Aku mendengar suara gemerincing kunci yang dikeluarkan dari saku jaketnya. Aku juga mendengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali. Bahkan aku mendengar helaan nafas beratnya sambil melangkah menaiki tangga. Aku memejamkan mata erat-erat seraya mengatur nafas layaknya orang tidur.
Dia membuka pintu kamar.
Aku meringkuk dalam selimut. Dia menghembuskan nafas berat. Dia menyalakan lampu. Aku bangun dari sandiwara tidurku.
“Kapan sampai ?”, ucapku mencoba meregangkan badan.
“Barusan. Maaf membangunkanmu. Tidurlah.”, jawabnya bahkan tanpa memandangku sambil berlalu ke kamar mandi.
Aku hanya menatapnya. Dia terlihat lelah seperti biasanya.
“Ada teh jahe panas di dapur.”
“Tak apa, tidak usah. Tidurlah, Maya.”, suaranya pelan dari kamar mandi.
Aku hanya menatap gantungan jaketnya. Aku mulai gila dengan semua rutinitas percakapan bodoh ini.
——–
Ibuku mempunyai sebuah restoran kecil tak jauh dari rumah di kota kelahiranku. Restoran kecil kami memiliki banyak pelanggan, karena menurut mereka masakan ibuku sangat enak. Aku tak akan berdebat soal itu. Seingatku sejak dahulu, aku selalu berada di restoran kecil kami membantu ibu memotong sayuran, mencuci piring, membersihkan meja dan mengantarkan pesanan.
Ayahku seorang pekerja pabrik kebanyakan. Pagi-pagi sekali ia telah berangkat ke pabrik tempatnya bekerja dan pulang dipenghujung sore. Ayah akan pulang ke restoran kecil kami dan bergabung membantu ibu dan aku. Pukul 9 malam restoran kecil kami tutup dan kami bertiga kembali pulang ke rumah sambil berjalan kaki. Ayah selalu menggenggam tangan ibu dalam perjalanan pulang. Ketika aku masih kecil, ayah menggendongku sambil menggenggam tangan ibu. Ketika aku dewasa kami berjalan bertiga saling bergenggaman tangan.
Maka sebagai anak yang sejak kecil membantu ibunya mengurus restoran kecil kami, aku memiliki sedikit kepandaian memasak dari ibu. Aku terbiasa memasak sendiri. Bahkan hingga sekarang.
Pagi ini aku memasak tumis sayur dan daging cincang serta roti bakar. Maka sebelum matahari terbit, aku telah sibuk di dapur. Bahkan ketika dia belum bangun. Sebagian hatiku mengatakan, semangat memasakku hari ini karena ingin menghindari percakapan bangun tidur denganya. Tentu saja, ini adalah hari minggu dan aku tidak punya alasan untuk menghindar darinya.
Aku sudah selesai memasak dan tinggal merapikan dapur sedikit lagi. Aku mendengar bunyi suara air dari kamar mandi. Dia sudah bangun. Aku tahu dia sudah bangun semenjak aku berada di dapu. Tapi dia tidur lagi. Atau mungkin pura-pura tidur lagi.
Aku tidak akan repot-repot memanggilnya dan mengatakan bahwa sarapan sudah siap. Dia pasti tahu.
——-
“ Sarapannya enak sekali. Kamu harusnya buka restoran seperti ibu.”, ucapnya sambil menyendok daging cincang dari piring.
Aku sudah mendengar itu ribuan kali. Aku menjawab dengan jawaban yang telah kuberikan ribuan kali pula.
“Aku tidak seberbakat itu.”, ucapku sambil meringis.
Dia hanya tersenyum.
Makan bersama dengannya selalu berakhir seperti ini. Kami berdua kehilangan topik pembicaraan dan akhirnya mencoba menghabiskan makanan dalam diam berharap dapat memasukan sekaligus semua makanan ke dalam tenggorokan dan pergi.
Dua puluh menit berikutnya berlalu dalam diam.
Setelah menghabiskan makananku, aku beranjak ke dapur. Mencari kesibukan disana.
“Kemaren aku bertemu Risa, teman sekotamu. Dia menyampaikan salam.”
