Kabar Pukul Lima

Bersamamu itu sungguh sulit,

Bagaikan menebak kapankah hujan turun di bulan Maret

Atau seperti menerka angka lotere yang menang minggu ini

Tak bisa diprediksi atau ditaksir sama sekali

Seperti hujan badai di siang hari

Tiba-tiba saja berhenti dan tiba-tiba saja hujan kembali

Kadang aku bertanya-tanya, bagaimana bisa aku sekuat ini

Petang kemarin dirimu masih bagaikan pelangi senja di kaki langit

Detik ini kau porak poranda diterjang badai

Minggu ini dirimu masih bicara tak ada yang bisa seindah mentari pagi

Tapi kini dirimu menyalahkan subuh yang terlalu cepat berganti dan pergi

Dirimu adalah teka-teki yang aku pikirkan sepanjang malam

Agar esok kudapat jawabnya

Dirimu adalah persoalan yang meskipun kutahu jawabannya

Tak pernah kupahami cara kerjanya

Dirimu selalu membuatku bertanya-tanya

Kemanakah muara pada akhirnya

Seperti sore ini pukul lima

Dirimu mengabarkanku sebuah berita

Muara yang dulu tak penah tampak dimataku

Akhirnya terasa dekat jua

(1204/19/1/2017)

Tersesat

Aku mendengar suara gemerincing kunci yang dikeluarkan dari saku jaketnya. Aku juga mendengar suara pintu dibuka dan ditutup kembali. Bahkan aku mendengar helaan nafas beratnya sambil melangkah menaiki tangga. Aku memejamkan mata erat-erat seraya mengatur nafas layaknya orang tidur.

Dia membuka pintu kamar.

Aku meringkuk dalam selimut. Dia menghembuskan nafas berat. Dia menyalakan lampu. Aku bangun dari sandiwara tidurku.

“Kapan sampai ?”, ucapku mencoba meregangkan badan.

“Barusan. Maaf membangunkanmu. Tidurlah.”, jawabnya bahkan tanpa memandangku sambil berlalu ke kamar mandi.

Aku hanya menatapnya. Dia terlihat lelah seperti biasanya.

“Ada teh jahe panas di dapur.”

“Tak apa, tidak usah. Tidurlah, Maya.”, suaranya pelan dari kamar mandi.

Aku hanya menatap gantungan jaketnya. Aku mulai gila dengan semua rutinitas percakapan bodoh ini.

——–

Ibuku mempunyai sebuah restoran kecil tak jauh dari rumah di kota kelahiranku. Restoran kecil kami memiliki banyak pelanggan, karena menurut mereka masakan ibuku sangat enak. Aku tak akan berdebat soal itu. Seingatku sejak dahulu, aku selalu berada di restoran kecil kami membantu ibu memotong sayuran, mencuci piring, membersihkan meja dan mengantarkan pesanan.

Ayahku seorang pekerja pabrik kebanyakan. Pagi-pagi sekali ia telah berangkat ke pabrik tempatnya bekerja dan pulang dipenghujung sore. Ayah akan pulang ke restoran kecil kami dan bergabung membantu ibu dan aku. Pukul 9 malam restoran kecil kami tutup dan kami bertiga kembali pulang ke rumah sambil berjalan kaki. Ayah selalu menggenggam tangan ibu dalam perjalanan pulang. Ketika aku masih kecil, ayah menggendongku sambil menggenggam tangan ibu. Ketika aku dewasa kami berjalan bertiga saling bergenggaman tangan.

Maka sebagai anak yang sejak kecil membantu ibunya mengurus restoran kecil kami, aku memiliki sedikit kepandaian memasak dari ibu. Aku terbiasa memasak sendiri. Bahkan hingga sekarang.

Pagi ini aku memasak tumis sayur dan daging cincang serta roti bakar. Maka sebelum matahari terbit, aku telah sibuk di dapur. Bahkan ketika dia belum bangun. Sebagian hatiku mengatakan, semangat memasakku hari ini karena ingin menghindari percakapan bangun tidur denganya. Tentu saja, ini adalah hari minggu dan aku tidak punya alasan untuk menghindar darinya.

Aku sudah selesai memasak dan tinggal merapikan dapur sedikit lagi. Aku mendengar bunyi suara air dari kamar mandi. Dia sudah bangun. Aku tahu dia sudah bangun semenjak aku berada di dapu. Tapi dia tidur lagi. Atau mungkin pura-pura tidur lagi.

