini. Aku tetap mencoba berharap menemukan jalan pulang dengan menyusuri langkah kami sebelumnya, meskipun aku sendiri tahu kemana akhirnya semua ini.

Aku masih terisak. Dan dia masih diam menghadap lemari.

Kemudian dia berjalan ke arah kamar mandi bahkan tanpa menoleh kepadaku seperti yang biasanya dia lakukan setiap malam.

 

 

Ketika Aku Pulang (1)

Aku paling benci ketika disuruh pulang ke rumah. Aku juga benci ketika Hari Raya datang dan seminggu sebelumnya aku ditelpon Mba Nah dan Rukmi untuk pulang.

Aku paling benci ketika disuruh pulang ke rumah. Aku juga benci ketika Hari Raya datang dan seminggu sebelumnya aku ditelpon Mba Nah dan Rukmi untuk pulang. Berkali-kali aku katakan kalau aku sibuk, libur Hari Raya yang hanya seminggu tak lebih hanya buang-buang tenaga dan waktu saja jika harus pulang. Tapi akhirnya aku akan kehabisan alasan dan Mba Nah akan berteriak di telpon padaku dengan memberi ancaman. “Kalau kamu tidak pulang, usah saja kamu datang ke kuburanku esok kalau aku meninggal !”Kurang lebih begitulah ancaman yang hampir tiga tahun terakhir ini aku dengar. Akhirnya mau tidak mau aku menuruti kemauan kakak tertuaku itu.

Maka ketika bulan ini adalah dua bulan menjelang Hari Raya, aku sudah was-was. Aku berusaha mencari alasan lagi, bagaimana agar tahun ini tidak pulang. Rumahku dan tempat aku bekerja sekarang berlainan provinsi, namun bukan berarti jauh sekali. Sebenarnya ada banyak transportasi umum yang akan mengantarku menuju rumah jika aku mau, seperti kereta api dari yang ekonomi ac hingga kelas bisnis, pesawat pun juga begitu, apalagi kalau bus, tak terhitung jumlahnya. Tapi aku memang benci pulang, makanya jarak dari tempatku sekarang ke rumah bagai mengarungi benua yang luas.

Aku tidak tahu kenapa perantau seperti diriku benci sekali untuk pulang kerumah. Di negeri ini berita arus mudik ketika Hari Raya disiarkan oleh seluruh televisi dengan mengerahkan segenap kru mereka untuk meliput bagaimana orang-orang yang ingin kembali ke rumahnya. Berbagai perusahaan menawarkan jasa mudik gratis dan lain-lain. Sedangkan aku, hanya berharap Hari Raya datang lima tahun sekali agar tiap tahun aku tidak harus pulang ke rumah. Aku tidak harus repot menjaga tensi setiap kali di rumah yang akhirnya toh juga gagal dengan hengkangnya aku dari rumah tidak lebih dari 2 hari setelah Hari Raya. Begitu berulang setiap tahun. Kalau sudah begitu Mba Nah akan menangis sejadi jadinya ditelpon memohon agar aku kembali ke rumah. Tapi terlambat aku sudah di pesawat menuju kota tempatku bekerja.

Aku juga sebenarnya paling senang kalau diberikan tugas kerja saat Hari Raya. Tapi masalah pertama, Hari Raya termasuk sebagai cuti bersama Nasional yang artinya semua orang tanpa kecuali akan libur. Masalah kedua, ketika aku mengajukan diri misalnya untuk mengerjakan tugas kerja saat libur Hari Raya, orang-orang pastinya akan curiga padaku. Aku bahkan telah membayangkan Manajerku, Ibu Lita, akan menaikan alisnya yang disulam dengan sangat sempurna di salon khusus sulam alis langganan para artis, dengan mata menyelidik bertanya “Kamu kenapa gak pulang Rum ?” atau “ Kamu gak ngerayaain Hari Raya di rumah?”. Maka untuk menghindari rentetan pertanyaan yang tidak ada habisnya dari manajerku itu, aku mengurungkan niat untuk mengusulkan diri bekerja pada cuti Hari Raya.