“Oh iya, tolong sampaikan salam kembali untuknya.”, ucapku sambil mencuci piring.
Dia beranjak ke dapur dan meletakan piring di sampingku.
“Tinggalkan saja, biar aku yang cuci.”, ucapku.
“Terima kasih.”
Dia mengambil lap dan membersihkan meja makan. Bahkan dalam keadaan memunggunginya pun aku bisa melihat gerakannya. Dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Lalu, dia berbalik menatapku.
“ Hari ini aku dapat tugas jaga.” Dia berhenti sebentar untuk melihat reaksiku.
Aku tahu kalau aku diam, dia akan diam. Maka aku bersuara.
“ Tak apa, pergilah. Biar aku saja yang menjemput ayah dan ibu.”
“Terima kasih banyak, Maya.”
Dan dia pun berlalu.
———
Aku selalu bisa menemukan ayah dan ibuku bahkan ditengah keramaian sekalipun. Apabila mereka tengah berdua, seolah-olah ada sesuatu yang mengelilingi mereka sehingga aku tahu keberadaannya. Begitu juga sekarang. Aku menunggu di pintu kedatangan bersama dengan penjemput lainnya. Ini hari minggu yang sangat ramai.
Setiap kali aku melihat ayah dan ibuku bersama, selalu ada perasaan hangat yang tidak bisa dijelaskan. Kemudian berubah menjadi getir. Hangat karena mereka berdua tidak pernah berubah. Dari dulu hingga sekarang. Cara ayah menatap ibu, menggenggam tangan ibu dan cara ibu menatap ayah dan tersenyum dengan sesekali menimpali cerita ayah tidak pernah berubah. Aku selalu tersihir menyaksikan pemandangan itu. Dari dulu bahkan hingga sekarang. Begitu juga detik ini. Aku menyaksikan ayah menenteng tas dan menggenggam tangan ibu sambil bercerita tentang sesuatu. Dan aku menyaksikan bagaimana ibu menatap ayah dengan lembut mendengarkan ceritanya sambil menggenggam tangan ayah. Bahkan di tengah keramaian seperti ini. Mereka selalu terlihat memiliki ruang pribadi sendiri.
Getir ketika aku sadar mungkin aku akan pernah bisa seperti ibu dan ayah.
Mataku bertemu pandang dengan mereka. Senyum ayah dan ibu yang dari dulu tidak pernah berubah, merekah. Tapi hanya dua detik. Detik ketiga senyum itu seolah hendak surut, tapi tetap dipaksakan. Aku tahu kenapa. Karena dia tidak ada.
—–
“Andy tidak bisa ikut menjemput ayah dan ibu. Dia ada tugas jaga.” Aku mengamati reaksi wajah mereka. Ayah dan ibu tetap tersenyum.
“Tak apa, nanti kita juga akan bertemu di rumah.”, kata ayah sambil memelukku.
Hatiku sesak. Kapan aku bisa bertemu dengan orang seperti ayah.
“Kamu terlihat kurus, May.”, ibu tersenyum sambil cemberut memegang pipiku.
“Ini sedang trend bu, kurus seperti model.”, jawabku sambil bergantian memeluk ibu.
Ayah dan ibu tertawa bersamaan. Bahkan aku pun tahu maksud dari tawa itu.
——–
Aku membawa ayah dan ibu keliling kota tempat aku tinggal sekarang. Aku merasa seolah-olah seperti pemandu wisata pasangan yang sedang berbulan madu. Tapi tak apa. Toh mereka adalah ayah dan ibuku.
Seharian setelah kami berkeliling kota, aku hendak menawarkan makan malam di luar karena sudah jamnya makan malam. Ayah dan ibu berpandangan. Aku tahu.
“ Makan di rumah saja, nak, sekalian bungkus untuk Andy.”, kata ayah.
“ Iya, dia juga pasti belum makan malam.”, ibu menimpali perkataan ayah.
Mereka berdua adalah satu paket. Dua orang satu jiwa. Ayah akan sependapat dengan ibu, begitu juga sebaliknya.
“ Kalau sedang jaga, Andy pulangnya malam yah,bu. Kita makan di luar saja ya.”
