BIDADARI PURNAMA KESEKIAN

“ Jangan sampai kamu jatuh cinta padaku ya. “, ucapnya saat itu dan seterusnya setiap kali kami berjumpa.

“ Kenapa ? “, kataku.

“ Karena aku bukan manusia sepertimu. Aku ini bidadari. “, jawabnya. Dan selalu ia menjawab demikian manakala aku bertanya mengapa aku tidak boleh jatuh cinta padanya.

“ Memangnya manusia tidak boleh jatuh cinta dengan bidadari ? “, balasku.

“ Tidak boleh. Itu menyalahi hukum alam. “

“ Hukum alam yang mana yang melarang ? ”

Ia memutar bola matanya saat mendengar pertanyaanku. Sambil menatapku, ia menyipitkan mata seolah-olah pertanyaanku tadi adalah pertanyaan remeh mengenai perkalian satu kali dua.

“ Manusia harus jatuh cinta dengan manusia. Apa kamu tidak pernah dengar legenda Dewa Zeus yang sering jatuh cinta dengan manusia ? Atau kisah mengenai Joko Tarub yang jatuh cinta dengan bidadari ? Apakah semuanya berakhir bahagia ? “, jelasnya sambil berbisik-bisik seolah-olah ini adalah rahasia besar yang tidak diketahui dunia.

“ Tapi semua itu kan hanya legenda dan mitos. Kebenarannya belum teruji. “, balasku tidak mau kalah.

Sambil menghela nafas ia kembali berbisik, sekarang bahkan sambil sambil menutup sedikit bibirnya dengan tangan persis seperti ibu-ibu komplek bercerita aib tetangga;

“ Nah itu masalahnya. Manusia adalah mahluk yang susah diberi tahu. Legenda dan mitos itu sungguhan dan bertujuan agar manusia  berhati-hati, tapi malah dianggap hanya cerita bohong saja.”

Ia kemudian berbalik pergi meninggalkanku begitu saja. Selalu begitu setiap kami berjumpa.

Aku menatap punggungnya yang makin menjauh dari ujung jalan. Ia berjalan pelan-pelan sekali seperti putri keraton.

Saat pertama kali berjumpa dengannya, Sang Bidadari, begitu ia memperkenalkan diri – sejujurnya aku tergelak. Jarang sekali ada perempuan yang begitu bangga dengan kecantikannya sampai memperkenalkan diri sebagai Sang Bidadari. Jarang sekali, benar-benar jarang. Meski ia adalah wanita tercantik di muka bumi sekalipun, pastilah lazimnya wanita akan memperkenalkan nama aslinya ketika berkenalan. Itu pun sangat langka sekali, mereka menyebut dirinya Sang Bidadari pada pertemuan selanjutnya, sekalipun dengan maksud bercanda.

Tapi gadis itu adalah gadis langka. Tanpa malu-malu ia memperkenalkan diri sebagai Sang Bidadari kepadaku. Awalnya kukira ia hanya bercanda. Tapi tampaknya ia serius dengan itu.

Suatu ketika saat sedang mengantri, aku bertanya padanya;

“ Kalau kamu adalah bidadari, lantas mengapa ada di sini ? Bahkan mengantri untuk mengambil antrian obat di rumah sakit, seperti saat ini.”

“ Kamu tidak pernah membaca cerita atau legenda tentang bidadari ya ? “, selidiknya.

“ Enggak.”

“ Hemm. Begini yaa, dengarkan penjelasanku baik-baik. Sama seperti para dewa yang kadang-kadang bosan berada di langit, bidadari juga kadang bosan. Nah, seperti para dewa yang ketika bosan, turun ke bumi hanya sekedar untuk cuci mata menghilangkan kebosanan, bidadari juga melakukan hal yang sama. “, jawabnya.

“ Oh ya ? “, tanyaku meledek.

“ Ini benar loh. Kamu memangnya tidak pernah mendengar cerita Joko Tarub bertemu dengan bidadari yang sedang mandi di sungai ? “

“ Memangnya di khayangan tidak ada kamar mandi atau sungai, sampai-sampai bidadari harus turun ke bumi untuk mandi ? “, jawabku pura-pura bingung.

Sambil mengkerucutkan bibirnya, ia menjawab;

“ Tentu saja ada. Dan pastinya jauh, jauh lebih bagus daripada di bumi. Hanya saja terkadang, kami para bidadari bosan dengan sungai dan pemandian yang ada di khayangan. Jadilah sekedar jalan-jalan mencari suasana baru, kami turun ke bumi. Dulu aku juga pernah melakukan itu. “, balasnya sambil menjelaskan padaku bagai menjelaskan persoalan inflasi dan pengaruh ekonomi makro terhadap stabilitas keuangan negara.

Demi melihat muka bundarnya yang lucu ketika menjelaskan persoalan ini dan mata bulatnya yang berkedip-kedip seperti lampu sorot ketika ceritanya diremehkan, aku selalu meladeni cerita gadis yang mengklaim dirinya adalah Sang Bidadari itu. Wajahnya menggembung bulat seperti ikan buntal yang terancam bahaya, manakala aku mengolok-olok dan tidak percaya cerita bidadarinya. Aku benar-benar gemas dibuatnya.

