KITA PADA RAMADHAN : IBADAH ATAU MUDIK LEBARAN ? (Sebuah Refleksi Diri)

 

ied

(Gambar Kredit: www.printerous.com)

Sebagai seorang anak rantau kalau boleh bicara jujur, momen lebaran atau Idul Fitri adalah momen yang paling sangat saya nanti-nantikankan dalam setahun. Bahkan sesumbar saya pernah bergurau sewaktu masih merantau di Kota Semarang, bahwa saya hidup dari lebaran tahun ini untuk menunggu lebaran tahun depan, begitu seterusnya. Singkatnya, dalam setahun saya akan menantikan momen lebaran dan manakala momen itu telah berlalu, maka saya akan kembali mengulangi penantian lebaran di tahun mendatang. Intinya hanya agar bisa mudik pulang kampung. Dan saya yakin, bukan hanya saya seorang saja perantau yang menganut mahzab ini.

Tapi apabila ditelisik lebih jauh, sebenarnya perkara mengenai lebaran dan mudik memang sudah mendarah daging menjadi budaya nusantara. Luasnya wilayah nusantara menjadi satu dari berbagai alasan migrasi penduduk dari satu wilayah ke wilayah tertentu. Dan lebaran adalah momen paling puncak untuk kembali pulang ke kampung halaman setelah jauh pergi merantau, libur lebaran menjadi salah satu libur tahunan yang cukup panjang. Atau setidaknya bagi saya sebagai perantau. Bagi yang tidak jauh-jauh merantau atau tidak meninggalkan kampung halaman sama sekalipun, momen lebaran tidak lantas tidak berarti apa-apa. Bersilaturahmi dengan sanak saudara dan handai taulan juga salah satu agenda favorit dari momen lebaran.

Saya bukan seorang sosiolog, namun dalam kacamata saya yang masih awam, momen lebaran adalah puncak pencapaian tertinggi dalam periode tahunan bagi masyarakat kita. Bagaimana tidak ? Baju dan sepatu baru minimal satu kali setahun adalah pada saat lebaran, kue-kue beraneka ragam memenuhi toples dan kaleng di rumah dengan bentuk berupa-rupa mulai dari kotak, bulat, persegi, dengan varian rasa bermacam-macam pula, hanya ada pada momen lebaran. Tidak ketinggalan, salam tempel atau lebih populet dikenal dengan THR (tunjangan hari raya) dari sanak kerabat, yang terjadi paling kurang juga pada saat lebaran.

Bahkan kalau di kampung saya, orang-orang tidak hanya mempersolek diri menyambut lebaran namun juga rumah meraka. Mengecat rumah paling kurang sekali setahun menjelang lebaran, membeli kursi dan perabotan baru karena menyambut lebaran, mengganti sarung bantal, gorden, karpet, piring bahkan gelas untuk menyambut lebaran. Kesimpulannya adalah lebaran adalah momen paling agung yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya dan dirayakan dengan suka cita tiada tara.

Sebuah artikel menarik saya baca pada portal berita online yaitu www.tirto.id yang berjudul “Pencarian Terbanyak Google saat Ramadan, Urusan Ibadah atau Mudik?” sepertinya juga menganggukan kepala dengan pengamatan kecil-kecilan saya di atas. Mengutip dari artikel di atas menyatakan:

Google Indonesia, dalam paparan berjudul “Tren dan Insight: Perilaku Digital Masyarakat Indonesia Selama Ramadan” memaparkan dalam tiga kali periode Ramadan, antara 2015, 2016, dan 2017, kata kunci “Al Quran” hanya sekali menduduki peringkat pertama pencarian di Google pada Ramadan 2016. Sedangkan pada 2015 dan 2017 kata kunci terbanyak justru berkorelasi dengan kepentingan tradisi mudik yaitu “Tiket Kereta Api”. Data dari Google Trend menyebut, pencarian dengan kata kunci “Tiket Kereta Api” di Ramadan 2017 berada di titik tertinggi pencarian pada 13 Juni, awal pekan ke-4 Ramadan, alias jelang Lebaran. Masih dalam paparan Google Indonesia, pencarian bertema “promo belanja” meningkat hingga 40 persen dibandingkan bulan-bulan lainnya. Promo-promo belanja yang dicari, secara berurutan, yakni: retail, travel, gawai, e-commerce, dan kartu kredit.”

