Pria Nomor 20 bag (1)

Pukul setengah enam pagi, kota besar bergelar metropolitan itu belum bangun dari sisa tidur semalam. Meskipun, para penghuninya telah keluar dari persembunyian masing-masing memakai jaket dengan mata yang masih terkantuk-kantuk, untuk menyambung hidup. Seorang pria berperawakan sedang, tidak tinggi tidak pula pendek, rata-rata postur orang asia tenggara kabanyakan. Ia memarkir motornya di parkiran lantai dasar. Tanpa melepaskan jaket kulit hitam serta masker hitam dari wajahnya dan hanya melepaskan helm bertuliskan salah satu merk motor, ia melangkah menuju lift yang akan membawanya naik beberapa lantai ke tempat biasa ia menghabiskan hampir lebih dari 12 jam waktunya setiap hari.

Sambil menunggu pintu lift terbuka, pria itu mengecek jam yang berada di tangan kirinya, memastikan bahwa ia tidak datang terlambat.

Dari belakang sebuah tangan mendarat di pundaknya. Ia menoleh dan kerutan disekitar matanya bermunculan ketika ia tersenyum.

“Brohhh!”, ucap pemilik tangan yang mendarat di pundak pria itu. Pria itu adalah rekan kerjanya.

Kemudian mereka saling berjabat tangan dan mengucapkan sapaan selamat pagi. Detik berikutnya, pintu lift terbuka dan kedua pria tersebut melangkah masuk ke dalam kotak yang diminati oleh masyarakat modern saat ini. Sisa perjalanan mereka menuju lantai atas dihabiskan dengan obrolan seputar kemacetan, banjir dan copet yang mereka saksikan dalam perjalanan pulang kemarin.

Sesampai di lantai 3, mereka berjalan menuju sebuah ruangan yang berisi lemari-lemari dengan nomor pada bagian depan lemari itu. Pria tersebut mengeluarkan kunci dan membuka lemari nomor 20 miiknya. Percakapan mereka selesai. Kedua pria tersebut sibuk melepaskan jaket dan berbagai macam perlengkapan yang melekat di badan. Tidak berapa lama kemudian, tampilan kedua pria tersebut menjadi serupa. Mereka telah berganti pakaian kerja.

Pria dengan postur orang asia tenggara kebanyakan tersebut kembali melirik jam di tangan kirinya., Ia kemudian mengeluarkan gorengan dari dalam tasnya dan melahap gorengan tersebut setelah sebelumnya menawarkan pada rekan kerja yang ia temui di lift tadi. Tapi rekan kerjanya menolak dan mengucapkan terima kasih kemudian berlalu meninggalkan ruangan yang berisi lemari-lemari itu. Setelah menghabiskan gorengan, ia berjalan ke ruangan sebelah, mencuci tangan, mengambil air minum dari dispenser dan langsung menegak habis air tersebut. Kemudian ia memulai aktivitasnya sehari-hari.

———

Ia telah bekerja di gedung tersebut sebagai petugas kebersihan lebih kurang 3 tahun lamanya. Dengan jam kerja dari pukul 6 pagi hingga pukul 6 sore, dapat dikatakan ia selalu menyaksikan siapa saja yang keluar masuk gedung tersebut. Meskipun ia tak tahu akan nama orang-orang itu, tapi ia hafal wajah mereka, unit dan lantai mana mereka bekerja.

Ia adalah tipikal orang yang suka mengamati sesuatu. Barangkali karena pekerjaannya tidak terlalu sibuk, hanya membersihkan lantai, kaca jendela, dan bagian lain yang perlu dibersihkan. Jadi telah menjadi kebiasaannya, sambil menyapu atau mengelap debu meja resepsionis, sudut matanya akan mengawasi siapa saja yang lalu lalang datang dan pergi. Apabila ia perpapasan dengan orang lain, ia akan mengucapkan selamat pagi atau selamat siang atau selamat malam kepada orang-orang tersebut meskipun kebanyakan orang-orang itu tidak membalas atau hanya berlalu tanpa menatapnya. Tak apalah, ramah tamah bagian dari pekerjaan yang selalu ditegaskan oleh managernya.