Maka setiap tiba giliranku menebus obat untuk Ibu, aku selalu bersemangat. Karena itu tandanya aku akan berjumpa dengan Sang Bidadari dan ceritanya. Ia juga setiap bulan mengantri obat di rumah sakit yang sama denganku.

Dengan pengalamanku menebus obat selama bertahun-tahun untuk ibu, aku bisa membagi setiap orang yang antri menebus obat  setidaknya dalam dua kelompok. Pertama mereka yang menebus obat karena sakit tertentu yang sifat konsumsi obatnya jangka pendek dan kedua mereka yang menebus obat untuk penyakit tertentu yang sifat konsumsi obatnya jangka panjang. Kedua tipe pengantri ini memiliki perbedaan yang dapat langsung dikenali.

Untuk tipe pengantri yang pertama, umumnya mereka akan bertanya sana sini mengenai prosedur menebus obat kepada sesama pengantri ataupun petugas, mereka juga akan bolak balik melihat jam dan bertanya lagi kepada petugas kenapa nomor antriannya lama sekali terpanggil. Selain itu biasanya mereka juga akan bertanya kepada pengantri lainnya dengan pertanyaan “ dari tadi ?’ atau “ sudah nomor antrian berapa ? “ atau “ sakit apa ? “ dan pertanyaan lainnya.

Sedangkan pengatri tipe kedua, tidak akan bertanya prosedur menebus obat karena mereka sudah terbiasa dan bahkan hafal prosedurnya dan tidak akan bolak balik melihat jam dan bertanya kepada petugas kenapa nomor antriannya belum kunjung dipanggil juga, karena mereka sudah tahu dari layar antrian kapan nomornya dipanggil dan karena mungkin petugas juga sudah hafal dengan mereka, sehingga begitu nomor antriannya terpanggil, yang dipanggil bukan nomornya tapi si pengantri langsung, karena sudah kenal. Serta mereka tidak akan bertanya kepada pengantri lainnya seperti pertanyaan pengantri tipe pertama. Paling tidak topik pembicaraan ataupun pertanyaan mereka adalah berita terhangat, peta politik ataupun gosip yang sedang ditayangkan di televisi ruang antrian. Mereka tidak akan bertanya lagi mengenai “sakit apa ?” kepada sesama pengantri, karena bisa jadi sakit yang mereka alami justru lebih berat dan menyakitkan. Tipe ini biasanya jauh lebih tenang dan diam dalam menunggu antrian.

Gadis yang mengaku Sang Bidadari itu adalah pengantri tipe kedua.

Ia tidak pernah berisik dan bolak balik bertanya mengenai nomor antrian. Karena begitu ia datang ke apotek rumah sakit, ia langsung menuju kursi kosong, kemudian duduk sambil membaca sesuatu. Seorang wanita berusia paruh baya yang datang bersamanya-lah yang kemudian mengurus obat yang akan ditebus gadis itu. Begitu obat selesai ditebus, dengan kerlingan mata dan isyarat kepala dari wanita paruh baya itu, gadis yang mengaku Sang Bidadari itupun kemudian pulang.

Karenanya pulalah, topik pembicaraan kami saat mengantri obat adalah seputar pengakuan dirinya yang seorang bidadari bermula. Seperti apapun aku mengolok-olok ceritanya, ia pasti dengan penuh takzim dan keseriusan menjawab serta menjelaskan padaku mengenai cerita bidadarinya.

“ Kalau kamu memang bidadari, lantas kenapa belum juga kembali ke khayangan sampai sekarang ? “, tanyaku waktu itu. Setahun lebih sudah aku mengantri bersama dengannya menebus obat di rumah sakit ini.

“ Nah, itu yang dinamakan tugas. Sama seperti manusia yang bekerja di suatu divisi kemudian ditugaskan ke divisi lain. Bidadari juga begitu.”, jawabnya pasti.

“ Tapi itu kan karena manusia bekerja. Dan pemindahan divisi juga karena urusan pekerjaan manusia. Sedangkan bidadari memangnya ada urusan pekerjaan apa sampai ditugaskan ke bumi ?”, balasku tak mau kalah.

“ Jangan salah. Bidadari juga bekerja. Aku dipindahkan sementara ke bumi dengan misi tertentu. “, balasnya sambil berbisik dan mengedipkan mata.

Aku makin gemas dibuatnya oleh jawaban konyol itu.

“ Misi apa memangnya ? Misi menyelamatkan bumi dari kiamat atau alien ya “, tanyaku mengolok-olok.

Ia tenang saja melihatku mengolok-olok dirinya. Dengan santai ia menjawab;

“ Maaf, aku tidak bisa mengatakan apa misiku ke bumi. Itu menyalahi aturan. Aku bisa dihukum kalau membocorkannya. Lagipula, aku bisa dicari-cari FBI, CIA, Mossad atau badan intelijen lainnya jika mereka sampai mengetahui misiku.”

Aku hanya tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasannya. Ia benar-benar menjelaskan dengan sungguh-sungguh ceritanya tersebut. Dan sering dipenghujung cerita, ia menyikut lenganku sambil berbisik; “ Ini rahasia yaa. Awas kalau sampai kamu sebarkan. Siap-siap saja pasukan dewa akan menghukummu.”

Kalau bukan karena ruang antri obat ini kecil dan disesaki banyak pengantri dan kalau bukan karena takut dianggap gila, aku sudah berguling-guling mendengar perkataannya itu.