Kalaupun dia tidak pulang malam, paling tidak dia akan makan di luar sebelum sampai di rumah. Bahkan meskipun dia tahu, aku sudah menyiapkan makan malam yang kumasak sendiri. Aku tahu itu.
Ayah dan ibu akhirnya hanya mengangguk dan mengalihkan pembicaraan mengenai kemeja yang baru dibeli oleh ayah tadi saat kami berkeliling. Aku hanya tersenyum.
Kami akhirnya makan malam dengan menu sate kambing. Aku bahkan menyaksikan ayah menyeka sisa kuah sate di jari ibu. Dan ibu tertawa kecil sambil menepuk pipi ayah.
Aku dibesarkan sebagai penonton yang setiap hari menyaksikan adegan cinta kasih mereka. Tapi lucunya, bahkan hingga kini aku tetap sebagai penonton. Tak pernah satu adegan pun terjadi dalam hidupku. Mereka tetap selayaknya muda mudi yang baru jatuh cinta sedangkan aku seperti hidup bersama orang asing.
———–
Sesampainya di rumah, aku melihat mobilnya terparkir di halaman. Dia sudah pulang rupanya. Dia bahkan membukakan pintu dan menyambut ayah dan ibuku. Hatiku perih.
Setelah mandi dan bersih-bersih, kami berempat duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Ayah dan dia menonton televisi sambil main catur. Aku dan ibu menonton televisi sambil melihat majalah dan bergosip.
Dia dan ayah tampaknya berbincang akrab mengenai pekerjaannya. Bahkan tertawa dan menceritakan sedikit cerita lucu. Ayah pun tertawa dengan cerita itu. Ibu pun tersenyum. Aku hanya diam. Beberapa tahun yang lalu dia pernah bercerita seperti itu padaku dengan sedikit cerita lucu tapi membuatku tertawa. Tapi kini sudah tidak pernah lagi.
Ibu membolak balik majalah dan menemukan berita tentang liburan ala-ala backpacker.
“ May, sepertinya liburan seperti ini bagus juga ya.” Ibu menunjukan artikel tersebut padaku.
“ Bagus sih bu, seru juga kelihatannya.”
“ Coba deh kamu sama Andy liburan ala backpacker seperti.”, kata ibu sambil membolak balik halaman majalah lainnya.
Aku terdiam. Di sudut ruangan, ayah dan Andy juga terdiam dan menoleh ke arah aku dan ibu.
“ Ya, tidak harus seperti backpacker sesungguhnya, tapi misalnya liburan tidak usah menggunakan tour guide atau agen travel. Datang terus jelajahi sendiri tempat wisatanya.”, ibu menoleh ke arah ayah mencari dukungan.
Aku bahkan bisa melihat ayah terkejut dengan ide ibu. Ayah hanya bergantian menatapku dan ibu.
Secepat itu juga, dia angkat bicara.
“ Iya bu, seru pastinya. Tapi aku dan Maya kan tidak tahu tempat wisata apa saja di sana, nanti bisa-bisa kami tersesat atau malah jadi sasaran kejahatan.”
“Iya juga sih, sebenarnya.” ujar ibu mundur dengan idenya.
Ayah dan dia kembali menekuni permainan catur mereka. Ibu kembali mengoceh mengenai berita lain yang ada di majalah.
Sedangkan aku menatap layar televisi dengan pikiran kosong. Tersesat. Sesaat ketika dia mengucapkan kata-kata itu, aku seperti terbangun dari mimpi panjang, seperti menemukan kata-kata yang tepat yang telah kucari-cari sebelumnya.
Dalam hati aku bergumam, bahkan tanpa liburan ala-ala backpacker sekalipun, aku dan dia telah tersesat. Sangat jauh, malahan. Sayangnya dia belum menyadarinya dan malah tertawa kembali dengan permainan catur bersama ayah.
———–
“ Besok mau jalan kemana sama ayah dan ibu. Aku sudah minta izin untuk tidak ambil jatah jaga hari ini. “, dia memulai percakapan setelah kami masuk ke kamar.
“ Hmmm, belum tahu.”
“ Ke taman buah saja. Kata temanku di sana suasananya menyenangkan, juga bisa petik buah sendiri.”, dia berjalan ke arah lemari pakaian seperti mengambil sesuatu.