Seperti biasa, kegiatan pertama sekali yang ia lakukan adalah menyiram tanaman di depan pintu masuk lantai dasar serta memperhatikan apakah ada tanaman yang layu yang harus disingkirkan agar tak merusak pemandangan. Selanjutnya, ia akan membersihkan kaca pada pintu dan jendela lantai dasar. Saat itulah dari kejauhan ia selalu melihat wanita itu turun dari angkot biru nomor 34.

Ketika wanita itu semakin mendekat ke arah pintu masuk, ia akan berdiri kemudian menyapa wanita itu dengan mengucapkan “Selamat Pagi”. Wanita itu pasti akan menoleh padanya, mengangguk kecil sambil tersenyum. Kadang sesekali, wanita itu datang ketika ia tengah membersihkan pintu kaca, maka ia akan membukakan pintu untuk wanita itu. Wanita itu biasanya tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Seringnya ia sengaja meninggalkan pintu kaca untuk dibersihkan paling terakhir agar memiliki kesempatan membukakan pintu untuk wanita itu.

Ia bahkan tidak ingat kapan awal mula pengamatan terhadap wanita itu lakukan. Yang ia ingat adalah setiap hari dalam setahun terakhir ini, wanita itu menjadi obyek pengamatan yang paling ia sukai. Ia bukan sedang jatuh cinta atau semacam pengagum rahasia wanita itu. Hanya saja dalam sehari ia bisa bertemu dengan wanita itu lebih dari 3 kali. Pertemuan pertama adalah pada pagi hari, kemudian sekitar pukul 10 atau setengah sebelas dan ketiga pukul 1 siang. Bahkan kadang-kadang pukul 6 sore ia juga bertemu dengan wanita itu. Berpapasan lebih tepatnya.

Seperti suatu kebetulan yang telah terencana. Pada pagi hari ketika wanita itu datang, ia sedang bertugas membersihkan lantai dasar. Sekitar pukul 10 sampai setengah 11, ia bertugas membersihkan lorong pada lantai 11 tempat wanita itu bekerja. Siang hari pada pukul 1, ia kembali bertugas mengepel lift di lantai dasar ketika wanita tersebut turun untuk makan siang. Kadang-kadang, pukul 6 sore sebelum pulang, ia masih bertugas membersihkan kembali lantai dasar saat melihat wanita itu pulang. Dan itu telah terjadi selama lebih dari setahun. Seperti rutinitasnya mengepel, membersihkan kaca dan merawat tanaman, menyaksikan wanita itu telah menjadi bagian dari rutinitas hariannya.

Kadang ketika wanita itu datang terlambat, padahal biasanya ia datang pada pukul 7.30. Pria itu akan terus menerus menengok jalanan di depan gedung, tempat angkot biasa menurunkan wanita tersebut. Hanya untuk mengecek apakah wanita itu telah sampai atau belum. Atau kadang, ketika pukul 10 hingga setengah 11, wanita itu belum kunjung keluar dari ruangannya untuk membeli selusin kopi mahal untuk bos-bosnya, seperti biasa. Pria itu akan menunggu hingga wanita itu keluar, dan berpapasan dengannya. Apabila masih tersisa waktu, ia akan menuggu hingga wanita itu kembali ke ruangannya dengan tangan penuh dengan gelas kopi hanya untuk melihat wanita itu dari sudut matanya.

Ia bahkan sangat hafal warna baju yang dikenakan oleh wanita itu. Apakah wanita itu mengenakan kemeja baru, atau rok baru atau tas baru. Ia tahu. Ia juga tahu warna kesukaan wanita itu berdasarkan warna baju yang paling sering dikenakan. Abu-abu muda. Wanita itu hampir memiliki semua benda berwarna abu-abu muda. Tiga buah kemeja lengan panjang, satu polos dan dua lainnya bercorak abstrak berwarna abu-abu muda. Wanita itu juga pernah memakai kemeja abu-abu lengan pendek dengan dua varian lainnya. Serta, celana dan rok yang kerap dipakai oleh wanita itu juga berwarna abu-abu muda. Tapi dari semuanya, mungkin semua tas yang dimiliki oleh wanita itu berwarna abu-abu muda. Karena tas yang dipakai oleh wanita itu selalu berwarna abu-abu muda.