Tapi ia tetap teguh dengan ceritanya itu, meskipun sebagian besar responku terhadap ceritanya adalah olok-olokan tidak percaya. Setiap kali aku tergelak atau tertawa terbahak-bahak mendengar ceritanya, ia hanya diam menatapku, dengan tatapan seolah-olah menyiratkan makna “ Dasar manusia tidak percaya. Lihat saja nanti, baru kamu akan percaya”.

Namun, sekalipun aku tidak percaya dengan semua cerita bidadarinya, aku selalu betah menunggu antrian bersamanya. Bahkan akulah yang selalu bertanya dengan penuh semangat mengenai kisah bidadarinya.

“ Jelaskan padaku, apakah alien itu benar-benar ada ? Dan apakah alien benar-benar akan menyerang bumi ? “, tanyaku suatu waktu.

“ Kenapa bertanya mengenai alien padaku ? “, tanyanya bingung.

“ Ya, kamu-kan bidadari, setidaknya pasti pernah mendengar gosip atau apapun itu tentang alien di khayangan. “

“ Hmm, memangnya kenapa dengan alien ? “

“ Aku hanya ingin tahu apakah alien itu benar-benar ada dan apakah mereka memang berencana menyerang bumi. Jika iya, setidaknya aku bisa mulai mempersiapkan diri untuk membeli senjata canggih untuk melawan alien. “

Aku bertaruh. Jika bukan gadis itu yang mendengar perkataanku barusan, pasti orang lain yang mendengarnya akan mengingkir dari dekatku sambil berpikir bahwa aku ini sinting. Tapi gadis itu malah tampaknya sedang berpikir keras atas pertanyaan konyolku.

Sebelum menjawab pertanyaanku ia berdeham beberapa kali. Tampaknya pertanyaanku itu sangat pelik ia jawab. Dengan wajah dan mata yang membulat serius, ia menjawab dengan penuh hati-hati seolah-olah pertanyaanku tadi seperti menanyakan langsung kepada Presiden Amerika apakah Amerika akan membom Palestina atau tidak.

“ Sebenarnya ini adalah persoalan yang sangat sensitif. Aku tidak bisa mengatakan apakah alien itu nyata atau tidak, karena itu menyalahi aturan. Tapi yang bisa aku katakan adalah bumi ini hanyalah salah satu bagian kecil dari alam raya. Di luar angkasa sana, jutaan galaksi dengan jutaan planet dan bola gas menyerupai matahari, ada dan belum terjamah oleh pengetahuan penduduk bumi. Jika sekarang penduduk bumi misalnya hanya mengenal pengelompokan mahluk hidup dengan sistem 5 atau 6 kingdom yang dikenal dalam ilmu biologi, bukan berarti hanya mahluk itu saja yang ada di alam raya. Semesta ini begitu luas apabila dibandingkan dengan bumi yang tak ada apa-apanya. “ jawabnya sambil mengangguk takzim penuh arti.

Oh tuhan! Saking aku kaget atas jawabannya, aku bahkan tidak bisa tertawa seperti biasa. Bukan karena aku seketika percaya dengan semua cerita tak masuk akal itu melainkan aku terperangah atas pintar dan diplomatisnya ia membodohiku. Aku hanya mengangguk-angguk kecil mendengar jawabannya.

Ia benar-benar cocok jadi politisi. Karena salah satu keahlian yang mutlak dimiliki oleh politisi adalah menjawab pertanyaan tanpa perlu memberikan jawaban sesungghunya atas pertanyaan itu. Cukup bawa argumetasi teori, ilmu pengetahuan atau data-data yang memusingkan untuk berbelok dari inti pertanyaan. Cukup berikan jawaban yang terdengar sangat cerdas, sangat brilian dan sangat rumit, meskipun itu sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaan. Intinya bawakan semua jawaban itu dengan yakin, diplomatis plus mimik muka serius lagi meyakinkan, maka orang-orang akan percaya. Dan itulah yang dilakukan oleh gadis yang mengaku Sang Bidadari kepadaku.

Tapi bodohnya aku yang sudah tahu itu semua hanya bualan belaka. Namun setiap kali berjumpa, aku selalu semangat menyodorinya berbagai pertanyaan.

“ Kamu bilang kamu hanya ditugaskan sementara di bumi. Lalu sampai kapan berada di bumi ? “, tanyaku pada kesempatan lain.

“ Sampai masa tugasku selesai dan aku dipanggil kembali ke khayangan. “, jawabnya.

“ Berapa lama sampai masa tugasmu selesai ? “

“ Aku tidak tahu, tapi biasanya kalau sudah mendekati habis masa tugasku, aku akan diberikan tanda.”

“ Tanda seperti apa ? Surat pemberitahuan masa tugas akan berakhir ? Atau ada alarm ajaib yag akan berbunyi sambil mengeluarkan suara waktu “anda akan habis… waktu anda akan habis..” ? “, tanyaku sambil terkekeh.

Ia menatapku dalam diam.

“ Mungkin.”, jawabnya acuh.

Pada suatu kesempatan lain ketika mengantri, saat itu waktu sudah menunjukan jam makan siang. Wanita paruh baya yang menemaninya menebus obat kemudian mengeluarkan sebuah kota termos dan menyerahkan kepada gadis itu sebuah kotak persegi panjang yang menyerupai kotak bekal.