Aku tidak akan repot-repot memanggilnya dan mengatakan bahwa sarapan sudah siap. Dia pasti tahu.

——-

“ Sarapannya enak sekali. Kamu harusnya buka restoran seperti ibu.”, ucapnya sambil menyendok daging cincang dari piring.

Aku sudah mendengar itu ribuan kali. Aku menjawab dengan jawaban yang telah kuberikan ribuan kali pula.

“Aku tidak seberbakat itu.”, ucapku sambil meringis.

Dia hanya tersenyum.

Makan bersama dengannya selalu berakhir seperti ini. Kami berdua kehilangan topik pembicaraan dan akhirnya mencoba menghabiskan makanan dalam diam berharap dapat memasukan sekaligus semua makanan ke dalam tenggorokan dan pergi.

Dua puluh menit berikutnya berlalu dalam diam.

Setelah menghabiskan makananku, aku beranjak ke dapur. Mencari kesibukan disana.

“Kemaren aku bertemu Risa, teman sekotamu. Dia menyampaikan salam.”

“Oh iya, tolong sampaikan salam kembali untuknya.”, ucapku sambil mencuci piring.

Dia beranjak ke dapur dan meletakan piring di sampingku.

“Tinggalkan saja, biar aku yang cuci.”, ucapku.

“Terima kasih.”

Dia mengambil lap dan membersihkan meja makan. Bahkan dalam keadaan memunggunginya pun aku bisa melihat gerakannya. Dia ingin mengatakan sesuatu padaku. Lalu, dia berbalik menatapku.

“ Hari ini aku dapat tugas jaga.” Dia berhenti sebentar untuk melihat reaksiku.

Aku tahu kalau aku diam, dia akan diam. Maka aku bersuara.

“ Tak apa, pergilah. Biar aku saja yang menjemput ayah dan ibu.”

“Terima kasih banyak, Maya.”

Dan dia pun berlalu.

———

Aku selalu bisa menemukan ayah dan ibuku bahkan ditengah keramaian sekalipun. Apabila mereka tengah berdua, seolah-olah ada sesuatu yang mengelilingi mereka sehingga aku tahu keberadaannya. Begitu juga sekarang. Aku menunggu di pintu kedatangan bersama dengan penjemput lainnya. Ini hari minggu yang sangat ramai.

Setiap kali aku melihat ayah dan ibuku bersama, selalu ada perasaan hangat yang tidak bisa dijelaskan. Kemudian berubah menjadi getir. Hangat karena mereka berdua tidak pernah berubah. Dari dulu hingga sekarang. Cara ayah menatap ibu, menggenggam tangan ibu dan cara ibu menatap ayah dan tersenyum dengan sesekali menimpali cerita ayah tidak pernah berubah. Aku selalu tersihir menyaksikan pemandangan itu. Dari dulu bahkan hingga sekarang. Begitu juga detik ini. Aku menyaksikan ayah menenteng tas dan menggenggam tangan ibu sambil bercerita tentang sesuatu. Dan aku menyaksikan bagaimana ibu menatap ayah dengan lembut mendengarkan ceritanya sambil menggenggam tangan ayah. Bahkan di tengah keramaian seperti ini. Mereka selalu terlihat memiliki ruang pribadi sendiri.

Getir ketika aku sadar mungkin aku akan pernah bisa seperti ibu dan ayah.

Mataku bertemu pandang dengan mereka. Senyum ayah dan ibu yang dari dulu tidak pernah berubah, merekah. Tapi hanya dua detik. Detik ketiga senyum itu seolah hendak surut, tapi tetap dipaksakan. Aku tahu kenapa. Karena dia tidak ada.

—–

“Andy tidak bisa ikut menjemput ayah dan ibu. Dia ada tugas jaga.” Aku mengamati reaksi wajah mereka. Ayah dan ibu tetap tersenyum.

“Tak apa, nanti kita juga akan bertemu di rumah.”, kata ayah sambil memelukku.

Hatiku sesak. Kapan aku bisa bertemu dengan orang seperti ayah.

“Kamu terlihat kurus, May.”, ibu tersenyum sambil cemberut memegang pipiku.

“Ini sedang trend bu, kurus seperti model.”, jawabku sambil bergantian memeluk ibu.