Fakta kecil di atas awalnya membuat kita berkerut kening. “Masa sih ?”,  “Enggak lah, biasa saja kok”, “Wajarlah, kan lebaran”  adalah pembelaan pertama dari kebanyakan kita. Namun, detik berikutnya kita menyadari bahwa lebaran membutuhkan biaya besar di negeri ini. Biaya mudik, biaya pakaian baru, biaya kue dan makanan, biaya perabotan dan biaya perlengkapan lainnya yang jumlahnya tentu saja tidak sedikit.

Konsekuensi logis dari biaya yang tak sedikit inilah yang juga memicu angka kriminalitas juga meningkat menjelang lebaran. Sebagaimana halnya teori perpindahan penduduk yang pesat ke kota besar akan memicu tingginya angka kriminalitas di kota besar akibat persaingan pekerjaan, tingginya “ongkos” lebaran juga turut menjadi katalisator kriminalitas menjelang momen kembali ke fitrah saat lebaran. Berita maling motor, maling hewan ternak, copet, hingga rampok yang menerobos rumah-rumah, bukan berita yang tak aneh lagi. Kriminalitas tersebut adalah fenomena menjelang lebaran. Ketika ditanya mengapa melakukan perbuatan yang justru berdosa di Bulan Suci, jawabannya tak lain tak bukan adalah butuh biaya untuk lebaran, butuh biaya untuk mudik dan jawaban serupa lainnya.

Saya yakin sebagian orang tidak mungkin tidak setuju. Akan tetapi, hasil paparan sebagaimana di atas banyak sedikitnya menjadi cerminan perilaku kebanyakan kita dalam menghadapi lebaran. Tak dapat dibantah karena memang begitulah adanya, termasuk saya sendiri pun juga berperilaku demikian. Meskipun tidak tertutup kemungkinan terdapat pula orang-orang yang menyambut lebaran dengan lebih damai dari perilaku orang kebanyakan.

Fenomena di atas tentunya menjadi tanda tanya bagi kita semua. Mengapa pada Bulan nan Suci yang dijanjikan pahala berlipat ganda justru mendorong sebagian orang-orang kehilangan akal sehatnya dan malah bermaksiat ? Mengapa momen lebaran justru menjadi ajang “pertaruhan kebanggaan” bagi kita semua ?

Tulisan ini sama sekali tidak untuk mencela atau merendahkan Bulan Ramadhan dan momen kemenangan pada Idul Fitri. Namun lebih pada bentuk kegelisahan terhadap diri sendiri.

Umat Islam diseluruh dunia pun sangat paham betul bahwa Ramadhan adalah bulan yang sangat spesial. Bahkan dari ceramah yang saya dengar (baca:Ustad Adi Hidayat), Baginda Rasulullah SAW begitu luar biasa dalam mempersiapkan diri memasuki Bulan Ramadhan. Satu bulan menjelang Bulan Ramadhan, Baginda Rasulullah SAW telah berlatih puasa, agar nantinya kurang lebih 30 hari puasa Ramadhan dapat dilalui dengan lancar, penuh keimanan dan sempurna. Pun dengan ibadah lainnya.

Mengapa demikian ? Karena hadiah yang dijanjikan Allah SWT bagi hambanya yang lulus ujian puasa Ramadhan adalah terlahir kembali sebagaimana fitrahnya seorang bayi yang lahir kedunia, tanpa dosa. Semua dosa diampuni oleh Allah SWT. Tentu saja ibarat perlombaan, tak semua orang bisa mendapatkan hadiah utama. Hanya insan pilihanlah yang akan mendapatkan titel tersebut pada hari kemenangan saat Lebaran datang. Maka memang, Bulan Ramadhan menyandang prediket Bulan Nan Mulia bagi Umat Islam.