Dan ternyata benar kotak bekal makan siang. Ia membuka kotak bekal dan aku segera dapat melihat menu makan siangnya. Ayam rebus dan sayur rebus serta nasi yang agak sedikit lembek. Saat itu aku sudah makan siang sebelum menebus obat, sehingga aku bisa tetap duduk disampingnya saat ia makan.

Gadis itu basa-basi menawariku makan siangnya. Aku yang penasaran dengan bagaimana rasa makan siangnya yang tanpa cabe dan terlihat sama sekali tidak enak itu, langsung menyambut tawarannya saat ia menawariku makanannya. Aku meminta sepotong ayamnya. Awalnya ia terkejut hingga mengerutkan kening.

Darinya aku belajar bagaimana cara menjawab secara diplomatis, lantas aku berkata; “ Hanya ingin mencoba bagaimana rasanya makanan untuk bidadari. ”, kataku sambil mengangkat bahu.

Ia tersenyum tipis dan memberikan sepotong ayam padaku. Aku langsung mencicipinya. Ia menontonku mencicipi ayam itu.

Dulu aku pernah terkena tifus dan dirawat di rumah sakit waktu kecil. Selama dirawat aku hanya diperbolehkan makan masakan dari rumah sakit. Dan masakan rumah sakit benar-benar tidak menggugah selera. Sedangkan ayam yang aku makan ini rasanya jauh, dan jauh lebih tidak bersahabat dilidah dari pada masakan rumah sakitku dulu.

Ia tertawa kecil menyaksikan ekspresi wajahku ketika mengunyah ayam itu.

“ Sudah kubilang, manusia tidak boleh jatuh cinta pada bidadari. Makanan bidadri saja berbeda. Manusia tidak suka pastinya. Apalagi jatuh cinta dengan bidadari.”, ucapnya sambil mengunyah bekal makan siang. Ia tampak menikmati makanan yang tidak ada rasanya itu.

Sekalipun sesama pengantri tipe kedua yang tidak pernah saling bertanya sakit apa atau obat untuk siapa, aku tahu obat yang ia tebus adalah untuk dirinya sendiri. Meskipun aku tidak pernah bertanya. Namun pada suatu kesempatan ia pernah berkata;

“ Berada di bumi adalah karena menjalankan misi yang ditugaskan kepadaku. Maka bumi bukanlah rumahku. Aku hanya pendatang. Karenanya banyak hal yang ada di bumi tidak cocok denganku. Lihatlah dari segi makanan, makananku bukanlah selera penduduk bumi. Dari segi cuaca, mau sepanas apapun bumi, aku tetap harus mengenakan pakaian yang tebal. Selain itu aku harus meminum obat dan vitamin dengan jumlah yang banyak agar aku dapat bertahan dan menjalankan tugasku dengan baik di bumi.”, ucapnya sambil menerawang.

Ia memang tidak seperti gadis kebanyakan. Selama bertemu dengannya, ia selalu menggunakan pakaian musim dingin yang tebal sekalipun cuaca panas. Kulitnya juga sangat pucat. Rambutnya cukup tipis dibandingkan gadis lainnya. Badannya juga kurus seperti model yang melakukan diet ketat. Kalau berjalan, ia seperti tertatih-tatih.

“ Ya karena memang bumi tidak cocok denganku karena aku bidadari. Dulu rambutku sangat tebal dan indah, kulitku juga tidak sepucat ini. Tapi saat berada di bumi, rambutku rontok, kepalaku sering sakit, dan aku sering muntah. Hingga beginilah tubuhku jadi kurus.”, terangnya padaku meskipun aku tak pernah bertanya perihal itu.

Tapi matanya yang bulat penuh selalu memancarkan cahaya meskipun seluruh tubuhnya lebih terlihat seperti orang sakit.

“ Apakah berada di bumi membuat bidadari sepertimu menderita ? ”, tanyaku saat melihatnya batuk.

Ia menggeleng. Setelah menyelesaikan batuk dan menyeka mulutnya dengan sapu tangan ia berkata;

“ Bumi itu indah dan unik, berikut manusia dan seluruh penduduknya. Ada yang sangat baik seperti malaikat, ada yang sangat kejam seperti iblis dan ada yang seperti keduanya, kadang menjadi iblis dan kadang menjadi malaikat. Di bumi juga ada hewan yang sangat lucu seperti anjing, kucing, kelinci. Bahkan ada anjing yang sangat setia kepada pemiliknya seperti Hachiko.”, jawabnya.

“ Memangnya di khayangan yang seperti itu tidak ada ? “

“ Tentu saja ada. Tapi di bumi semuanya lebih berwarna dan tidak terduga. “

Aku mengkerutkan kening mendengar jawabannya.

“ Letak seni dari hidup itu adalah misteri. Sebagaimana misteri semuanya tidak terduga. Saat kita mencintai seseorang, misterinya adalah apakah orang itu merasakan hal yang sama dengan kita atau tidak. Atau misterinya adalah apakah kita saling berjodoh atau tidak. Saat kita belajar di sekolah, misterinya apakah kita lulus ujian, atau lulus ujian dengan nilai memuaskan, atau apakah bisa melanjutkan ke sekolah yang diinginkan. Misteri hidup adalah akan menjadi seperti apakah kita keesokan harinya. Dan itulah yang dipecahkan di bumi. “

Sekali lagi ia menjawab dengan jawaban yang cerdas meskipun aku tidak tahu apa arti perkataannya.