Aku hanya diam. Ini adalah topik pembicaraan yang baru. Biasanya setiap malam hanya kami lewati dengan percakapan basa basi yang sama.
Dia berbalik ke arahku menunggu jawaban atas idenya.
“ Aku tidak tahu jalan menuju taman buah itu.”
Dia menatapku bingung.
“ Kita kan bisa menggunakan GPS atau petunjuk lainnya.”, dia mengatakan seolah-olah jawabanku barusan seperti bertanya apakah manusia bernafas dengan paru-paru.
Aku tahu pada akhirnya momen ini akan datang. Cepat atau lambat. Tapi aku tidak menyangka momen ini datang ketika ayah dan ibuku tengah berkunjung.
“Kita sudah tersesat.”, ucapku lirih. Mengucapkan kata-kata tersesat membuat dadaku sakit.
Dia masih sibuk mencari sesuatu dalam lemari.
“ Kita tidak akan tersesat, Maya. Aku juga bisa menanyakan rute perjalanannya pada temanku itu, kalau kamu mau.”
“ Kita sudah tersesat. Tersesat sangat jauh malah. Bukan soal perjalanan ke taman buah itu. Tapi kita berdua. Bahkan aku sendiri tidak tahu ke arah mana jalan pulangnya.”
Aku mengatakannya begitu saja. Seperti sudah kupersiapkan sebelumnya. Padahal tidak.
“ Maya, aku tidak..”
“ Aku juga tidak mengerti awalnya, sampai pembicaraan kita tadi dengan ayah dan ibu. Aku baru menyadari bahwa kita telah tersesat jauh. Jauh sekali mungkin. Saking jauhnya bahkan kita sudah tidak sadar sekarang ada dimana dan bersama dengan siapa. Semuanya terasa asing. ”
Dia hanya diam.
Aku mengatur nafas pelan-pelan.
“ Seperti ada tulang ikan yang tersangkut mengganjal di tenggorokanku. Setiap kali aku makan, minum, menelan ludah bahkan bernafas, tulang ikan itu terus menghalangi, timbul dan tenggelam dan membuatku kesakitan. Seperti itulah aku sekarang. Aku terus bertanya-tanya, apakah aku tetap makan, minum dan bernafas dengan tulang yang ada di tenggorokan itu dan pura-pura melupakan keberadaanya sampai aku terbiasa. Atau aku harus mendorong jari tanganku masuk ke tenggorokan untuk mengambil tulang ikan itu. Sakit sekali pasti awalnya, mungkin aku juga muntah beberapa kali. Tapi begitu tulang ikannya berhasil dikeluarkan, aku bisa makan dan minum tanpa sakit lagi.”, ucapku terisak. Wajahku dipenuhi oleh air mata. Aku tidak menyadari akan mengucapkan kalimat tadi kepadanya.
Dia hanya diam dan masih menghadap ke lemari. Aku bahkan bisa mendengar helaan nafasnya dan detak jam. Kami membisu dalam sunyi.
Aku tahu kemana semua ini akan bermuara. Hanya saja aku ingin sedikit saja berharap. Harapan seperti ketika aku masih kecil dulu. Ketika handphone pertamaku hadiah dari ayah dan ibu rusak dan tidak menyala lagi, padahal aku sangat menyayangi benda itu. Hampir setiap hari aku mencoba menghidupkan dengan berharap benda itu bisa hidup dan mendengar suara khas handphone itu ketika dinyalakan. Tapi setiap kali aku mencoba menghidupkannya, harapan itu langsung pudar. Handphone pertamaku tidak pernah menyala kembali. Tapi aku tetap mencoba menghidupkannya meskipun sebagian diriku tahu benda itu sudah rusak.
Seperti itulah aku kini. Aku tetap mencoba berharap menemukan jalan pulang dengan menyusuri langkah kami sebelumnya, meskipun aku sendiri tahu kemana akhirnya semua ini.
Aku masih terisak. Dan dia masih diam menghadap lemari.
Kemudian dia berjalan ke arah kamar mandi bahkan tanpa menoleh kepadaku seperti yang biasanya dia lakukan setiap malam.