Ayah dan ibu tertawa bersamaan. Bahkan aku pun tahu maksud dari tawa itu.

——–

Aku membawa ayah dan ibu keliling kota tempat aku tinggal sekarang.  Aku merasa seolah-olah seperti pemandu wisata pasangan yang sedang berbulan madu. Tapi tak apa. Toh mereka adalah ayah dan ibuku.

Seharian setelah kami berkeliling kota, aku hendak menawarkan makan malam di luar karena sudah jamnya makan malam. Ayah dan ibu berpandangan. Aku tahu.

“ Makan di rumah saja, nak, sekalian bungkus untuk Andy.”, kata ayah.

“ Iya, dia juga pasti belum makan malam.”, ibu menimpali perkataan ayah.

Mereka berdua adalah satu paket. Dua orang satu jiwa. Ayah akan sependapat dengan ibu, begitu juga sebaliknya.

“ Kalau sedang jaga, Andy pulangnya malam yah,bu. Kita makan di luar saja ya.”

Kalaupun dia tidak pulang malam, paling tidak dia akan makan di luar sebelum sampai di rumah. Bahkan meskipun dia tahu, aku sudah menyiapkan makan malam yang kumasak sendiri. Aku tahu itu.

Ayah dan ibu akhirnya hanya mengangguk dan mengalihkan pembicaraan mengenai kemeja yang baru dibeli oleh ayah tadi saat kami berkeliling. Aku hanya tersenyum.

Kami akhirnya makan malam dengan menu sate kambing. Aku bahkan menyaksikan ayah menyeka sisa kuah sate di jari ibu. Dan ibu tertawa kecil sambil menepuk pipi ayah.

Aku dibesarkan sebagai penonton yang setiap hari menyaksikan adegan cinta kasih mereka. Tapi lucunya, bahkan hingga kini aku tetap sebagai penonton. Tak pernah satu adegan pun terjadi dalam hidupku. Mereka tetap selayaknya muda mudi yang baru jatuh cinta sedangkan aku seperti hidup bersama orang asing.

———–

Sesampainya di rumah, aku melihat mobilnya terparkir di halaman. Dia sudah pulang rupanya. Dia bahkan membukakan pintu dan menyambut ayah dan ibuku. Hatiku perih.

Setelah mandi dan bersih-bersih, kami berempat duduk di ruang tengah sambil menonton televisi. Ayah dan dia menonton televisi sambil main catur. Aku dan ibu menonton televisi sambil melihat majalah dan bergosip.

Dia dan ayah tampaknya berbincang akrab mengenai pekerjaannya. Bahkan tertawa dan menceritakan sedikit cerita lucu. Ayah pun tertawa dengan cerita itu. Ibu pun tersenyum. Aku hanya diam. Beberapa tahun yang lalu dia pernah bercerita seperti itu padaku dengan sedikit cerita lucu tapi membuatku tertawa. Tapi kini sudah tidak pernah lagi.

Ibu membolak balik majalah dan menemukan berita tentang liburan ala-ala backpacker.

“ May, sepertinya liburan seperti ini bagus juga ya.” Ibu menunjukan artikel tersebut padaku.

“ Bagus sih bu, seru juga kelihatannya.”

“ Coba deh kamu sama Andy liburan ala backpacker seperti.”, kata ibu sambil membolak balik halaman majalah lainnya.

Aku terdiam. Di sudut ruangan, ayah dan Andy juga terdiam dan menoleh ke arah aku dan ibu.

“ Ya, tidak harus seperti backpacker sesungguhnya, tapi misalnya liburan tidak usah menggunakan tour guide atau agen travel. Datang terus jelajahi sendiri tempat wisatanya.”, ibu menoleh ke arah ayah mencari dukungan.

Aku bahkan bisa melihat ayah terkejut dengan ide ibu. Ayah hanya bergantian menatapku dan ibu.

Secepat itu juga, dia angkat bicara.

“ Iya bu, seru pastinya. Tapi aku dan Maya kan tidak tahu tempat wisata apa saja di sana, nanti bisa-bisa kami tersesat atau malah jadi sasaran kejahatan.”

“Iya juga sih, sebenarnya.” ujar ibu mundur dengan idenya.

Ayah dan dia kembali menekuni permainan catur mereka. Ibu kembali mengoceh mengenai berita lain yang ada di majalah.