“ Apakah kamu rindu negeri asalmu ? “, tanyaku lagi.

Ia menerawang jauh. Aku mempersiapkan diri dengan jawaban tak terduga lainnya.

“ Seharusnya rindu. “, jawabnya.

“ Seharusnya ?  Bukannya bumi ini bukan rumahmu dan kamu tidak cocok berada di bumi ? “

“ Benar. “, angguknya.

“ Lalu ? “

“ Seperti manusia yang apabila merantau terlalu lama dan mulai merasa betah diperantauan, aku pun terkadang merasa sudah mulai cocok berada di sini. “

“ Lalu apakah kamu memutuskan untuk tinggal selamanya di bumi ? “

Ia menggeleng.

“ Aku pernah mendengar seorang manusia berkata saat memberikan ceramah di televisi. Ia berkata bahwa kehidupan ini melenakan kita. Setelah aku pikir-pikir itu benar adanya. Seberapapun aku merasa betah dan mulai cocok di sini, bumi bukanlah rumahku dan tempat aku berasal. Aku bidadari dan bumi bukan rumahku.”, ucapnya sedikit muram.

“ Jadi apakah kamu merindukan negeri asalmu ? “

“ Seharusnya aku rindu. Tapi karena aku terlena saat berada di bumi, sejenak aku lupa dengan negeri asalku. Namun aku sadar, aku tidak boleh lupa kalau aku bidadari dan waktuku di bumi hanya sementara. “

“ Jadi kamu benar-benar akan pergi dari bumi ? “, tanyaku sedih.

“ Iya.”

“ Bagaimana kalau aku rindu ? “, tanyaku semakin sedih.

Ia langsung tertawa bahkan sampai terbahak-bahak. Jarang sekali ia tertawa begitu lepasnya. Aku hanya cemberut menyaksikan responnya.

“ Bagaimana kalau aku rindu ? “, desakku lagi padanya.

Ia masih terengah-engah karena tertawa. Setelah mengatur nafas ia menjawab;

“ Kenapa bisa sampai rindu ? “

“ Mana aku tahu. Memangnya rindu ada syaratnya. Harus memenuhi syarat dulu baru bisa merindu.”, ucapku.

Ia hanya tertawa kecil melihatku merengut.

Dan benar saja, aku benar-benar mulai merindukan gadis yang mengaku sebagai Sang Bidadari itu.

Menanti obat ibuku habis untuk ditebus kembali di apotek agar dapat berjumpa dengannya terasa sangat lama. Bahkan saking lamanya, aku pernah duduk menunggu di apotek sambil berharap gadis itu datang menebus obat meskipun saat itu belum jadwal menebus obat untuk ibu.

Tapi sayangnya ia tak datang. Aku mulai berpikir sinting, jangan-jangan dia benar-benar bidadari yang nanti akan kembali ke khayangan.

Saat bertemu dengan gadis itu waktu menebus obat berikutnya, aku berujar gusar;

“ Kenapa kamu tidak mengaku nabi saja sih ? “

Ia bingung mendengar pertanyaanku.

“ Iya, kenapa kamu tidak mengaku sebagai nabi saja seperti orang-orang yang diberitakan di televisi.”

“ Maksudnya ? “

“ Kamu bilang kamu itu bidadari dan hanya sementara di bumi, tidak selamanya. Kenapa tidakmengaku nabi saja yang selamanya berada di bumi. Jadi aku bisa mencarimu setiap kali aku rindu.”, ucapku bersungut-sungut.

Ia tertawa kecil.

“ Harapanmu terlalu pendek kalau bagitu. Kenapa tidak sekalian saja menyuruhku mengaku sebagai manusia, agar kamu bisa jatuh cinta padaku.”, ucapnya sambil mengedipkan mata padaku.

Astaga ! Benar juga ucapannya.

“ Yasudah kalau begitu mengakulah sebagai manusia agar bisa jatuh cinta padamu. “

Ia terkekeh.

“ Makanya dari awal aku katakan, jangan jatuh cinta padaku, karena aku ini bidadari.”, jawabnya masih sambil terkekeh.

Aku menatap mata bulatnya.

“ Kapan kamu akan pergi ? “

Ia mengehentikan tawanya.

“ Mungkin purnama yang kesekian. “, jawabnya sambil mengangkat bahu.

“ Kapankah itu ? “

Sambil mengangkat bahu ia berkata; “ Aku juga tidak tahu, makanya aku mengatakan mungkin purnama kesekian. Oleh karenanya aku bergelar Bidadari Purnama Kesekian.”

“ Maukah kamu memberi tahuku apabila kamu sudah menerima tanda jika waktumu telah selesai di bumi ? “, pintaku tak masuk akal.

Ia tersenyum mengejekku.

“ Untuk apa ? “

“ Setidaknya aku bisa bersiap-siap, kalau-kalau aku boleh menumpang ikut bersamamu. Katanya bidadari di khayangan cantik-cantik semua.”, kataku.

“ Kan manusia tidak boleh jatuh cinta dengan bidadari kataku.”, balasnya.

“ Aku kan cuma mau melihat-lihat saja, bukannya jatuh cinta.”, kataku sambil tertawa.