Pernah dulu sewaktu tahun pertama aku bekerja di kota ini, aku bertekad untuk tidak pulang. Seminggu telepon dari Mba Nah aku abaikan. HP bahkan tidak aku hidupkan sama sekali. Aku bahkan telah menyusun rencana untuk liburan ke tempat wisata yang telah aku lunasi paket liburan tersebut kepada biro perjalanan.Tapi harusnya dari dulu aku tidak boleh meremehkan kepala besinya Mba Nah. Dua hari sebelum Hari Raya dia datang dengan suaminya Mas Totok membawa mobil sendiri. Bayangkan Mbaku, Mba Nah saat itu tengah hamil tua datang mengendarai mobil hanya bedua dengan suaminya menuju kota tempatku bekerja, menghabiskan waktu 16 jam di atas mobil. Dan dia sedang hamil tua. Aku tidak tau apa yang dia lakukan untuk memaksa suaminya sehingga mau mengantarkan dirinya ke tempatku. Sesampainya di rumah kontrakanku, waktu itu hampir jam 2 pagi, dia berteriak kesetanan.

Sebagai anak sulung, dari kecil dialah yang bertugas mengawasi kami bertiga adik-adiknya. Sehingga suaranya, maupun teriakannya aku hafal seperti menghafal lagu alif baa ta sewaktu ngaji di masjid dulu. Aku langsung terperanjat dari tidur. Masih tidak percaya jam 2 dini hari aku mendengar suara teriakan Mba Nah di depan pintu kontrakanku, yang biasanya hanya kudengar lewat telepon saja. Sempoyongan aku keluar, dalam hati sedikit takut, jangan-jangan aku hanya berkhayal atau bermimpi karena telah seminggu ini mengabaikan telepon darinya. Ketika aku pelan-pelan membuka pintu, munculah wajah Mbakku yang ayu tapi pucat karena kelehan berkendara selama 16 jam dengan perut buncit yang besar. Disampingnya berdiri Mas Totok suaminya, sambil memegang siku tangan mbaku. Aku terperangah.Jujur yang pertama kali aku lihat setelah itu adalah kakinya, apakah menginjak lantai atau tidak. Karena sewaktu kecil aku pernah dengar cerita, kalau hantu bisa bertransformasi menjadi rupa manusia yang masih hidup tapi kakinya tidak menyentuh bumi. Dan untungnya kaki Mba Nah dan Ma Totok menginjak lantai.

Aku tahu Mba Nah dalam kondisi selelah apapun dia akan tetap menjalankan misi utamanya juah-jauh menemuiku yaitu memuntahkan amarahnya. Aku sudah siap seperti kambing yang siap disembelih.

“Arum, kamu memang ingin aku mati dijalan menemui mu haah!”

“Tak kamu liatkah aku hamil tua, duduk saja susah, jalan susah. Kamu nunggu sampai aku menjemputmu kesini !”

Persis Mba Nah.Setiap kali aku dimarahi oleh Mba Nah aku selalu merasa kembali menjadi bocah berusia 8 tahun yang tidak mau menimba air atau mengangkat jemuran. Teriakan dan omelannya selalu sama. Tidak pernah berubah meskipun aku bukan Arum yang berusia 8 tahun lagi.

Aku hanya menatap wajah Mba Nah yang kepayahan dan kelelahan dengan datar. Percuma berdebat dengan Mba Nah, dia selalu punya cara untuk menang melawan adik-adiknya. Nafasnya tersengal-sengal. Mas Totok panik.

“Udah dek, mbok ya duduk dulu baru ngomong toh.”, ucap Mas Totok seraya mengarahkan mba nah untuk duduk di kursi halaman rumahku.

Mba Nah mematung. Dia diam tidak mau disuruh duduk. Kadang sesekali aku berpikir kenapa Mas Totok bisa jatuh cinta dan tahan dengan wanita keras kepala seperti Mba Nah. Meskipun aku sendiri sudah tahu jawabannya. Dibalik sifat mbaku yang tegas, atau galak tepatnya, dia adalah bunga di rumah. Yang paling cantik, paling pintar, paling bertanggung jawab, paling bisa diandalkan dan sebenarnya sangat penyayang pada adik-adiknya. Bahkan dulu sewaktu zaman SMP dan SMA banyak sekali yang nitip surat cinta untuk Mba Nah lewat aku atau adiku Rukmi.