Sedangkan aku menatap layar televisi dengan pikiran kosong. Tersesat. Sesaat ketika dia mengucapkan kata-kata itu, aku seperti terbangun dari mimpi panjang, seperti menemukan kata-kata yang tepat yang telah kucari-cari sebelumnya.

Dalam hati aku bergumam, bahkan tanpa liburan ala-ala backpacker sekalipun, aku dan dia telah tersesat. Sangat jauh, malahan. Sayangnya dia belum menyadarinya dan malah tertawa kembali dengan permainan catur bersama ayah.

———–

“ Besok mau jalan kemana sama ayah dan ibu. Aku sudah minta izin untuk tidak ambil jatah jaga hari ini. “, dia memulai percakapan setelah kami masuk ke kamar.

“ Hmmm, belum tahu.”

“ Ke taman buah saja. Kata temanku di sana suasananya menyenangkan, juga bisa petik buah sendiri.”, dia berjalan ke arah lemari pakaian seperti mengambil sesuatu.

Aku hanya diam. Ini adalah topik pembicaraan yang baru. Biasanya setiap malam hanya kami lewati dengan percakapan basa basi yang sama.

Dia berbalik ke arahku menunggu jawaban atas idenya.

“ Aku tidak tahu jalan menuju taman buah itu.”

Dia menatapku bingung.

“ Kita kan bisa menggunakan GPS atau petunjuk lainnya.”, dia mengatakan seolah-olah jawabanku barusan seperti bertanya apakah manusia bernafas dengan paru-paru.

Aku tahu pada akhirnya momen ini akan datang. Cepat atau lambat. Tapi aku tidak menyangka momen ini datang ketika ayah dan ibuku tengah berkunjung.

“Kita sudah tersesat.”, ucapku lirih. Mengucapkan kata-kata tersesat membuat dadaku sakit.

Dia masih sibuk mencari sesuatu dalam lemari.

“ Kita tidak akan tersesat, Maya. Aku juga bisa menanyakan rute perjalanannya pada temanku itu, kalau kamu mau.”

“ Kita sudah tersesat. Tersesat sangat jauh malah. Bukan soal perjalanan ke taman buah itu. Tapi kita berdua. Bahkan aku sendiri tidak tahu ke arah mana jalan pulangnya.”

Aku mengatakannya begitu saja. Seperti sudah kupersiapkan sebelumnya. Padahal tidak.

“ Maya, aku tidak..”

“ Aku juga tidak mengerti awalnya, sampai pembicaraan kita tadi dengan ayah dan ibu. Aku baru menyadari bahwa kita telah tersesat jauh. Jauh sekali mungkin. Saking jauhnya bahkan kita sudah tidak sadar sekarang ada dimana dan bersama dengan siapa. Semuanya terasa asing. ”

Dia hanya diam.

Aku mengatur nafas pelan-pelan.

“ Seperti ada tulang ikan yang tersangkut mengganjal di tenggorokanku. Setiap kali aku makan, minum, menelan ludah bahkan bernafas, tulang ikan itu terus menghalangi, timbul dan tenggelam dan membuatku kesakitan. Seperti itulah aku sekarang. Aku terus bertanya-tanya, apakah aku tetap makan, minum dan bernafas dengan tulang yang ada di tenggorokan itu dan pura-pura melupakan keberadaanya sampai aku terbiasa. Atau aku harus mendorong jari tanganku masuk ke tenggorokan untuk mengambil tulang ikan itu. Sakit sekali pasti awalnya, mungkin aku juga muntah beberapa kali. Tapi begitu tulang ikannya berhasil dikeluarkan, aku bisa makan dan minum tanpa sakit lagi.”, ucapku terisak. Wajahku dipenuhi oleh air mata. Aku tidak menyadari akan mengucapkan kalimat tadi kepadanya.

Dia hanya diam dan masih menghadap ke lemari. Aku bahkan bisa mendengar helaan nafasnya dan detak jam. Kami membisu dalam sunyi.

Aku tahu kemana semua ini akan bermuara. Hanya saja aku ingin sedikit saja berharap. Harapan seperti ketika aku masih kecil dulu. Ketika handphone pertamaku hadiah dari ayah dan ibu rusak dan tidak menyala lagi, padahal aku sangat menyayangi benda itu. Hampir setiap hari aku mencoba menghidupkan dengan berharap benda itu bisa hidup dan mendengar suara khas handphone itu ketika dinyalakan. Tapi setiap kali aku mencoba menghidupkannya, harapan itu langsung pudar. Handphone pertamaku tidak pernah menyala kembali. Tapi aku tetap mencoba menghidupkannya meskipun sebagian diriku tahu benda itu sudah rusak.