Dan tentu saja untuk menyambut bulan nan sangat penting tersebut dilakukan persiapan yang tidak kalah sembarangan pula. Apalagi setelah menjalani ibadah puasa, kita akan menyambut Hari Kemenangan yang dinanti-nantikan. Ibarat menanti anak yang telah lama diidam-idamkan, sebelum si buah cinta lahir, tempat tidur, baju, mainan dan berupa-rupa perlengkapan telah disiapkan menyambutnya. Begitu juga dengan lebaran. Segala sesuatu perlu dipersiapkan untuk menyambutnya. Bahkan sebelum Hari Kemenangan tersebut datang, selama menjalani ibadah puasa, kita tidak lupa mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambutnya. Dalam konteks ini, baju baru, kue yang lezat dan bermacam-macam hal yang harus dan ada pada saat lebaran merupakan bentuk penyambutan terhadap Hari Kemenangan ini.

Namun benarkah segala persiapan yang lazim kita kerjakan tersebut benar-benar sesuai dengan konteks menyambut Lebaran sesungguhnya ?

Saya tidak berbicara ini untuk menyalahkan kebiasaan kita membeli pakaian dan segala sesuatu yang baru untuk menyambut Lebaran. Toh saya saja juga melakukan hal yang sama. Namun saya ingin berkaca diri apakah segala sesuatu yang saya persiapkan secara luar biasa untuk Lebaran memang perlu demikiankah ?

Pakaian yang bersih untuk menunaikan Shalat Ied, tentu saja mutlak perlu. Begitu juga makanan dan panganan lainnya yang tersedia di rumah untuk menjamu tamu, karena Baginda Rasul mengajarkan kita untuk memuliakan tamu. Mudik tentu saja juga sangat perlu. Karena saya dan saya sangat yakin anak rantau lainnya juga akan menangis sedih kalau harus berlebaran di tanah rantau jauh dari keluarga tercinta. Persiapan lainnya mungkin uga perlu sebagai bentuk suka cita kita menyambut Hari Kemenangan.

Namun terdapat urutan pertama dari daftar persiapan menyambut Lebaran yang sangat perlu dipersiapkan dan dilaksanakan dengan sebaik-baik mungkin yang terkadang kita atau mungkin saja sering kali terlupakan. Dia adalah ibadah.

Esensi dari Bulan Ramadhan adalah ibadah. Hadiah pada Hari Kemenangan pada saat Lebaran adalah atas ibadah yang kita kerjakan pada Bulan Ramadhan. Artinya, kita baru dapat dikatakan merayakan Hari Kemenangan pada saat Lebaran setelah mengerjakan ibadah pada Bulan Ramadhan dengan sebaik mungkin. Namun, ibadah inilah yang sering kali terlupakan.

Kita tidak lupa membeli baju yang akan dipakai pada saat Lebaran, namun lupa menyempurnakan puasa. Kita tidak lupa untuk membeli tiket mudik ke kampung halaman, namun lupa mendirikan ibadah sunnah lain untuk menyempurnakan ibadah puasa. Kita tidak lupa untuk memesan bahkan membuat beraneka makanan dan kue-kue lezat untuk menyambut Lebaran, namun lupa menahan hawa nafsu saat puasa, hingga hanya mendapat haus dan letih saja. Kita tidak pernah lupa mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut Lebaran, namun lupa bahwa yang harus dipersiapkan pertama sekali adalah kesanggupan diri untuk menjalani ibadah pada Bulan Ramadhan dengan sebaik-baiknya.

Ibarat hendak masuk kuliah, kita sudah mempersiapkan tas dan baju saat nanti diterima di tempat kuliah baru. Bahkan sudah mempersiapkan tempat tinggal apabila diterima di sana. Namun hal yang paling penting dilupakan, yaitu belajar agar lulus di perguruan tinggi yang kita inginkan. Tanpa belajar, tentu saja mustahil semua persiapan tersebut dapat bermanfaat. Apa gunanya baju, tas bahkan tempat tinggal yang telah dipersiapkan jauh-jauh hari jikalau kita saja tidak diterima di perguruan tinggi tersebut.

Demikian juga dengan Lebaran. Yang kita persiapkan dengan luar biasa meriah adalah atribut Lebaran, semisal baju, kue, sepatu, tiket mudik dan lain sebagainya. Padahal, apabila Ramadhan berakhir, belum tentu kita keluar sebagai pemenangnya. Bisa saja yang kita dapatkan selama kurang lebih satu bulan berperang melawan hawa nafsu hanyalah lapar, letih, dan haus semata. Bisa saja yang kita dapatkan hanya euforia Lebaran menggunakan baju baru, sepatu mengkilat, makanan lezat dan jatah libur yang panjang. Hanya itu saja. Kemenangan hakiki yang dijanjikan Allah SWT, ibarat pepatah, jauh panggang daripada api. Sama sekali tidak kita dapatkan. Kita di sini termasuk saya pribadi.