Ia juga hafal bagaimana penampilan wanita itu ketika datang. Menggunakan jaket selutut berwarna hitam, rambut dikucir acak, muka polos tanpa bedak dan celana panjang hitam besar dengan sentuhan sendal jepit hijau yang lusuh sebagai alas kaki. Ketika telah sampai diruangannya, barulah wanita itu berdandan dan mengganti pakaian dengan pakaian kerja yang ia bawa di dalam tas. Karena pada pukul 10 hingga setengah 11 ketika wanita itu keluar ruangan untuk membeli kopi, penampilanya telah berbeda dari wanita yang disapanya pada pukul setengah delapan pagi tadi.

Wanita itu mungkin tidak termasuk kategori cantik seperti artis atau model di televisi. Tapi bukan berarti tidak enak dipandang. Biasa saja dan sederhana. Cantik bukan, tidak cantik sekali juga bukan. Wanita itu juga bukan tipikal wanita yang akan membuat orang menoleh padanya saat berpapasan pertama kali. Ia pun juga begitu dulu saat pertama sekali melihat wanita itu. Tapi seperti jatuh cinta, awalnya biasa saja lama-lama jadi tidak biasa. Bukan berarti pria itu jatuh cinta pada wanita tersebut. Itu hanya perumpamaan.

Postur tubuh wanita itu seperti kebanyakan wanita asia tenggara pada umumnya. Kulitnya pun sama, sawo matang. Dandanannya pun sederhana. Riasana wajahnya juga biasa saja. Cukup kemeja dipadukan dengan rok atau celana, kadang-kadang sekali wanita itu menambahkan kalung sebagai aksesoris pendukung, tapi sangat jarang. Kalaupun ada, paling jam 1 sudah tidak dikenakan lagi oleh wanita itu. Wanita itu juga hanya menggunakan bedak tipis biasa dengan sedikit polesan lipstick tipis berwarna pink. Begitu saja. Tidak ada yang spesial dari wanita itu. Tak ada merah-merah di pipi atau warna lain yang sering dibubuhkan oleh para wanita di pipi dan mata mereka. Wanita itu biasa saja.

Namun, lama kelamaan hal yang biasa itu berubah menjadi tidak lagi biasa. Mukanya yang polos pucat seperti orang bangun tidur ketika datang pagi, kini berubah seperti muka bayi yang baru saja selesai mandi. Bersih. Sentuhan lipstick tipisnya, semakin membuat wanita itu bercahaya dan terlihat segar meskipun acap kali ia keluar dari ruangannya dengan muka kusut, cemas ataupun tergopoh-gopoh membawa selusin gelas kopi. Tetap saja, kini sudah tidak biasa lagi.

Maka pria dengan postur tubuh orang asia tenggara kebanyakan itu sangat menikmati rutinitasnya mengamati dan menunggu wanita itu. Kadang-kadang pria itu melakukan permainan kecil dengan dirinya sendiri. Ia akan menebak, warna baju apa gerangan yang dipakai wanita itu, atau apakah wanita itu memakai celana atau rok hari ini. Jika tebakannya benar, pria itu akan senyum-senyum sendiri sepanjang hari. Jika salah, ia tetap akan tersenyum sendiri membayangkan mengapa melakukan tebakan bodoh seperti itu.