Seperti itulah aku kini. Aku tetap mencoba berharap menemukan jalan pulang dengan menyusuri langkah kami sebelumnya, meskipun aku sendiri tahu kemana akhirnya semua ini.

Aku masih terisak. Dan dia masih diam menghadap lemari.

Kemudian dia berjalan ke arah kamar mandi bahkan tanpa menoleh kepadaku seperti yang biasanya dia lakukan setiap malam.

 

 

Untuk Inikah Aku Mati

Ada keheningan dalam tawa

Ada kesakitan dalam kebahagiaan

Ada harapan dalam sebuah pengorbanan

Dan ada pengorbanan dalam sebuah perjuangan

Untuk inikah aku mati ?

Hanya untuk melihat mulut – mulut

Menganga kelaparan

Untuk inikah aku mati ?

Hanya menyaksikan tangan – tangan

Nista mengoyak bangsa

Untuk inikah aku mati ?

Hanya menyambung tali

Harapan asa sebuah dusta

Untuk inikah aku mati ?

Hnya untuk mendengar

Jerit pilu tertahan dibalik jeruji dosa

Untuk inikah aku mati ?

Hanya untuk menutup mata

Dari semua ketidakadilan yang terjadi

Dan….

Hanya untuk menutup telinga

Dari jerit tertahan mereka yang melarat

Untuk inikah aku mati ?

Hanya untuk membiarkan mereka dipimpin

Oleh orang – orang bermata dunia

Sungguh….

Sungguh terlalu begitu sia – sia

Aku mati…

Hanya untuk membiarkan tanahku

Tenggelam perlahan demi perlahan

(17/06/2010)

Di Depan Sebuah Langkah

 

Didepan sebuah langkah

Aku terhenyak..

Aku tersadar

Aku berfikir

Tiga tahun yang lalu

Aku masih disini

Mengejar mimpi

Dan membuat puisi

Aku masih belajar

Aku masih tertawa

Aku masih berduka

Dan aku masih tetap disini

Didepan sebuah langkah

Aku terbangun

Dari tidur panjangku

Betapa dulu tak pernah kupikirkan ini

Betapa dulu tak pernah kurindukan ini

Ku ingat…

Mana ada guru semulia itu

Mana ada pahlawan sekuat itu

Mana ada duka cita seindah itu

Kawan…

Didepan sebuah langkah

Aku kembali mengingat

Sekolahku yang buruk

Sekolahku yang tua

Namun sekolah ku tetap paling indah

Aku kembali tersenyum

Mana ada guru sebaik itu

Mana ada guru sesayang itu

Mana guru yang bisa menjadi teman bercerita bagi muruidnya

Mana ada guru yang tak memarahi muridnya disaat guru lain marah

Mana ada guru yang mengerti kesulitan ekonomi muridnya

Mana ada guru yang bertanya “ Kenapa nilaimu rendah “

Mana ada ?

Tapi kutemukan disini

Dan mana ada guru yang rela menghabiskan

Waktunya disekolah sejak jam 7 hingga 6 gore

Mana ada guru sebagai tempat mengadu

Didepan sebuah langkah

Aku rindu

Aku sungguh rindu

Aku rindu di razia lagi

Aku rindu disuruh shlat

Aku rindu disuruh qultum

Aku sungguhrindu semua itu

Entah apa aku bisa menemukan

Kembali disekolah baruku nanti

Didepan sebuah langkah

Aku menangis

Pilu rasanya harus pergi

Mana ada kepala sekolah

Yang menguji kandungan al-quran pada muridnya

Mana ada kepala sekolah yang selalu

Bercerita tentang kisah teladan para nabi

Mana ada kepala sekolah yang enak diajak diskusi

Mana ada kepala sekolah yang mau memunguti sampah

Mana ada kepala kepala sekolah

Yang slalu mengingatkan waktu shalat sudah masuk

Mana ada ?