Sejak merantau, kerinduan saya terhadap Ramadhan menjadi-jadi. Tapi kadang seringkali saya bertanya apakah saya benar-benar rindu Ramadhan atau hanya rindu pulang kampung ketika lebaran ? Apakah saya benar-benar menjalankan ibadah puasa ikhlas karena Allah SWT semata atau karena ikut-ikutan orang-orang pada puasa.

Jawabannya saya temui pada hasil pemaparan google di atas. Bayangkan kata kunci “tiket kereta api” bisa mengalahkan kata kunci “Al-Qur’an” pada Bulan Ramadhan. Betul, bahwa hasil pemaparan google di atas tidak lantas serta merta menjadi rujukan atas fenomena ini. Tapi setidaknya hal itu bisa menjadi gambaran kecil mengenai apa dan tujuan kita selama Ramadhan. Euforia berlebarankah atau menjadi pemenang sejati ?

Ceramah seorang ustad juga turut menuntun saya pada kesimpulan ini. Ustad tersebut pernah berkata bahwa Beliau bosan setiap Bulan Ramadhan selalu ditanya dengan pertanyaan yang sama seperti mengenai berapakah jumlah rakaat Sholat Tarawih dan Sholat Witir apakah 11 atau 23, apakah setelah Sholat Witir bisa menunaikan Sholat Tahajjud dan pertanyaan serupa lainnya. Dan berapakah diantara kita yang masih menggunakan pembenaran bahwa tidurnya orang puasa adalah ibadah, padahal hadist tersebut palsu atau setidaknya diragukan kebenarannya (bersadarkan ceramah yang saya dengar).

Artinya apa ? Kita selalu begitu-begitu saja setiap tahunnya menyambut Ramadhan. Pas-pasan saja. Ilmu untuk menjalani ibadah pada Bulan Ramadhan juga itu-itu saja, tidak berkembang. Imbasnya, pelaksanaan ibadah pada Bulan Ramadhan juga begitu-begitu saja dari tahun ke tahun. Tak ada peningkatan. Sepuluh hari pertama giat berjamaah di masjid, sepuluh hari berikutnya bolong-bolong Sholat Tarawih dan Sholat Witir, dan sepuluh hari terakhir asyik menonton serial tv Ramadhan atau mencoba resep kue-kue.

Tapi untuk persiapan atribut Lebaran, jangan ditanya. Sebelum Bulan Ramadhan saja, baju baru sudah dibeli, tiket mudik sudah dipesan, resep kue-kue sudah dikumpulkan. Untuk perkara ini, kita mengamalkan petuah lebaran tahun ini harus lebih baik dari lebaran sebelumnya. Namun khusus untuk perkara duniawi, bukan ibadah. Jika dulu baju baru hanya satu pasang, maka lebaran tahun ini jumlahnya beranak menjadi dua pasang. Jika lebaran dulu kue-kue hanya ada 3 macam, maka lebaran tahun ini kue-kue menjadi 5 varian jenis. Maka kondisi kita dari segi ibadah adalah pelepas makan saja dimana ketika orang-orang puasa kita ikutan puasa, orang-orang Sholat Tarawih dan Sholat Witir, kita juga ikutan sholat meski hanya diawal-awal saja. Tapi untuk euforia lebaran kita juaranya. Persiapan paling meriah tiada tara, meskipun tak tahu apakah benar kita nantinya akan keluar sebagai pemenang atau hanya penyemarak saja.

(MSP 11/05/18)

Penulis: Fitria Rahmadani Adrion

Halooooo, Seorang penulis amatiran yang sdg merintis mimpi jadi pengacara, Seorang calon pengacara yg lelah dengan perjanjian, gugatan and all of that stuffs, mengisi hobi yg jauh terlupakan bertahun-tahun lalu yaitu menulis.

Tinggalkan komentar