Pernah terlintas di benak pria itu untuk sedikit membuka obrolan dengan wanita tersebut. Hanya saja ia takut dengan tanggapan wanita itu nantinya. Ia takut wanita itu merasa tidak nyaman dan justru menjadi takut kepadanya. Pesan managernya, ramah itu harus tapi jangan sampai menimbulkan ketidaknyamanan. Maka demi menjaga rutinitas yang telah ada, pria itu mengurungkan niatnya untuk sekedar bertanya siapakah nama wanita itu, dimanakah ia tinggal, apakah perjalanan dari rumah ke gedung kantornya macet atau sekedar bertanya apakah dijalan dia melihat aksi pencopetan. Hidup pada zaman akses informasi yang tak terbatas, bahkan ketika keberadaan seseorang dengan mudah ditemukan lewat unggahannya sendiri di media sosial. Namun ketika bertemu secara langsung, sikapnya akan berubah menjadi antipati, tidak ramah, pelit kata, padahal di media sosial semuanya diumbar habis-habisan. Maka di zaman ini, lebih baik diam, dari pada banyak bertanya, nanti dikira mencurigakan seperti pelaku kejahatan. Sebuah ironi memang.

————

Siang pada pukul 1, pria itu masih berkutat dengan lantai dan alat pengepel lantai di depan lift. Orang-orang silih berganti keluar masuk kotak tersebut. Melalui sudut matanya ketika sedang mengepel lantai, pria itu mencari-cari apakah wanita itu telah turun untuk makan siang. Tapi anehnya setengah jam berlalu dari jam 1 tadi, wanita itu tidak kunjung muncul keluar dari lift. Pria itu bertanya-tanya. Bahkan, sekitar jam 10 sampai jam setengah 11, wanita itu juga tidak keluar dari ruangannya untuk membeli selusin kopi sebagaimana biasanya. Pria itu malah telah menunggu hingga jam 11 di depan ruangan wanita tersebut.

Pria itu berucap dalam hati, kenapa tiba-tiba wanita itu terlambat makan siang ? Apakah ia terlalu sibuk ?

Waktu telah bergerak dari pukul 1 siang. Orang-orang telah mulai sepi keluar masuk dari lift karena jam makan siang telah berakhir. Tapi wanita itu tetap saja tidak tampak. Pria itu mulai gusar. Tapi ia tak punya pilihan lain. Mana mungkin seorang petugas kebersihan mendatangi seorang wanita di gedung tempat ia bekerja hanya untuk menanyakan mengapa hingga pukul 3 sore, wanita itu tak kunjung turun untuk makan siang. Sekalipun selama satu setengah tahun, wanita itu tidak pernah terlambat untuk waktu yang lama pada saat makan siang. Pria itu tidak mungkin sakan bertindak sejauh itu. Apa urusannya memang.

————

Jam kerja telah berakhir. Wajah-wajah kelelahan akibat seharian bekerja memenuhi loby dan lift. Pria itu sedang mengelap meja resepsionis, sambil memperhatikan wajah orang-orang tersebut. Ia tak menemukan wajah yang ia cari.

Pria itu menunggu hingga dua puluh menit berikutnya. Tapi wanita itu tak kunjung nampak. Di luar sepertinya akan hujan badai, jika tak pulang sekarang maka ia harus menunggu hujan reda dulu agar bisa pulang. Artinya ia bisa pulang di atas jam 8 malam. Belum macet yang harus ia hadapi sepanjang perjalanan pulang. Yang ada ia sampai di rumah pukul 9 malam bahkan mungkin lebih. Tapi ia ingin memastikan dulu wanita itu telah pulang atau belum.

Gerimis kecil mulai turun. Ia menatap gusar ke arah lift sambil berdoa dalam hati agar bisa melihat wanita itu keluar dari lift dan berjalan ke tempat ia menunggu angkot seperti biasanya.

“Woiii, gak pulang ? Bakal ujan badai loh ini.”, rekan kerja nya datang menghampiri.

Pria itu mulai ragu. Dengan berat hati ia melangkah menuju ruangan untuk berganti pakaian.

——–

Keesokan harinya, seperti biasa pria itu telah mempersiapkan diri menyapa wanita tersebut. Ia bahkan menyisakan pintu kaca untuk dibersihkan paling akhir agar dapat cekatan membukakan pintu untuk wanita itu. Tepat pukul 07.30, wanita itu turun dari angkot biru nomor 34. Pria itu tersenyum lega.