Dan hanya ada di sekolahku

Didepan sebuah langkah

Seakan memori keindahan itu

Kembali terbuka

Didepan sebuah langkah

Aku benar – benar rindu

Aku…rasanya tak ingin pergi

Entah, disekolah baruku nanti kan kutemukankan

Penawar rindu itu

Di depan sebuah langkah

Kututup semua kisah bahagia terindah

Lalu kusimpan disingsana hati

Yang kelak kan ku buka kembali

Suatu saat nanti

Didepan sebuah langkah

Aku siap untuk melangkah

( untuk guru – guru SMP-ku SMP Negeri 5 Batusangkar yang mendidikku dengan segenap cinta dan kasih sayang, yang takan pernah kutemui ditempat lain…TERIMA KASIH GURUKU..)

Doa Dari Seorang Hamba

Yaa Rabb

Di depan Multazam-Mu ,aku hambamu yang hina

merangkai pengharapan mengharapkan cinta-Mu

Yaa Rabb yang merajai langit dan bumi

pemilik kerajaan Illahi,,

Ini didetik terakhirku di rumah-Mu

di Baitullah-Mu yang penuh dengan keagungan..

Panggil hambamu ini kembali dalam dekapan-Mu lagi

panggil hambamu ini kembali dalam gelimangan cinta dan kasih-Mu

Yaa Rabb letakkanlah cintaku pada-Mu di atas segala – galanya

bagaikan cinta Nabi Ibrahim yang tiada banding kepada Engkau

Yaa Allah, jadikanlah hambamu ini sebagai hamba yang senantiasa mencintai dan merindukan Engkau

dan jadikanlah hamba sebagai hambamu yang senantiasa Engkau cintai dan engakau rindukan,

Yaa Allah, Dzat Yang Maha Esa

dimana Nyawaku dalam genggaman-Mu

ketika pertama sekali hamba melayangkan mata nista ini ke Baitullah-Mu

ada rasa yang tak terlukiskan..

ada kegembiraan, karena rasanya Engkau tersenyum padaku dari Arsy-Mu

Yaa Rabb,,,Yang Cinta-Mu tiada pernah tertakar,,

kerena begitu agungnya Baitullah-Mu, hati ini

berat melangkahkan kaki untuk pulang

Aku ingin tetap disini..

panggillah aku kembali Yaa Rabb..

Ternyata

Dulu aku pikir hati dan otak manusia sejalan.

Tapi ternyata tidak begitu adanya.

Seringnya hati dan otak bak sedang bertarung.

Dulu aku pikir semua akan terasa luar biasa pada saat pertama.

Tapi ternyata untuk beberapa hal tidak.

Meskipun itu terjadi berulang kali bahkan ribuan kali, rasanya akan tetap sama.

Itulah perpisahan.

Dulu aku pikir berpisah untuk pertama kali sangat menyakitkan, tapi tidak untuk seterusnya.

Tapi ternyata tidak, rasa sakitnya sama saja.

Dulu aku berpikir akan terbiasa dengan rasa hampa perpisahan.

Tapi ternyata tidak, serasa ada lubang besar menganga di dada.

Dihembus angin setiap waktu, mengering juga, tapi sakitnya tetap sama

Dulu aku berpikir bertahan setelah perpisahan itu terasa berat hanya saat pertama

Tapi ternyata tidak juga

Aku kerap hampir rubuh bahkan rubuh dan bangkit kemudian rubuh lagi

Berdiri kembali, memapah hati dan menggertakan gigi

Tapi hatiku berderai juga

Dulu aku pikir cinta itu seperti kembang api

Mulanya terkejut, terpana, terpesona, semarak indahnya namun lama-lama gelap juga

Tapi ternyata tidak juga

Rasanya malah seperti menaiki ayunan

Awalnya takut, penasaran, cemas sebelum naik ayunan

Kemudian membuncah perasaan gembira ketika telah diayunkan

Cemas kembali ketika ayunan terlalu tinggi

Bahagia kembali ketika ayunan membuatmu berseri

Lalu cemas kembali ketika hendak berhenti

Seberapa sering pun menaiki ayunan, rasanya tetap begitu

Tetap sama,

Dulu aku pikir cinta itu seperti makan manisan

Indah awalnya, lama kelamaan begah juga

Tapi ternyata tidak juga

Cinta itu seperti makanan pedas kesukaan

Pedas awalnya, tapi tetap nikmat terasa,

 

Esok tetap akan dimakan juga

Dulu aku pikir cinta itu kekal selamanya

Tapi ternyata tidak juga

Banyak orang dengan cinta yang fana

 

Diantara Pagi dan Malam

Aku masih duduk membayangkan senja

Bahkan ketika malam dan bulan bicara

Sesudahnya, aku memandangi malam

Ketika pagi menyisir kelam

Diperempatan jalan aku berkata

Apakah kau masih terasa jauh disana ?