(bersambung)

TUHAN AKU PASRAH

“TUHAN AKU PASRAH”
BY : FITRIA RAHMADANI
Malam semakin dingin saja, larut dalam kabut gelap. Cahaya lampu jalanan yang menerangi pinggiran jalan dikerubungi oleh para laron yang haus akan cahaya. Bintang-bintang diatas sana seolah – olah sedang berusaha mengatur diri mereka, untuk membentuk sebuah rasi bintang. Dan sepertinya, bulan juga ingin menghiburku dengan cahaya temaram jarak jauhnya. Aku sendiri di bangku taman rumahku. Walaupun aku sendirian, aku tidak ingin ada yang menemaniku, meski kutahu bahwa sendiri di malam sepi, malam minggu seperti ini sangatlah menyedihkan. Tapi begitulah aku, tidak ingin ada yang menemani, biarkan aku sendiri di bangku taman ini diterjang sepi dan diganggu oleh angin malam.
Aku mengusap- usap badanku yang kecil dilindungi oleh sweterku yang sangat tebal dengan tangan yang layu dan mungil. Malam semakin dingin saja. Sepasang muda-mudi berjalan didepan rumahhku sambil bergandeng tangan dengan mata penuh binaran cinta. Seharusnya pada umurku yang bulan Februari depan genap sembilan belas tahun, aku juga melakukan hal yang sama dengan muda-mudi itu. Pada malam minggu, pastinya akan ada seseorang yang akan datang kerumahku,,,tapi…dengan kondisiku yang seperti ini apakah ada laki-laki yang mau denganku? Gadis kurus kerempeng,pucat pasi,layu,seperti mayat hidup yang penyakitan? Aku pastikan tidak ada yang mau padaku.

Oleh karena itu aku berusaha untuk menerima keadaanku yang seperti ini dengan ikhlas. Menghabiskan sisa hidupku dengan sendiri, ditemani seorang wanita paruh baya yang selalu ada untukku.

“Sayang…kamu ngapain di sana,nak? Sudah malam, nanti kamu sakit.”, suara wanita paruh baya yang sangat aku sayangi mengagetkanku dengan lembut.
“Bunda………, jadwal minum obat ya?”, jawabku dengan lemah seperti biasanya.
“Iya sayang, makanya bunda bawa saja obatnya keluar. Bunda lihat kamu lagi senang di luar. Ya udah minum obatnya dulu!”.
Sambil menggenggam beragam pil dengan berbagai ukuran dan warna,beliau menyodorkan segelas air putih. Helaan nafas panjang kusertai menerima air putih itu. Mungkin sudah tidak terhitung lagi sudah berapa banyak aku memimun obat itu, karena sudah sejak kecil aku minum pil dengan warna dan bentuk yang sangat berbeda. Aku sudah sangat muak dengan bau obat itu. Ingin rasanya aku membuang obat itu saja, namun pikiran itu segera aku tepis karena aku tidak ingin kumat lagi dan membuat bunda susah mengurusku di rumah sakit.
Segera kutelan semua obat itu, agar bunda tidak susah menyuruhku. Mudah saja, karena aku sudah dilatih untuk meminum obat itu sejak kecil, sebelum bisa membaca tenggorokan ku telah terlatih menelan butiran itu. Bunda sepertinya sangat senang melihatku meminum obat dengan cepat tanpa ada keluhan. Kupandangi wajah kusam dan lelah wanita yang selalu ada untukku kapan saja.
“Obat itu akan membuatmu selalu ada untuk bunda”
Beliau selesaikan kata-kata itu dengan sebuah senyuman yang sangat indah yang paling ku sukai. Aku tau arti ucapan bunda, obat akan membantu hidup lebih lama, artinya agar tidak cepat mati. Aku tahu bunda tak ingin aku mati. Tapi aku pikir lebih baik mati daripada menyusahkan bunda seperti ini. Aku tidak takut pada kematian. Kebanyakan orang takut dengan kematian, sedangkan aku tidak! Karena apa? Orang yang takut mati adalah orang cinta pada dunia. Sedangkan aku? Aku bukan orang yang mencintai dunia. Karena aku benci dunia ini. Apa yang akan aku cintai didunia ini? Mungkin hanyalah bunda yang paling aku cintai. Aku hidup didunia ini hanyalah menyusahkan orang lain, karena aku penyakitan.

Aku selalu berdoa pada tuhan,…aku tidak akan mengeluh dengan keadaan yang diberikanNya. Aku tau semuanya adalah kuasaNya. Dan aku juga slalu berdoa: aku pasrah pada kehidupanku yang telah digariskan oleh tuhan,…aku pasrah dengan apapun yang terjadi, karena aku tau semuanya adalah kuasanya. Dan tuhan menentukan aku untuk menjalankan takdir dan garis hidupku ini. Meski dengan kondisiku yang seperti ini.