“ Tidak bisa ! ”, katanya sambil tertawa menyilangkan tangan.

“ Kenapa ? Apa kamu takut aku jatuh cinta dengan bidadari lainnya ya ? “, ujarku sumringah.

Ia seketika tertawa terbahak-bahak kembali mendengar perkaataanku.

“ Agar aku bisa bersiap melepasmu. Diklat tiga hari saja ada cara perpisahan sesama peserta diklat. Bagaimana mungkin antara kita tidak ada perpisahan.”, ucapku saat ia masih tertawa.

Ia lantas terdiam mendengar ucapanku. Saat itu juga wanita paruh baya yang menemaninya menebus obat mengangguk padanya. Ia berdiri dan pamit pulang padaku.

Hari ini adalah hari yang aku nantikan sejak 29 hari yang lalu. Saatnya menebus obat ibu. Artinya aku akan bertemu dengan gadis yang mengaku Sang Bidadari itu.

Aku bersiap ke rumah sakit seperti yang sudah-sudah aku lakukan. Sesampainya di apotek, aku belum melihat gadis itu. Aneh, biasanya ia yang selalu datang lebih awal. Aku menunggu dua jam, tapi ia tak kunjung datang. Jangan-jangan tadi malam adalah purnama. Aku langsung mengecek di internet apakah tadi malam benar-benar adalah purnama. Seketika aku langsung diserang gelombang panik.

Sedikit perasaan lega ketika aku mengetahui bahwa tadi malam bukanlah purnama. Tapi mengapa ia belum juga datang ? Berbagai kemungkinan bergelayut di otakku. Bagaimana jika perhitungan purnamanya berbeda dengan perhitungan purnama pada umumnya. Tapi akal sehatku langsung mengutuk, jangan bodoh purnama kan tergantung dengan bulan, dan bulan yang merupakan satelit alami bumi hanya ada satu. Jadi tidak mungkin ada perhitungan yang meleset jauh, kecuali bulan berjumlah lebih dari satu.

Tapi aku tetap was-was. Apa jangan-jangan isyarat purnama itu hanya bohong belaka ? Atau bermakna kiasan bukan harfiah sebagaimana makna purnama sebenarnya. Kemungkinan-kemungkinan itu membuat hatiku gusar.

Satu jam berikutnya keajaiban terjadi. Aku melihat wanita paruh baya yang selalu menemaninya memasuki apotek dan langsung menyerahkan resep kepada petugas. Ia sekilas melihatku, namun begitu menyerahkan resep, ia keluar meninggalkan ruang tunggu. Aku bertanya-tanya, dimanakah gadis itu.

Selang beberapa menit, aku melihat wanita paruh baya tadi memasuki ruang antrian apotek sambil mendorong kursi roda. Gadis yang mengaku Sang Bidadari Purnama Kesekian adalah gadis yang duduk di atas kursi roda yang didorong oleh wanita itu.

Gadis itu menatapku sambil tersenyum lebar saat wanita paruh baya itu memarkirkan kursi roda yang ia dorong disamping tempatku duduk.

“ Haloooo, pasti menungguku yaa ? “, sapanya dengan sangat ceria.

Aku hanya terdiam menyaksikan wajah ceria di hadapanku. Mata bulatnya sangat cekung. Wajah bulatnya juga melengkung pada bagian pipi. Ia terlihat sangat kurus dari biasanya.

Ia masih tersenyum menantikan respon dariku. Untuk beberapa detik aku terdiam, sampai akhirnya sebuah kalimat meluncur dari bibirku;

“ Kenapa pakai kursi roda ? “, tanyaku. Aku bahkan tidak membalas sapaan halo darinya.

“ Karena aku bidadari.”, jawabnya enteng.

“ Memangnya bidadari menggunakan kursi roda ? “

“ Iya. “

“ Bohong..”, kataku sambil menyipitkan mata.

Ia tersenyum kecil sambil memperbaiki posisi duduknya.

“ Kalau di khayangan, bidadari bahkan tidak perlu berjalan. Ada pesuruh khusus yang akan membawanya dengan tandu atau kereta kemana pun ia mau. Tidak perlu berjalan. Tapi kalau bidadari berjalan, boleh saja.”

“ Tapi kan kursi roda bukan tandu atau kereta dan semacamnya ! “, tuntutku.

“ Jelas memang bukan. Kalau aku minta ditandu di bumi, bisa-bisa sepanjang jalan orang-orang akan melihatku dan identitasku mungkin juga bisa terungkap.”, jawabnya sambil berbisik.

Aku tidak peduli benar atau tidak bidadari di khayangan sana ditandu atau bahkan bepergian menggunakan pesawat ulang aling sekalipun.

“ Kamu sakitkan ? Kamu sudah tidak kuat berjalankan ? “, kataku sambil menatap matanya.

Ia menghela nafas kemudian menyipitkan matanya.

“ Aku kan sudah bilang, bumi memang tidak cocok denganku. Selama di bumi aku memang harus minum banyak obat dan vitamin. “, jawabnya diplomatis.

Aku hanya diam mendengar jawabannya. Selang beberapa waktu kami duduk dalam diam. Suasana apotek cukup ramai hari ini. Di depan kami, banyak para pengantri berlalu lalang.

“ Kupikir tandanya sudah datang.”, ucapnya memecah keheningan diantara kami setelah beberapa waktu.