Tapi hanya lalu lalang kendaraan yang ada

Mereka ada dimana ?

Kawan kita yang dulu sama-sama meneguk lara,

Mengaungkan tawa

Tapi diam ketika ditanya.

Akhirnya aku kembali duduk membayangkan senja

Diantara pagi dan malam

Apakah kau masih terasa jauh disana ?

 

Ketika Aku Pulang (1)

Aku paling benci ketika disuruh pulang ke rumah. Aku juga benci ketika Hari Raya datang dan seminggu sebelumnya aku ditelpon Mba Nah dan Rukmi untuk pulang.

Aku paling benci ketika disuruh pulang ke rumah. Aku juga benci ketika Hari Raya datang dan seminggu sebelumnya aku ditelpon Mba Nah dan Rukmi untuk pulang. Berkali-kali aku katakan kalau aku sibuk, libur Hari Raya yang hanya seminggu tak lebih hanya buang-buang tenaga dan waktu saja jika harus pulang. Tapi akhirnya aku akan kehabisan alasan dan Mba Nah akan berteriak di telpon padaku dengan memberi ancaman. “Kalau kamu tidak pulang, usah saja kamu datang ke kuburanku esok kalau aku meninggal !”Kurang lebih begitulah ancaman yang hampir tiga tahun terakhir ini aku dengar. Akhirnya mau tidak mau aku menuruti kemauan kakak tertuaku itu.

Maka ketika bulan ini adalah dua bulan menjelang Hari Raya, aku sudah was-was. Aku berusaha mencari alasan lagi, bagaimana agar tahun ini tidak pulang. Rumahku dan tempat aku bekerja sekarang berlainan provinsi, namun bukan berarti jauh sekali. Sebenarnya ada banyak transportasi umum yang akan mengantarku menuju rumah jika aku mau, seperti kereta api dari yang ekonomi ac hingga kelas bisnis, pesawat pun juga begitu, apalagi kalau bus, tak terhitung jumlahnya. Tapi aku memang benci pulang, makanya jarak dari tempatku sekarang ke rumah bagai mengarungi benua yang luas.

Aku tidak tahu kenapa perantau seperti diriku benci sekali untuk pulang kerumah. Di negeri ini berita arus mudik ketika Hari Raya disiarkan oleh seluruh televisi dengan mengerahkan segenap kru mereka untuk meliput bagaimana orang-orang yang ingin kembali ke rumahnya. Berbagai perusahaan menawarkan jasa mudik gratis dan lain-lain. Sedangkan aku, hanya berharap Hari Raya datang lima tahun sekali agar tiap tahun aku tidak harus pulang ke rumah. Aku tidak harus repot menjaga tensi setiap kali di rumah yang akhirnya toh juga gagal dengan hengkangnya aku dari rumah tidak lebih dari 2 hari setelah Hari Raya. Begitu berulang setiap tahun. Kalau sudah begitu Mba Nah akan menangis sejadi jadinya ditelpon memohon agar aku kembali ke rumah. Tapi terlambat aku sudah di pesawat menuju kota tempatku bekerja.

Aku juga sebenarnya paling senang kalau diberikan tugas kerja saat Hari Raya. Tapi masalah pertama, Hari Raya termasuk sebagai cuti bersama Nasional yang artinya semua orang tanpa kecuali akan libur. Masalah kedua, ketika aku mengajukan diri misalnya untuk mengerjakan tugas kerja saat libur Hari Raya, orang-orang pastinya akan curiga padaku. Aku bahkan telah membayangkan Manajerku, Ibu Lita, akan menaikan alisnya yang disulam dengan sangat sempurna di salon khusus sulam alis langganan para artis, dengan mata menyelidik bertanya “Kamu kenapa gak pulang Rum ?” atau “ Kamu gak ngerayaain Hari Raya di rumah?”. Maka untuk menghindari rentetan pertanyaan yang tidak ada habisnya dari manajerku itu, aku mengurungkan niat untuk mengusulkan diri bekerja pada cuti Hari Raya.