Aku juga terkadang lelah dengan semua ini. Dengan kemo yang seolah-olah adalah sakratul maut untukku, dengan suntikan, obat-obatan yang selalu aku minum setiap harinya sepanjang hidupku. Dan ramalan dokter dengan sisa hidupku. Kadang aku marah pada tuhan. Kenapa tuhan tidak langsung saja mencabut nyawaku. Kenapa aku harus dibiarkan menderita, bersedih, menyusahkan orang lain dan menghabiskan uang untuk biaya pengobatanku. Aku benci melihat orang- orang yang sehat dan menyia- nyiakan waktu mereka dengan berfoya-foya. Ingin rasanya aku ingin membeli kesehatan mereka agar aku dapat berlari, memanjat dan menghadiahkan semua prestasi untuk bundaku tercinta. Tapi aku sadar aku dilahirkan dengan penyakit, yang ada sudah sejak lahir.
Oh bunda….kenapa kau harus lahirkan aku? Mengapa tak kau gugurkan saja aku karena hanya membuatmu lelah dan payah. Menghabiskan uang dan tenagamu. Bunda andai saja aku bisa memberikan semua balasan atas kasih sayangmu padaku, sungguh aku ingin sekali buatmu tersenyum bangga dan menangis haru untukku.
Kupandangi sekali lagi wajah bunda. Tapi sepertinya beliau sedang menikmati angin malam. Semua anak anak seusiaku mungkin mempunyai cita-cita. Tapi aku tidak punya cita-cita yang muluk-muluk, aku hanya ingin bisa membahagiakan bunda dan membalas semua jasanya disisa hidupku. Karena aku tahu sejak aku lahir beliau telah mengasuhku dengan penuh penderitaan dengan kelemahan yang dianugerahi tuhan untukku.
Tuhan, bila suatu waktu engkau memanggilku untuk kembali kepangkuan-Mu lagi, aku hanya ingin satu hal saja. Kirimkanlah seorang pendamping untuk bunda yang dapat menghapuskan kesedihannya atas kehilangan diriku, yang dapat membuat beliau bangga dan dapat memberikan semua cintanya pada bunda. Yang dapat membahagiakan bunda dan menghapuskan kelelahan dan kepayahan bagi bunda karena diriku.
Tuhan….aku benar-benar pasrah atas semua takdir yang engkau gariskan untukku. Aku akan selalu pasrah menghadapi kenyataan kalau umurku hanya tinggal tiga bulan lagi, dan aku pasrah jika harus meninggalkan bunda, tapi tolong kirimkanlah seseorang untuk bunda yang dapat membahagiakanya, walau aku sangat sayang padanya,tapi aku hanya menyusahkan, aku hanya menambah beban untuknya.

Tuhan sungguh, aku sungguh pasrah kapan saja kau panggil aku. Aku pasrah dengan semua yang akan terjadi, aku pasrahkan segalanya hanya pada-Mu, karena ku tau hanyalah pada-Mu tempatku mengadu. Aku hanya ingin engkau menjaga bundaku jika nantinya aku sudah tiada. Aku tidak ingin beliau menghabiskan masa tuanya untuk mengurusi diriku. Aku ingin beliau menikmati masa tuanya dengan kebahagian yang selama ini tidak beliau dapatkan dan aku ingin beliau merasakan dicintai dengan sangat seperti beliau mencintaiku dengan sangat karena aku hanya bisa mengeluh padanya dan menambah bebannya.

Aku menoleh lagi pada beliau, orang yang paling aku sayangi. Lalu dengan lembut beliau berkata ”Bunda bangga padamu nak,karna kamu adalah orang yang paling tegar menerima kenyataan dan kepahitan kehidupan. Percayalah nak, tuhan sangat sayang padamu, dan tuhan takdirkan ini padamu karena itu yang terbaik untuk kita”, kata beliau sambil memelukkku.
Air mata meleleh saat beliau memelukku, beliau bangga padaku, dan itu adalah cita-citaku. Oh tuhan, air matanya adalah dosa bagiku , jika nanti aku telah tiada ,jangan izinkan air mata itu tumpah lagi. Buangkanlah semua kepahitan hidupnya dan bahagiakan dirinya. Cukuplah beliau menangis hanya karena diriku, dan jika suatu hai nanti aku telah tiada jangan biarkan hal itu terjadi lagi. Tuhan aku sungguh….sungguh pasrah atas takdir ini dan segala penderitaan hidupku.