Aku menoleh melihatnya. Ekspresi wajahnya datar seolah-olah baru saja mengatakan hujan akan turun sebentar lagi.

“ Tanda apa ? “, tanyaku.

“ Tanda purnama kesekian yang aku tunggu. “

“ Apakah sudah tiba saatnya ? “

Ia menggeleng.

“ Aku tidak tahu kapan, tapi tanda purnama kesekian yang aku tunggu sudah datang.”, ucapnya penuh arti.

“ Apakah kamu langsung pergi ? “

Ia kembali menggeleng.

“ Aku tidak tahu. Tapi yang jelas tanda itu menyuruhku berkemas dan bersiap.”

“ Apakah tidak ada hitung mundur seperti SEA Games yang ada di Bundaran HI ? “, tanyaku polos.

Ia langsung tergelak mendengarnya.

“ Tidak ada hehehe….”, jawabnya sambil tersenyum.

Aku kembali terdiam. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan memenuhi rongga dadaku.

“ Apa yang akan kamu harapkan ketika sampai di khayangan nanti ? “, tanyaku lagi.

Ia terdiam dan berpikir sebentar. Dengan mantap ia menjawab;

“ Aku ingin menjadi bidadari yang paling cantik dan paling bahagia.”, ucapnya sambil tersenyum memperlihatkan giginya.

Aku tersenyum menatap mata bulatnya yang kini sangat cekung.

“ Bukannya bidadari memang sudah tercipta dengan wajah yang cantik ? “, tanyaku.

Ia mengubah posisi duduknya agar benar-benar berhadapan denganku.

“ Aku ingin menjadi bidadari yang cantiknya paripurna. Dan juga yang paling bahagia. Bukankah setelah melalui penugasan atau tes kemampuan kita menjadi jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku menganggap penugasan di bumi ini sebagai ujian. Sehingga nanti ketika aku kembali, aku bisa naik tingkat menjadi bidadari yang paling cantik, yang kecantikannya paripurna. Dan juga yang paling bahagia.”, jawabnya sambil menatap lurus ke dalam mataku.

Aku tersenyum melihatnya. Mata bulatnya yang semakin cekung tidak lantas menghisap cahaya yang ada di mata itu. Cahaya berbinar itu masih ada di sana. Detik itu juga aku benar-benar yakin bahwa gadis itu adalah Sang Bidadari.

Sisa waktu menanti antrian obat kami habiskan dengan obrolan ringan seputar binatang peliharaannya, film kesukannya dan semua pembicaraan ringan. Aku bahkan menceritakan cerita lucu yang membuatnya tertawa terbahak-bahak. Tak pernah aku melihatnya sebahagia ini.

Tapi sebahagia apapun hari ini, toh juga akan berakhir. Setidaknya berakhir dengan nomor antriannya yang telah terpanggil.

“ Apakah kamu sedih meninggalkan bumi ? “

Ia menatapku penuh arti.

“ Maksudku kamu cukup lama berada di sini, bahkan kamu sendiri menyatakan sudah mulai terbiasa. Apakah itu tidak membuatmu sedih ketika harus pergi dan meninggalkan semua yang ada di bumi ? “, tanyaku sesaat setelah melihat wanita paruh baya yang menemaninya menebus obat, menerima obat dari petugas.

“ Aku sedih. Tapi aku ingat. Aku datang ke bumi pun sendirian tanpa membawa apapun. Maka aku harus kembali seperti itu juga.”, jawabnya sambil menatap lurus.

Beberapa menit kemudian wanita paruh baya yang menemaninya menebus obat memberikan isyarat. Ia mengangguk pelan. Aku tahu ini adalah saatnya gadis itu pulang.

Ia menghadapkan badannya kembali ke arahku sambil menjulurkan tangan;

“ Nomorku sudah terpanggil, saatnya pulang. Mari berjabat tangan.”, ucapnya sambil tersenyum.

Aku ingin sekali memeluknya saat itu. Tapi ini bukan di taman, ataupun di bandara, atau di stasiun atau bahkan di restoran romantis seperti film-film. Ini adalah apotek rumah sakit. Takkan ada adegan romantis di sini.

Aku menjabat tangannya yang kurus. Ia tersenyum sumringah.

“ Apakah kita akan berjumpa lagi 29 hari ke depan di sini ? “, tanyaku masih menjabat tangannya.

“ Tentu saja…”, ia berseru girang.

“ Apakah bidadari purnama kesekian akan datang menggunakan tandu atau karpet ajaib ala aladin ? “, tanyaku sambil tertawa.

Ia tersenyum dengan lebar.

“ Sang Bidadari nanti akan diantar dengan mobil James Bond, hahahah. ..”, candanya.

Kami berdua kemudian tertawa bersama. Wanita paruh baya yang menemaninya menebus obat menghampiri kami sambil tersenyum kecil. Aku bangkit dari kursi. Ia mengangguk ke arahku sambil kemudian meraih dorongan kursi roda gadis itu. Sebelum wanita itu mendorong kursi roda, aku membungkuk agar sejajar dengan gadis itu.

“ Sang Bidadari telah menjalankan misi rahasianya dengan sangat baik di bumi. “, kataku sambil menatapnya.

Sudut-sudut matanya berkerut ketika ia tersenyum mendengar kalimatku.

“ Terima kasih.”, jawabnya pelan.