Pernah dulu sewaktu tahun pertama aku bekerja di kota ini, aku bertekad untuk tidak pulang. Seminggu telepon dari Mba Nah aku abaikan. HP bahkan tidak aku hidupkan sama sekali. Aku bahkan telah menyusun rencana untuk liburan ke tempat wisata yang telah aku lunasi paket liburan tersebut kepada biro perjalanan.Tapi harusnya dari dulu aku tidak boleh meremehkan kepala besinya Mba Nah. Dua hari sebelum Hari Raya dia datang dengan suaminya Mas Totok membawa mobil sendiri. Bayangkan Mbaku, Mba Nah saat itu tengah hamil tua datang mengendarai mobil hanya bedua dengan suaminya menuju kota tempatku bekerja, menghabiskan waktu 16 jam di atas mobil. Dan dia sedang hamil tua. Aku tidak tau apa yang dia lakukan untuk memaksa suaminya sehingga mau mengantarkan dirinya ke tempatku. Sesampainya di rumah kontrakanku, waktu itu hampir jam 2 pagi, dia berteriak kesetanan.

Sebagai anak sulung, dari kecil dialah yang bertugas mengawasi kami bertiga adik-adiknya. Sehingga suaranya, maupun teriakannya aku hafal seperti menghafal lagu alif baa ta sewaktu ngaji di masjid dulu. Aku langsung terperanjat dari tidur. Masih tidak percaya jam 2 dini hari aku mendengar suara teriakan Mba Nah di depan pintu kontrakanku, yang biasanya hanya kudengar lewat telepon saja. Sempoyongan aku keluar, dalam hati sedikit takut, jangan-jangan aku hanya berkhayal atau bermimpi karena telah seminggu ini mengabaikan telepon darinya. Ketika aku pelan-pelan membuka pintu, munculah wajah Mbakku yang ayu tapi pucat karena kelehan berkendara selama 16 jam dengan perut buncit yang besar. Disampingnya berdiri Mas Totok suaminya, sambil memegang siku tangan mbaku. Aku terperangah.Jujur yang pertama kali aku lihat setelah itu adalah kakinya, apakah menginjak lantai atau tidak. Karena sewaktu kecil aku pernah dengar cerita, kalau hantu bisa bertransformasi menjadi rupa manusia yang masih hidup tapi kakinya tidak menyentuh bumi. Dan untungnya kaki Mba Nah dan Ma Totok menginjak lantai.

Aku tahu Mba Nah dalam kondisi selelah apapun dia akan tetap menjalankan misi utamanya juah-jauh menemuiku yaitu memuntahkan amarahnya. Aku sudah siap seperti kambing yang siap disembelih.

“Arum, kamu memang ingin aku mati dijalan menemui mu haah!”

“Tak kamu liatkah aku hamil tua, duduk saja susah, jalan susah. Kamu nunggu sampai aku menjemputmu kesini !”

Persis Mba Nah.Setiap kali aku dimarahi oleh Mba Nah aku selalu merasa kembali menjadi bocah berusia 8 tahun yang tidak mau menimba air atau mengangkat jemuran. Teriakan dan omelannya selalu sama. Tidak pernah berubah meskipun aku bukan Arum yang berusia 8 tahun lagi.

Aku hanya menatap wajah Mba Nah yang kepayahan dan kelelahan dengan datar. Percuma berdebat dengan Mba Nah, dia selalu punya cara untuk menang melawan adik-adiknya. Nafasnya tersengal-sengal. Mas Totok panik.

“Udah dek, mbok ya duduk dulu baru ngomong toh.”, ucap Mas Totok seraya mengarahkan mba nah untuk duduk di kursi halaman rumahku.

Mba Nah mematung. Dia diam tidak mau disuruh duduk. Kadang sesekali aku berpikir kenapa Mas Totok bisa jatuh cinta dan tahan dengan wanita keras kepala seperti Mba Nah. Meskipun aku sendiri sudah tahu jawabannya. Dibalik sifat mbaku yang tegas, atau galak tepatnya, dia adalah bunga di rumah. Yang paling cantik, paling pintar, paling bertanggung jawab, paling bisa diandalkan dan sebenarnya sangat penyayang pada adik-adiknya. Bahkan dulu sewaktu zaman SMP dan SMA banyak sekali yang nitip surat cinta untuk Mba Nah lewat aku atau adiku Rukmi.

(bersambung)