Ia membukakan pintu seraya mengucapkan “ Selamat Pagi” kepada wanita itu. Lain dari biasanya, wanita itu hanya berjalan menunduk mengabaikan ucapan selamat pagi. Pria itu terdiam. Ada yang berbeda dari wanita itu, tak pernah sekalipun wanita itu bertingkah seperti tadi. Mengabaikannya seolah-olah tidak mendengar sapaan darinya.

Berbagai pikiran buruk bermunculan di dalam benaknya. Pria itu bertanya-tanya apakah ia telah membuat wanita itu tidak nyaman dengan kehadirannya. Tapi pertemuan dengan wanita itu bukan kehendaknya. Ia memang ditugaskan membersihkan lantai dasar ketika wanita itu datang, membersihkan lorong ruangan lantai 11 yang kebetulan merupakan kantor wanita itu dan berpapasan dengannya ketika wanita itu keluar membeli kopi. Dan memang juga adalah tugasnya membersihkan bagian depan lift pada pukul 1 siang sehingga kembali berpapasan di depan lift ketika wanita itu keluar untuk makan siang. Kadang-kadang kembali berpapasan dengan wanita itu pada pukul 6 saat ia bertugas membersihkan lantai dasar pada sore harinya. Lalu dimanakah letak kesalahannya, sehingga wanita itu menjadi tidak nyaman dengan dirinya. Pria itu berkata dalam hati bahwa ia hanyalah petugas kebersihan yang menerima dan menjalankan tugasnya. Atas jadwal kerja, apa saja yang harus ia bersihkan dan di lantai mana ia bertugas, adalah kewenangan dari managernya. Pria itu tidak memilih, ia hanya menjalankan perintah.

Ataukah wanita itu tersinggung olehnya, batin si pria. Tapi bagaimana bisa wanita itu tersinggung, sepatah katapun tak pernah terucap olehnya. Pria itu tidak pernah mengucapkan kata-kata selain selamat pagi kepada wanita itu. Bagaimana mungkin sapaan selamat pagi dapat menyinggung seseorang.

Atau apakah wanita itu merasa ketakutan atas sikapnya. Namun, pria itu menggumam dalam hati, “Sikapku yang manakah yang membuat dirinya takut ? Aku hanya membersihkan jendela dan pintu kaca saat ia datang, kemudian membersihkan lorong kantornya saat ia keluar membeli kopi, dan kembali membersihkan lantai dekat lift saat ia keluar untuk makan siang. Barang sejengkal pun tidak pernah aku berada didekatnya. Aku hanya berdiri dari kejauhan dan mengerjakan pekerjaanku saja.” batin si pria dalam hati.

Banyak pertanyaan berkelebat dalam pikiran pria itu. Tapi ia memutuskan untuk mengabaikannya. Ia harus berkonsentrasi pada pekerjaannya.

——

Pukul 10 dilalui pria itu tanpa berpapasan dengan wanita yang tergopoh-gopoh membawa selusin kopi di tangannya. Wanita itu tak kunjung keluar dari ruangannya hingga pukul 11 siang.

Begitu juga pada saat jam makan siang. Wanita itu juga tidak muncul. Pria itu bertanya-tanya, seberapa tak nyamannya atau seberapa takutkah wanita itu kepadanya hingga dua hari berturut-turut ia tidak keluar untuk makan siang.

——

Hari berikutnya berjalan serupa dengan dua hari yang lalu. Pria itu seperti biasa telah melaksanakan tugasnya membersihkan kaca jendela pada lantai dasar. Ketika wanita itu datang, ia hanya berjalan menunduk sambil berlalu tanpa mengindahkan sapaan dari si pria, seperti kemaren.

Tapi sebelum pria itu kembali mempertanyakan mengapa wanita itu bertindak seperti biasanya, sekilas ia sempat memperhatikan wajah wanita itu. Ia pucat, lebih pucat dari biasanya. Matanya bengkak entah seperti habis menangis atau karena kurang tidur.  Meskipun wanita itu berjalan cepat menuju lift, pria itu bisa melihat dengan jelas langkah gontai yang dipaksakan dari kakinya.

Apakah gerangan yang terjadi ? Mengapa dari hari ke hari ia berubah, tanya pria itu dalam hatinya.

(bersambung…)