Kemudian wanita paruh baya itu mendorong kursi roda menuju pintu keluar. Gadis itu melambaikan tangan sambil tersenyum ke arahku. Aku membalas lambaian tangannya sambil tertawa kecil. Begitu ia menghilang di ujung ruangan, aku terduduk. Ingin rasanya aku menangis seperti bayi di sini.

——-

Duapuluh sembilan hari berlalu semenjak pertemuan kami terakhir. Hari ini adalah jadwal rutinku menebus resep obat untuk ibu. Dan itu tandanya aku akan bertemu dengan Sang Bidadari. Aku bersiap seperti biasa menuju apotek rumah sakit.

Begitu menginjakkan kaki di ubin apotek, aku langsung dapat menangkap sosok wanita paruh baya yang selalu menemani gadis itu menebus obat. Tak biasanya ia berdiri di depan pintu apotek. Biasanya ia sudah menunggu antrian di dalam ruang tunggu apotek. Ia berdiri seorang diri sambil memperhatikan orang yang berlalu lalang.

Saat melihatku, ia seperti merasa lega. Aku langsung tahu, wanita itu menungguku. Aku berjalan ke arahnya.

“ Selamat siang bu.”, ucapku sambil mengangguk.

Ia tersenyum padaku.

Aku memperhatikan dengan seksama wajah wanita itu. Mata bulat gadis itu mirip dengan mata bulat wanita yang berdiri di hadapanku ini.

Wanita itu kemudian mengeluarkan sebuah amplop dan menyerahkannya padaku. Aku menatap bingung.

“ Aku datang ke sini bukan untuk mengantri obat. Ada titipan darinya yang harus aku serahkan padamu.”, ucapnya bergetar sambil menyodorkan amplop itu padaku.

Aku masih terdiam menatapnya. Aku tidak tahu apakah harus menerima amplop itu langsung ataukah bertanya apakah isinya dan dari siapa untuk sekedar berbasa-basi, meskipun aku tahu dari siapa amplop itu.

“ Terimalah. Dia berpesan, surat ini harus sampai di tanganmu. “, ucap wanita itu.

Aku menerima amplop itu. Wanita di hadapanku tersenyum tipis. Ia kemudian menepuk pundakku.

“ Terima kasih banyak. “, katanya sambil menatap wajahku.

Terima kasih untuk apa ? Kataku dalam hati. Tapi mulutku hanya diam.

Wanita itu kemudian menepuk pundakku beberapa kali kemudian berjalan meninggalkanku. Aku masih mematung terdiam. Untuk beberapa lama aku hanya berdiri dengan pikiran kosong. Hingga seorang ibu-ibu mendekatiku dan bertanya dimana loket untuk mengambil antrian obat padaku, barulah kemudian aku sadar.

Aku kemudian menuju lokat antrian dan menyerahkan resep obat untuk ibuku dan menerima nomor antrian. Bangku tempat aku dan gadis itu menunggu kosong. Aku berjalan ke arah bangku itu dan duduk di sana seperti biasa. Hal yang aku lakukan selanjutnya adalah mengitari pandangan ke sekeliling ruang tunggu mencari gadis itu. Tapi ia tidak ada. Mungkin ia memang datang ke sini menggunakan karpet ajaib ala aladin atau mobil James Bond, batinku dalam hati.

Setengah jam berlalu saat menunggu antrian. Aku belum juga membuka amplop yang diserahkan wanita tadi. Hatiku berperang apakah aku buka di sini atau nanti saja saat sampai di rumah. Tapi kemudian aku berpikir, toh mau dibaca dimanapun isinya tetap sama, tak akan berubah.

Akhirnya aku putuskan untuk membuka amplop tersebut. Amplop itu seperti amplop putih kebanyakan. Di dalam amplop tersebut tersimpan sebuah surat yang dutulis tangan dengan tulisan yang sangat rapi. Pasti tulisan gadis itu.

Sang Bidadari akan kembali ke khayangan

Purnama kesekian yang ia nantikan tengah bersiap menjemputnya

Ia akan kembali menjadi bidadari cantik paripurna nan bahagia

 

Bukankah semesta dan isinya adalah fana yang melenakan mata, hati dan telinga

Diantara semua sakit, sedih, bahagia dan suka hanyalah sementara

Kita bahkan bukan pemilik rumah dan istana dunia

Pasti suatu saat kita akan kembali pulang jua

Entah kapan, tapi nanti ketika tiba masanya

 

Bukankah semesta diciptakan dari ledakan maha dahsyat

Yang kemudian akan berakhir dengan terbelahnya langit bagai kelopak mawar merah

Maka setiap permulaan akan ada akhirnya

Sebagaimana perjumpaan akan ada perpisahan

Karena semesta ini bukanlah kehidupan yang abadi

Nanti di suatu masa kelak akan kita temui keabadian

Semoga saat itu kita berada di surga yang sama

Aku melipat suratnya. Aku hanya duduk tersandar menatap kosong orang-orang yang hilir mudik di hadapanku. Sang Bidadari telah kembali ke khayangan. Air mata menggenang di pelupuk mataku. Aku menyeka ujung mata yang berair dengan tanganku. Aku kemudian tersenyum, ia pasti akan menjelma menjadi bidadari yang kecantikannya paripurna dan paling bahagia.

(08/03/18 JKT)